Sabtu, 28 Februari 2015

Beras Makin Buas

Jumat, 27 Februari 2015

IRONIS. Hingar-bingar dan euforia program swasembada beras nasional yang bergairah dicanangkan Kabinet Kerja, terinterupsi serius oleh makin buasnya harga beras. Harga beras kini semakin tidak terkendali. Hal ini tampak dari mbedhalnya harga secara liar, mencapai 30%. Harga dasar beras yang acuannya Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sebesar Rp 6.600 perkilogram beras menurut Inpres 2/2012 tentang Perberasan dan harga beras global sekitar US$ 500 perton, ternyata semakin dijauhi secara nyata oleh harga pasar hari-hari ini. Karena harganya meloncat-loncat: Rp 9.500, Rp Rp 10.000, Rp 10.500. Bahkan melampaui angka Rp 11.000 untuk beberapa kawasan.
Sudah barang tentu ini menimbulkan persoalan pangan yang tidak sederhana bagi kelompok masyarakat berdaya beli terbatas. Sementara itu, bagi petani produsen, tingginya harga pasar sama sekali bukanlah rezeki bagi mereka sebagai produsen utama karena kejadiannya jauh di luar masa jual pada umumnya. Harga naik petani makin miskin karena mereka pas menjadi net consumers. Jelas sekali perbedaan harga ini bukanlah keberuntungan mereka, produsen maupun konsumen. Semuanya menjadi korban dari eskalasi tidak terkendalinya harga beras. Kalau dua pihak ini korban, lantas siapa yang memperoleh keuntungan harga mbedhal ini?
Untuk melacaknya, rasanya bisa diawali dengan pemetaan permasalahan mulai dari memperbandingkan harga yang terjadi antara harga dunia dan HPP, dengan harga pasar pada hari ini. Besaran disparitas harga domestik normal dengan harga global dan HPP bisa mencapai 30%. Tentu itu merupakan sumber utama rente ekonomi untuk bisa dipermainkan para pemburunya. Konon permainan harga ini menjadi kambing hitam yang dilontarkan oleh para petinggi negara, sebagai sumber masalah kedua, mafia pangan.
Masalah ketiga, kenaikan harga disebabkan karena peledakan permintaan akibat berhentinya sementara bantuan raskin. Realita ini terjadi akibat terjebaknya kebijakan dalam wacana antara: beras dan uang tunai yang makan waktu. Kelambanan pengambilan keputusan telah berakibat eskalasi harga karena siapa pun butuh makan beras, ada ataupun tidak ada raskin. Keempat, kritik yang berkenaan dengan kapasitas Bulog yang terbatas dalam pengendalian harga dan distribusi sebagai akibat dari cadangan atau stok yang terbatas.
Faktanya, memang terdapat empat soal besar sekaligus: harga-stok-raskin-mafia, yang saling mendukung krisis beras kali ini. Beda harga yang tidak terkira antara harga dunia dan harga lokal telah menjadi inspirasi rente luar biasa. Selisih harga antara Rp 2.000-Rp 3.000 perkilogram, untuk konsumsi beras tahunan RI 31 juta ton, sudah setara dengan Rp 62 triliun-Rp 93 triliun. Ini bisa berujud rente antarmusim, rente antarkawasan, dan rente importasi yang mudah diakali para pemburu, rent seekers. Akan tetapi, apakah kita begitu saja mencaci maki pemburu?
Hakikatnya, pemburu kesempatan ekonomi sampai rente sesungguhnya adalah sebuah kewajaran syahwat usaha dalam sejarah perekonomian. Munculnya implikasi kebangsaan dan kesejahteraan tentu harus menempatkan sebab-musabab pemicu rente yang harus dijinakkan. Untuk kasus perberasan nasional, ketika beda harga tinggi, ketika stok dan distribusi terbatas dan tidak mampu mengatasi lokalitas produksi antarwaktu dan antartempat, serta ketika permintaan publik meledak akibat kelambatan raskin, sudah bisa dipastikan kesempatan mengais keuntungan akan semakin nyahwati, merangsang, normal maupun rente.
Tentu pengaitan ini bukanlah pembelaan terhadap para mafia pangan. Sama sekali bukan. Akan tetapi mengingatkan kepada siapa pun penyelenggara negara, bahwa dengan teriak: 'mafia-mafia', sampai teriak 'ganyang mafia!' sekalipun, tidak akan pernah ada gunanya kecuali mengganyangnya dengan kerja dan kerja. Mengendalikan sebab-musabab di sebalik suburnya mafia dan kartel pangan, melalui penegakan power ekonomi yang sesungguhnya dalam pengendalian harga.
Harus dicatat bahwa kali ini terjadi pada perberasan nasional. Setelah fajar menyingsing mungkin dialami oleh kedelai dan tahu-tempe, dan lusa bisa jadi menimpa daging sapi. Begitu senantiasa ketika kita hanya berteriak. Hanya kerja itulah solusi seksama pengendalian harga pangan melawan mafia.

Prof Dr M Maksum Machfoedz (Penulis adalah Ketua PBNU, Guru Besar FTP UGM)

http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/3833/beras-makin-buas.kr

Tidak ada komentar:

Posting Komentar