Selasa, 19 April 2016

Tradisi Wiwit Panen Padi, Perkaya Budaya Jawa

Senin, 18 April 2016  


KULONPROGO – Tradisi wiwit memasuki masa panen raya padi, masih dilakukan para petani di Pedukuhan Geden, Desa Sidorejo, Kecamatan Lendah, Kulonprogo. Tradisi ini menjadi ungkapan rasa syukur yang dikemas dalam agenda budaya. Kegiatan inipun diminati beberapa turis mancanegara. Wiwit yang dalam bahasa Jawa, berarti mengawali.

Tradisi ini rutin dilaksanakan setiap tahun untuk mengawali masa penen padi. Kegiatan wiwit ini diawali dengan melaksanakan kirab mengelilingi kampung. Mereka juga membawa aneka perlengkapan atau yang dikenal dengan ubo rampe.

Mulai dari nasi gurih, ingkung, tumpeng aneka jajan pasar dan beberapa hasil bumi. Dalam kirab ini juga ditampilkan aneka seni budaya yang ada di Sidorejo. Kesenian yang ada dan menjadi budaya turun temurun ini masih dilestarikan.

Tarian reoh ikut ditampilkan untuk menghibur para undangan. “Wiwit ini rutin dilaksanakan setiap tahun, untuk melestarikan budaya,” jelas Waluyo Jati, sesepi Desa Sidorejo yang juga ketua paniatia. Pedukuhan Geden dihuni 106 kepala keluarga (KK) atau 301 jiwa.

Dengan luasan sekitar 52 hektare, terdiri dari areal persawahan 8 hektare, tegalan 24 hektare, dan pekarangan 20 hektare. Tahun ini produksi padi yang dihasilkan mencapai tujuh kiloram dengan ubinan 2,5 hektar. Produksi ini cukup tinggi, mengingat lahan yang ada berupa lahan persawahan tadah hujan.

“Wiwit ini menjadi ungkapan rasa syukur atas melimpahnya hasil panen,” jelasnya. Prosesi wiwit sendiri diakhirnya dengan dia bersama. Setelah itu dilakukan rebutan gunungan dan aneka ubo rampe yang diarak dalam kirab. Warga sendiri sangat antusias berebut makanan, yang diyakini akan membawa berkah bagi kehidupan.

”Ini dapat kacang nanti dimasak bersama sayuran yang lain,” jelas Magut, warga Jatirejo, yang setiap tahu selalu ikut rebutan. Turis asal Australia, Elenor mengaku tertarik dengan tradisi ini. Diapun ikut berbaur dengan peserta dan mengenakan pakaian jawa, seperti peserta yang lain.

Elenor sendiri mengaku sudah mengikuti tradisi wiwit Bantul dan Sleman. “Makanannya disini enak, tradisinya juga unik,” jelas mahasiswa yang ikut dalam pertukaran pelajar.

Kuntadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar