Senin, 23 Desember 2013
Jakarta, GATRAnews - Di bawah terik matahari Ahad siang lalu, Riban, 39 tahun, memantau pertumbuhan tanaman jagung di lahannya seluas 7.500 meter persegi atau tiga perempat hektare. Dengan penuh semangat, petani jagung di Desa Karanggetas, Tawangharjo, Grobogan, Jawa Tengah, ini mengitari lahannya yang tak seberapa luas itu. Sesekali ia mencabuti rumput liar yang masih tumbuh sporadis di sekitar tanaman jagung. Wajahnya cerah, bibirnya menyunggingkan senyum, penuh optimisme.
Maklum, tanaman jagungnya yang berusia dua bulan itu tumbuh subur, sudah muncul putren atau bunga jagung. Ia pun membayangkan bakal menuai panen sekitar sebulan lagi. Apalagi, tanaman jagungnya ini terbukti tahan hama, sehingga ia tak terlalu waswas terhadap serangan hama.
''Mudah-mudahan panennya nanti bisa seperti kemarin, atau syukur bisa meningkat lagi,'' ujar Riban kepada GATRA. Saat musim panen lalu, Riban sempat kaget sekaligus gembira. Total hasil panen dari lahannya tiga perempat hektare plus lahan seperempat hektare milik tetangganya, mencapai 5,5 ton. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan musim panen sebelum-sebelumnya yang rata-rata 4 ton per hektare.
Namun, dibandingkan dengan musim panen sebelumnya lagi, yang masih menggunakan benih komposit buatan lokal, angka panen 4 ton per hektare itu pun sudah sangat menggembirakan Riban. ''Dulu waktu pakai benih komposit panennya hanya 2,5 ton,'' tutur Riban.
Kenaikan hasil panen kebun jagung Riban dari 2,5 ton per hektare menjadi 4 ton per hektare tak lepas dari benih jagung yang dipakainya, yaitu Dekalb 95 (DK 95) produksi Monsanto (asal Amerika Serikat), yang dibelinya seharga Rp 60.000 per kilogram.
Pada musim tanam lalu, Riban dan juga para petani jagung yang lain mengikuti pelatihan di Dekalb Learning Center di Desa Tarub, Tawangharjo, yang diresmikan Monsanto, Maret silam. Berbekal pelatihan tadi, Riban pun dapat meningkatkan lagi produksi jagungnya menjadi 5,5 ton per hektare.
Angka produksi 5,5 ton per hektare ini hampir mendekati angka produksi kabupaten yang rata-rata 5,7 ton per hektare. Grobogan dengan luas lahan jagung 113.152 hektare dan produksi tahun 2012 mencapai 565.000 ton --naik dari tahun sebelumnya yang 503.000 ton-- menyokong 16% dari total produksi jagung kuning Jawa Tengah. Setiap hektare lahan jagung rata-rata membutuhkan 16-17 kilogram benih.
Riban sedikit bangga disebut turut menyumbang kenaikan produksi jagung Grobogan. Selain itu, ia juga hepi memperoleh kenaikan rupiah cukup lumayan setiap panen. Dengan harga jual jagung Rp 3.000 per kilogram, maka setelah dipotong biaya produksi Rp 5 juta, Riban kini dapat mengantongi sekitar Rp 7 juta. ''Ya, berkat benih hibrida itu,'' ujarnya, sumringah.
Riban, yang mengusahakan kebun jagung warisan orangtua, bertekad akan terus menggunakan benih produksi perusahaan asing tersebut. Benih hibrida ini sifatnya sekali tanam, tak dapat dimuliakan lagi. Karena itu, petani sangat bergantung pada produsen benih.
Saat ini tak kurang dari 15 jenis varietas jagung hibrida yang membanjiri Grobogan dan digandrungi para petani. Produk itu berasal dari lima pabrikan multinasional, di antaranya Monsanto Group dari Amerika Serikat, yang paling banyak digunakan.
Riban hanyalah satu contoh petani jagung yang telah lama meninggalkan benih komposit produksi lokal dan beralih ke benih produksi perusahaan asing. Di Grobogan, diperkirakan 90% petani jagung menggunakan benih dari perusahaan asing. Kondisi yang sama juga terjadi di sentra-sentra produksi pangan di Tanah Air. Hampir semua petaninya menggunakan benih produksi asing.
Khusus benih jagung, tren bergesernya penggunaan benih dari produksi lokal ke produksi asing terasa cukup mencolok di Tanah Karo, Sumatera Utara. Petani jagung setempat seperti berbondong-bondong beralih ke benih jagung hibrida produksi asing. Apalagi, kondisi iklim dan tanah di sana memungkinkan produksi jagung hibrida digenjot sampai 12 ton per hektare. Tentu sangat menggiurkan petani.
''Kalau benih komposit buatan lokal paling menghasilkan 4 ton per hektare. Jelas kalah bersaing (dengan benih asing),'' kata Jemaat Sebayang, Ketua Himpunan Petani Jagung Indonesia (Hipajagin) Sumatera Utara.
Tak ayal, kini diperkirakan lebih dari 90% petani jagung di sana menggunakan benih hibrida produksi asing. Dua pemasok utamanya adalah PT Syngenta Indonesia (Swiss) dengan benih NK dan PT Dupont Pioneer Indonesia (Amerika Serikat) dengan benih Pioneer. Hanya sebagian kecil petani jagung di Tanah Karo, bahkan di Sumatera Utara, yang masih menggunakan benih komposit buatan produsen lokal.
''Biasanya (benih komposit) digunakan oleh petani pemula, di daerah pertumbuhan baru,'' kata Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian Sumatera Utara, Jhon Albertson Sinaga.
Benih komposit ini antara lain diproduksi oleh Balai Benih Induk Gabeh Huta Raja dan Tanjung Selamat. Harganya per kilogram di bawah Rp 50.000, lebih murah dibandingkan dengan benih produksi perusahaan asing yang mencapai Rp 70.000 per kilogram.
Meski produksinya rendah, benih komposit relatif tidak perlu perlakuan khusus sehingga cocok bagi petani pemula. Namun, benih ini jangan coba-coba ditawarkan kepada petani Tanah Karo yang sudah mencoba benih hibrida produksi perusahaan asing.
''Pasti kami tolak, tak laku itu,'' ujar Opung Milala, 60 tahun, sambil tertawa. Opung sudah dua dasawarsa menjadi petani jagung di Tanah Karo dan lebih dari satu dasawarsa di antaranya menggunakan benih hibrida produksi perusahaan asing.
Dari Bandung, wartawan GATRA Iman Herdiana melaporkan, semua petani jagung di Jawa Barat sudah menggunakan benih hibrida yang banyak tersedia di kios-kios benih. Benih jagung komposit praktis tak dilirik, pengembangannya pun mandek.
''Kita tidak kembangkan (benih jagung) komposit karena produktivitasnya rendah,'' kata Kepala Bidang Produksi Tanaman Pangan Dinas Pertanian Jawa Barat, Uneep Permadi.
Luas lahan jagung di Jawa Barat tercatat 180.000 hektare, dengan kebutuhan benih mencapai 2,7 ton. Sebagian besar benih tersebut dipasok perusahaan asing, sisanya perusahaan pelat merah dan swasta lokal.
Adapun kebutuhan benih padi 50.000 ton per tahun untuk lahan seluas 2 juta hektare, sebagian besar juga dipasok oleh perusahaan asing, seperti PT Dupont Pioneer Indonesia dan PT Benih Inti Subur Intani (BISI) International (Thailand).
Memang, cengkeraman korporat asing untuk benih padi tampaknya tak berlaku di Sumatera Barat. Di daerah itu, kebutuhan benih padi sebanyak 16.000 ton per tahun dipasok seluruhnya oleh benih lokal. Sebanyak 3.000 ton melalui bantuan benih pemerintah daerah.
''Sisanya dipenuhi oleh petani dengan cara menyeleksi tanaman yang baik di lapangan,'' kata Djoni, Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Sumatera Barat, kepada Joni Aswira Putra dari GATRA.
Namun, untuk kebutuhan benih jagung dan sayuran, daerah ini juga tak luput dari dominasi benih pabrikan asing, atau bahkan impor. Benih kubis dan lobak, misalnya, 100% impor. Sedangkan benih cabai dan tomat, sebagian berasal dari impor, sebagian besar dari pabrikan asing.
Merek yang banyak digunakan di antaranya Cap Panah Merah (produksi PT East-West Seed Indonesia, asal Thailand) dan Cap Kapal Terbang (produksi PT BISI, juga asal Thailand).
[Taufik Alwie, Anthony, Cavin R.Manuputty, Arif Koes Hernawan (Yogyakarta), dan Averos Lubis (Medan)]
[LAPORAN UTAMA, Majalah GATRA Edisi no 07 tahun ke 20, Beredar 19 Desember 2013]
http://www.gatra.com/fokus-berita/44364-dominasi-benih-asing-mengancam-kedaulatan-pangan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar