9 Desember 2013
Masa depan WTO
PROSES alot negosiasi negara-negara kunci dalam Konferensi Tingkat Menteri Ke-9 Organisasi Perdagangan Dunia di Nusa Dua, Bali, akhirnya membuahkan kesepakatan atas ”Paket Bali”. Seluruh anggota WTO yang berjumlah 159 negara menyepakati draf yang berisi tiga muatan pokok, yakni fasilitas perdagangan, sebagian isu runding pertanian, dan peningkatan kapasitas negara kurang berkembang (least developed countries/LDC’s).
Dengan pendekatan kesepakatan tunggal (single undertaking), yakni tidak akan ada kesepakatan sebelum semua disetujui, Konferensi Tingkat Menteri (KTM) Ke-9 Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) di Bali perlu tambahan satu hari sebelum menghasilkan kesepakatan pada Sabtu (7/12). India secara tegas menolak bernegosiasi mengenai ketahanan pangan karena subsidi pertanian untuk keperluan stok nasional hanya dibatasi maksimal 10 persen dari produk nasional. Usulan negara maju terutama Amerika Serikat untuk mencari solusi permanen dari pengecualian aturan itu selama empat tahun ditolak India.
Dengan negosiasi intensif dan tambahan waktu, akhirnya 159 negara sepakat terhadap tiga muatan utama berisi 10 isu runding termasuk terkait stok ketahanan pangan. Paket Bali memuat tiga dari 19 isu pokok mandat KTM Ke-4 WTO Di Doha, Qatar, tahun 2001.
Belum ada satu pun dari 19 mandat Putaran Doha itu yang disepakati sebelum KTM ke-9 digelar di Bali. Putaran Doha memberi mandat kepada negara-negara anggota untuk merundingkan hal-hal pokok terkait dalam perdagangan multilateral, termasuk terkait perjanjian pertanian yang diratifikasi oleh WTO dalam KTM pertama WTO di Urugay tahun 1986.
Perundingan-perundingan sudah dilakukan dalam empat kali KTM yang digelar setiap dua tahun atau berlangsung selama 12 tahun. Dalam kurun waktu itu, perundingan selalu berakhir buntu. KTM ke-5 di Cancun, India, gagal karena demonstrasi. Tidak tercapainya konsensus dalam masalah pertanian dan kapas menyebabkan kegagalan membahas isu runding lainnya. KTM ke-6 di Hongkong hanya melihat kembali kemajuan perundingan Doha, tetapi tidak ada kesepakatan apa pun.
KTM ke-7 di Geneva, Swiss, juga hanya melihat situasi dunia dan meningkatnya proteksionisme. KTM ke-8 yang juga digelar di Geneva dua tahun berikutnya mengamanatkan untuk membuat perjanjian kecil, tetapi mungkin bisa dicapai di KTM berikutnya.
Dengan jangka waktu perundingan sedemikian panjang dan tanpa hasil, timbullah pesimisme terhadap peranan WTO dalam mengatur perdagangan multilateral. Apalagi, sejak kebuntuan mulai terjadi pada perundingan-perundingan Putaran Doha, makin banyak inisiatif perdagangan bilateral dan regional. Sempat timbul kekhawatiran bahwa eksistensi WTO dan perdagangan multilateral akan makin terkikis jika Paket Bali gagal.
Ketua KTM-ke 9 sekaligus Menteri Perdagangan Gita Wirjawan dan Direktur Jenderal WTO Roberto Azevedo dengan meyakinkan bertutur bahwa Paket Bali adalah pintu masuk menuju perundingan-perundingan lain dari Putaran Doha. Kesepakatan atas tiga muatan pokok memberi harapan bahwa anggota WTO akan tetap bisa sepakat dengan isu runding lainnya kendati menggunakan pendekatan single undertaking.
Di tengah optimisme itu, ada berbagai kalangan yang khawatir bahwa liberalisasi perdagangan dunia yang diperkuat melalui Paket Bali akan mengancam kedaulatan pangan di negara berkembang dan miskin. Hanya dengan menghasilkan kesepakatan mengenai perdagangan multilateral yang seimbang, eksistensi WTO akan dihargai. Jika gagal, resistensi terhadap WTO akan semakin kuat. (A Handoko/Hermas Effendi Prabowo)
http://epaper.kompas.com/kompas/books/131209kompas/#/17/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar