Sikap Pemerintah di WTO Dipertanyakan
NUSA DUA, KOMPAS — Konferensi Tingkat Menteri Ke-9 Organisasi Perdagangan Dunia di Nusa Dua, Bali, yang akan berakhir Jumat (6/12) ini, terancam tidak menghasilkan kesepakatan apa pun. India masih tetap pada sikapnya untuk tidak menegosiasikan masalah cadangan pangan.
Penegasan India itu disampaikan Menteri Perdagangan dan Industri Anand Sharma dalam konferensi pers di Nusa Dua, Kamis kemarin. Anand merasa perlu menjelaskan pernyataan singkatnya dalam sesi pleno Konferensi Tingkat Menteri (KTM) Ke-9 Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Rabu kemarin, yang dengan tegas menolak upaya negosiasi soal ketahanan pangan. Itu adalah konsensus nasional India untuk memastikan 1,237 miliar penduduknya mendapatkan bahan pangan.
”Kami tidak mungkin menegosiasikan sesuatu yang akan menyebabkan konflik langsung dengan ketahanan pangan kami. Kami adalah negara dengan jumlah penduduk besar. Negara mana yang akan berpikir untuk menyediakan makan bagi 1,2 miliar orang kecuali kami sendiri yang harus memastikannya bahwa itu akan terjamin?” tutur Anand.
Melihat konsistensi selama dua hari KTM Ke-9 WTO di Bali, kecil kemungkinan India berubah sikap hingga konferensi berakhir. Dengan demikian, mengacu pada klausul kesepakatan tunggal (single undertaking), yakni tidak akan ada kesepakatan sebelum semua disetujui, KTM Ke-9 WTO tidak akan menghasilkan kesepakatan. Anand juga menegaskan, negaranya berprinsip lebih baik tak ada kesepakatan apa pun dari Bali daripada ada, tetapi tidak fair.
Melalui kelompok G-33 yang dipimpin Indonesia, India meminta WTO menyetujui peningkatan persentase cadangan pangan dari 10 persen menjadi 15 persen dari produksi nasional. India menolak tawaran solusi sementara yang membatasi durasi pemberian subsidi untuk kepentingan ketahanan pangan itu selama empat tahun.
Ketahanan pangan adalah satu dari tiga proposal sektor pertanian yang diajukan G-33. Sebanyak dua proposal lain, yakni tarif dan kuota impor serta daya saing ekspor, sudah menemukan titik temu. Ada dua sektor lain yang masuk dalam Paket Bali, yakni fasilitas perdagangan dan pembangunan negara kurang berkembang (LDC).
Fasilitas perdagangan sudah mendekati titik temu karena tidak ada lagi masalah krusial. Sementara itu, enam pokok perundingan mengenai pembangunan negara kurang berkembang sudah semuanya mencapai titik temu dalam Sidang Umum WTO di Geneva, Swiss.
Menjembatani
Ketua KTM Ke-9 WTO sekaligus Menteri Perdagangan Indonesia Gita Wirjawan secara khusus menemui India dan Amerika Serikat, dua kubu yang berseberangan dalam proposal ketahanan pangan. Gita juga mengaku sudah menemui ketua-ketua kelompok dalam WTO.
”Masih ada waktu untuk mendorong negara-negara anggota WTO bersikap fleksibel. Dalam sebuah perundingan atau negosiasi, tak ada satu pihak pun bisa mendapatkan 100 persen tuntutannya jika ingin menghasilkan kesepakatan,” ujar Gita.
Kesepakatan terhadap Paket Bali, menurut Gita, adalah pintu masuk untuk menyelesaikan agenda pembangunan Doha yang merupakan amanat KTM Ke-4 di Doha, Qatar, tahun 2001. Jika KTM WTO di Bali gagal menghasilkan kesepakatan, akan sangat sulit mewujudkan 19 isu pembangunan Doha.
Menanggapi kebuntuan perundingan, Duta Besar Vatikan untuk Perserikatan Bangsa- Bangsa dan Organisasi Internasional Lain (Termasuk WTO), yang berkedudukan di Geneva, Uskup Agung Silvano M Tomasi mengatakan, kebuntuan tersebut akan membawa ke dalam sistem perdagangan yang sangat sempit, yaitu sistem perdagangan regional dan bilateral.
”Kedua sistem perdagangan itu akan menggiring dalam sebuah situasi dengan risiko yang sangat besar, yaitu negara kaya akan dengan mudah mendikte negara miskin dan berkembang,” ujar Tomasi.
Keprihatinan Vatikan adalah kalau nanti negara yang kuat terus menekan yang lemah. Itu akan terjadi kalau masuk ke sistem perdagangan regional atau bilateral karena tidak ada hakim di sana.
”Dengan segala kelemahan sistem perdagangan multilateral, Vatikan mengakui itu. Sekarang bagaimana caranya agar menjadi lebih baik dan beberapa kompromi dilakukan,” kata Tomasi.
Menanggapi perkembangan di konferensi itu, pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Revrisond Baswir, sepakat dengan sikap India yang dengan tegas ingin melindungi kepentingan nasional terkait pertanian dan ketahanan pangan.
”Sikap India di WTO didukung masyarakat sipil dan politisinya. Ini menjadi pelajaran bagi Indonesia, bagaimana caranya melindungi kepentingan nasionalnya. Indonesia harus tegas bersuara seperti India. Jangan sampai karena menjadi tuan rumah, Indonesia justru mencoba melunakkan sikap negara-negara berkembang, termasuk India,” ujar Revrisond.
Ketua Eksekutif Indonesian Human Rights Committee for Social Justice Gunawan menjelaskan, penolakan India menjadi momentum bagi negara G-33 untuk mendorong WTO mengeluarkan masalah pertanian dari perundingan.
”Pertanian adalah instrumen kedaulatan nasional sebuah negara sehingga tidak boleh berada dalam tekanan negara lain mana pun,” ujar Gunawan.
Pengamat perdagangan dari Third World Network, Lutfiyah Hanim, mengatakan, paket LDC merupakan panenan perdana (early harvest) dari Paket Bali. Semua negara sepakat membuat paket LDC terpisah.
”Persoalannya negara maju, seperti AS dan Uni Eropa, tidak mau dan malah menjadikan isu itu sebagai tawanan untuk mendapatkan kepentingan mereka terkait fasilitas perdagangan dan proposal keamanan pangan yang buruk,” katanya.
Anggota DPR asal Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Rieke Diah Pitaloka, di Jakarta, mengatakan, Indonesia harus bergabung dengan India yang menolak negosiasi volume dan subsidi cadangan pangan dalam pertemuan itu. Jika perlu, Indonesia memelopori negara-negara lain untuk memboikot apa yang dipaksakan negara-negara maju.
Di Jember, Jawa Timur. Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Jember menggelar aksi demo menolak pertemuan KTM WTO di Bali. (MAS/AHA/COK/SIR/HAR)
http://epaper.kompas.com/kompas/books/131206kompas/#/1/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar