Selasa, 24 Desember 2013
TAHUN 2014 tahun politik. Maka, Petruk harus jadi raja. Sebagai wong cilik, sebagai pemilik suara rakyat (vox populi) yang adalah pengejawantahan dari suara Tuhan (vox Dei), dalam demokrasi Petruk adalah rakyat yang mahakuasa. Dialah yang menentukan siapa yang akan ditetapkannya sebagai penguasa, yang berhak atas mandat yang akan dititipkannya untuk masa lima tahun ke depan.
Dia akan melakukan evaluasi dan koreksi. Kelemahan, kekacauan, dan kebusukan rezim penguasa terdahulu harus dihukum berat: tidak dipilih lagi! Dalam pewayangan, Petruk salah satu dari—bersama Gareng dan Bagong)—punakawan, kelompok pengiring/penghibur/penasihat para ksatria pimpinan Semar, yang diposisikan sebagai wakil kaum jelata.
Salah satu lakon carangan yang spektakuler dalam kisah wayang adalah ”Petruk Dadi Ratu” (”Petruk Jadi Raja”). Itu kisah revolusioner. Bukan kisah tentang si pungguk merindukan bulan atau katak hendak jadi lembu. Tatkala pemerintahan begitu lemahnya, dan pusaka negara yang begitu saktinya, Jamus Kalimasada, hilang dicuri Dewi Mustakaweni dari Kerajaan Imantaka, yang menyaru sebagai Gatotkaca, itu berarti kiamat sudah dekat. Untuk menyelamatkan negara dan bangsa, koreksi total harus dilakukan. Segera.
Ketika itu, Petruk ”terpanggil”. Setelah operasi perebutan kembali Jamus Kalimasada dilakukan, dan jimat sakti itu berada di tangannya, Petruk segera menaruhnya di atas kepalanya. Seketika itu juga energi kosmik-spiritual merasuk ke tubuhnya. Ia jadi sakti mandraguna. Bahkan, para dewa di Jonggring Salaka tak ada yang mampu mengalahkannya. Lelaki buruk rupa yang juga disebut Dawala dan Kanthong Bolong itu pun menobatkan diri sebagai raja di Keraton Lojitengara, bergelar Prabu Welgeduwelbeh. Raja dan dewa tunduk dan takluk kepadanya.
Paradigma Petruk
Revolusi yang dilakukan Petruk hanya semusim. Namun, koreksi yang dilakukannya tak hanya menimbulkan kehebohan hebat, melainkan juga mampu mengembalikan seluruh tatanan ke relnya yang benar. Para raja dan dewa mendapatkan pelajaran berharga.
Fenomena Jokowi-Ahok yang terpilih menjadi pimpinan Ibu Kota, kemudian menduduki peringkat tertinggi di semua jajak pendapat untuk calon presiden, sejenis fenomena ”Petruk Jadi Raja” yang revolusioner dan korektif tadi.
Para (calon) pemimpin di negeri ini seharusnya tak hanya belajar meniru langkah blusukan-nya, tetapi juga melihat seluruh paradigmanya. Terpilih dan teridolakannya Jokowi (-Ahok) adalah ekspresi dari perasaan rakyat yang secara fundamental telah terzalimi oleh kedua rezim pascareformasi. Rakyat sudah letih, bosan, dan benci melihat kinerja dan performa seluruh abdi rakyat dan abdi negara di lembaga-lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif yang begitu bobrok dan tak becus. Rakyat sudah muak pada politik pencitraan yang dhaif, palsu, dan membodohi.
”Paradigma Petruk” adalah paradigma paradoks: kelindan antara dekonstruksi-parodi dan semangat antihero. Alhasil, cara-cara menjual diri para calon anggota legislatif ataupun calon presiden yang masih bertumpu pada gebyar iklan televisi, baliho, seremoni, dan pidato-pidato omong kosong, bukan hanya sudah basi dan menunjukkan sikap antiperubahan, juga langkah bunuh diri yang bodoh. Rakyat tidak akan memilih mereka, apalagi yang punya rekam jejak hitam di masa lalu yang belum lagi jauh. Rakyat hanya akan memilih para ”Petruk buruk muka” yang bersahaja dan kerja nyata.
Ya, rakyat yang sebelum ini— meminjam seloroh seorang teman—mendambakan datangnya Ratu Adil, tetapi yang muncul Ratu Atut; mendambakan Satria Piningit, tapi yang muncul Satria Bergitar, kini mendambakan seorang Petruk for president! ●
Yudhistira ANM Massardi ; Pengamat Pendidikan
Sumber : kompas
http://budisansblog.blogspot.com/2013/12/2014-petruk-harus-jadi-raja_24.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar