Rabu, 04 Desember 2013

Menakar Untung-Rugi WTO

3 Desember 2013

Banyak keluhan bahwa WTO timpang, selalu menguntungkan negara maju.

Pemerintah seluruh dunia bersiap mengikuti Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-9 Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 3-6 Desember 2013 di Bali.

Ada tiga debat di meja negosiasi saat ini. Pertama mengenai fasilitasi perdagangan. Kedua tentang pertanian. Terakhir adalah isu pembangunan negara-negara kurang berkembang (LDCs). Ketiganya mengancam kredibilitas WTO karena rezim perdagangan ini mati suri sejak 2005.

Batu sandungan di WTO dari waktu ke waktu sebenarnya klasik, perbedaan kepentingan negara maju dan negara (miskin dan) berkembang. Satu hal yang pasti, banyak keluhan bahwa WTO timpang, selalu menguntungkan negara maju.

Bukti konkret? Agenda Pembangunan Doha—efektif berlaku pada 2001—seharusnya menjadi agenda pemberdayaan untuk pembangunan negara-negara miskin juga negara-negara yang ingin tinggal landas.

Hasilnya? Nihil. Semua usulan dari negara-negara selatan selalu ditolak, ditawar, dikurangi. Resultan dari itu semua, negosiasi buntu.

Hal yang sama terjadi pada Paket Bali, alias ketiga negosiasi “baru” di atas. Fasilitasi perdagangan misalnya. Istilah ini bukan berarti peningkatan dan fasilitas perdagangan internasional atau keleluasaan negara miskin dan berkembang berdagang ke pasar negara maju.

Poin-poin negosiasi di lini ini ternyata lebih menekankan pada penyederhanaan modalitas perbatasan agar ekspor negara maju lebih gampang tembus. Negosiasi ini meniadakan kepentingan negara berkembang, seperti pembangunan kapasitas di pelabuhan, jaringan pemasaran, atau cara menggalakkan perdagangan antarwilayah.

Selanjutnya, pertanyaan besar untuk implementasi fasilitas perdagangan adalah, apakah negara miskin dan berkembang anggota WTO akan mampu melaksanakan perombakan besar di pelabuhan dan bea cukai mereka? Ditilik dari asal-muasal, proposal ini ternyata memang berasal dari negara maju.

Intinya, negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan beberapa anggota Uni Eropa (UE) ingin akses lebih untuk produk-produk mereka. Ekonomi mereka masih terimbas krisis finansial. Ke mana lagi melempar barang kalau bukan ke negara miskin dan berkembang?

Negara kita dengan potensi pasar dua ratusan juta jelas jadi sasaran empuk. Jika kita setuju, pasar Indonesia akan kembali jadi bulan-bulanan impor. Usaha dalam negeri kita terancam tak atraktif karena bakal dihajar barang murah.

Isu LDCs (atau lebih tepatnya perdagangan bebas untuk barang bebas cukai negara kurang berkembang), hampir tak menuai perdebatan. Isu pertanian selalu menjadi batu sandungan perundingan WTO.

Pada Konferensi Tingkat Menteri ke-9 ini pun demikian. Permasalahan yang paling mengemuka adalah mengenai subsidi. Negara berkembang dalam G-33 mengusulkan penghapusan pembatasan subsidi pertanian bagi negara berkembang, untuk kepentingan public stock holding demi ketahanan pangan.

Intinya, demi ketahanan pangan negara macam Indonesia boleh menaikkan subsidi hingga 10-15 persen. Usulan ini dimulai India, yang secara nasional mengesahkan Undang-Undang Pangan baru untuk melindungi petani dan sektor pertanian mereka.

Harga domestik pun bisa disubsidi, jadi petani tak usah khawatir gagal panen karena hama atau pengaruh musim. Lagi-lagi usulan ini digebuk negara maju, terutama AS. Menurut mereka, usulan subsidi ini bertentangan dengan naskah Agreement on Agriculture (AoA) Pasal 6.

Jika tetap mau subsidi, negara-negara harus bersepakat merombak AoA yang mengisyaratkan negosiasi berjalan mundur. Padahal, subsidi adalah kepentingan terbesar negara berkembang yang ingin melindungi petani, daerah pedesaan, dan sektor pertanian mereka.

Negara maju tak seharusnya mengangkangi kedaulatan negara lain. Dengan memblokade usulan ini, negara maju juga terlihat hipokrit. Pada praktiknya, negara-negara macam AS dan UE adalah mereka yang menggelontorkan subsidi terbesar untuk pertanian domestik.

Subsidi pertanian pemerintah federal AS setiap tahun tercatat sekitar US$ 100 miliar (Rp 1.200 triliun). UE rata-rata menorehkan angka sekitar 55 miliar euro per tahun (Rp 888,64 triliun). Mari kita bandingkan dengan Indonesia, anggaran subsidi pertanian di APBN 2013 hanya Rp 143 triliun.

Inilah yang menyebabkan produk pertanian AS dan UE bisa berjaya. Di pasar negara miskin dan berkembang, produk-produk ini bisa jauh lebih murah harganya dibanding produk lokal. Lalu, bagaimana petani negara miskin dan berkembang bisa bersaing—atau bahkan untuk bertahan hidup?

Di babak akhir negosiasi menuju Bali, negara maju menawarkan peace clause, pertukaran antara fasilitasi perdagangan dan pertanian. Usulan subsidi bisa berlaku selama empat tahun, asalkan fasilitasi perdagangan berlaku penuh dan mengikat secara hukum. Nilai sendiri saja bagaimana bodohnya jika kita setuju.

Untungnya, negara berkembang yang dimotori India, saat ini masih bertahan. Indonesia juga demikian. Penting untuk disadari, kepentingan nasional seharusnya menjadi modal terdepan untuk negosiasi. India bersikap jelas, kebijakan domestik tak bisa diintervensi bahkan oleh WTO—dan untuk itu subsidi harus tetap jalan.

Negara kita sudah lama tak bersikap demikian dalam WTO sehingga pertanian dan industri kita babak belur. Tidak hanya karena perdagangan bebas multilateral ala WTO, tapi juga bilateral macam perjanjian perdagangan bebas dengan China, Australia, Selandia baru, Korea, serta Jepang.

Sudah saatnya kita berdiri tegak dan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum.

*Penulis adalah Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI).
Sumber : Sinar Harapan

http://www.shnews.co/detile-28938-menakar-untungrugi-wto.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar