Petani Sumber Klampok aksi bersama beberapa elemen di Denpasar, Bali, Selasa (3/12), menolak perjanjian WTO |
Denpasar, Bali, Antara Jateng - Konsorsium Pembaruan Agraria dalam Konferensi Tingkat Menteri Ke-9 WTO, mulai Selasa hingga Jumat (6/12) di Bali kembali menegaskan bahwa liberalisasi yang menjadi agenda perjanjian dalam WTO bertolak belakang dengan cita-cita keadilan sosial.
“Kami menilai bahwa bergabungnya Indonesia dengan WTO selama sembilan belas tahun kebelakang telah membelokan arah cita-cita nasional ke arah neoliberalisme,” kata Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin dalam siaran persnya yang diterima Antara Jateng, Selasa.
Pertemuan KTM-9 WTO dengan tiga agenda fasilitasi perdagangan (trade facilitation), paket pembangunan negara kurang berkembang (LDCs development package), dan pertanian (agriculture) adalah upaya negara-negara maju untuk memperluas krisis di Indonesia dengan mengekspoitasi kekayaan alam atas nama investasi besar-besaran dan memukul produk pangan lokal atas nama serbuan pangan impor serta upaya pelepasan peran negara dengan mencabut subsidi pertanian.
Dampaknya adalah pemiskinan strukutural yang massif karena lemahnya akses terhadap sumber kekayaan alam yang diliberalisasi. Liberalisasi tersebut terbukti semakin menyengsarakan kehidupan petani, buruh, masyarakat adat, nelayan dan rakyat kecil lainnya. Liberalisasi sumber agraria juga telah melahirkan konflik agraria struktural yang makim masif.
Libido negara maju yang menghendaki negara berkembang mencabut subsidi pertanian adalah bukti bahwa negara maju menginginkan masuknya negara berkembang dalam skema perdagangan bebas yang liberal. Di negara maju sendiri teknologi dan keahlian serta modal mendorong perkasanya sektor pertanian negara maju, sementara negara maju meminta negara berkembang untuk menghilangkan peran pemerintah dalam melindungi petani lokal dan mencabut subsidi pertaniannya.
Negara maju juga terbukti memberi subsidi yang begitu besar bagi petaninya, AS tercatat menngelontorkan sekitar US$ 130 M (2010) sementara di Eropa US$ 106 M (2009). Sementara Indonesia hanya menganggarkan 2.5% dari total anggaran dalam RAPBN 2014.
Sejak Indonesia bergabung dengan WTO yang ditandai dengan ratifikasi perjanjian pembentukan WTO pada November 1994 melalui Undang-undang No.7/1994 Indonesia telah terjebak dalam skema liberalisasi perdagangan dan upaya penghilangan peran-peran negara dalam memproteksi ekonomi nasional. Pemerintah sejak saat itu telah menciptakan sebuah lingkungan mendukung liberalisasi perdagangan seperti penurunan tarif serta menghapuskan hambatan impor.
Secara terang benderang praktik liberalisasi yang menjadi resep badan internasional bernama WTO antara lain: Perluasan Akses Pasar dan Mekanisme Pasar; Harmonisasi Tarif; Most Favoured Nations (MFN); National Treatment (NT); Penghapusan Restriksi Kuantitatif dan Liberalisasi Progresif telah mengamputasi kedaulatan ekonomi nasional. Hingga saat ini WTO masih akan digunakan untuk memperluas peran dan pengaruh perusahaan-perusahaan transnasional dalam mengelola berbagai sektor strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Atas dasar terebut, Konsorsium Pembaruan Agraria menyatakan:
1. Evaluasi dan Tinjau Ulang bergabungnya Indonesia dalam WTO, karena
a. Praktik liberalisasi dalam bentuk investasi sektor strategis (sumber agraria: tanah, tambang, migas, air, hutan dsb) yang menguasai hajat hidup orang banyak tidak sejalan dengan cita-cita kedaulatan ekonomi nasional yang termaktub dalam Pasal 33 UUD 45 dan UUPA 1960;
b. Praktik liberalisasi dalam bentuk perluasan akses pasar yang sangat terbuka dengan penghapusan tarif hingga nol persen merupakan pengabaian pemerintah terhadap perlindungan produk petani lokal dari serbuan bahan pangan impor
c. Penghapusan subsidi khususnya pada sektor pertanian akan membuat biaya produksi pertanian yang ditanggung petani lokal naik dan mendorong kenaikan harga-harga kebutuhan pangan.
2. Menolak segala perjanjian WTO yang diagendakan di Bali karena akan menstimulus praktik perampasan sumber kekayaan alam yang secara sistematis memiskinkan petani, buruh, nelayan, masyarakat adat dsb. Liberalisasi sumber agraria telah nyata melahirkan konflik agraria struktural yang seringkali membuat petani kehilangan tanahnya dan tak jarang mendapatkan kekerasan, intimidasi bahkan kriminalisasi dari aparat.
3. Melaksanakan moratorium segala bentuk perjanjian perdagangan bebas, baik dalam tingkat WTO maupun Free Trade Agreement (FTA) regional dan bilateral yang bertolak belakang dengan kedaulatan nasional dan tujuan negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Editor : D.Dj. Kliwantoro
http://www.antarajateng.com/detail/index.php?id=88152/Perjanjian-WTO-Bertolak-Belakang-dengan-Cita-Cita-Keadilan-Agraria#.Up5pwicy9ek
Tidak ada komentar:
Posting Komentar