9 Desember 2013
Benahi Infrastruktur, Distribusi, dan Daya Saing Setelah Konferensi WTO
JAKARTA, KOMPAS — Konferensi Tingkat Menteri Ke-9 Organisasi Perdagangan Dunia di Nusa Dua, Bali, yang berakhir Sabtu (7/12), akhirnya menyepakati ”Paket Bali”. Pekerjaan berat menanti Indonesia untuk memastikan bahwa setelah empat tahun ke depan, ketahanan pangan tetap terjamin.
Ada tiga muatan utama dalam Paket Bali, yakni fasilitas perdagangan, sebagian isu runding masalah pertanian, dan pembangunan negara kurang berkembang. Negosiasi proposal mengenai stok untuk ketahanan pangan berjalan sangat alot dan menyebabkan agenda konferensi yang seharusnya berakhir Jumat (6/12) molor hingga Sabtu. Negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) yang berjumlah 159 negara sepakat memutuskan solusi permanen mengenai ketahanan pangan paling lambat hingga Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-11 atau empat tahun lagi.
Pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Revrisond Baswir, Minggu (8/12), menuturkan, pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Indonesia dalam empat tahun ke depan antara lain infrastruktur, distribusi, dan daya saing. ”Pertanyaannya, apakah dalam empat tahun ke depan Indonesia bisa menyelesaikan pekerjaan rumah itu dengan baik. Selama ini, terkait hal-hal itu Indonesia lambat memenuhinya,” kata Revrisond.
Salah satu proposal dalam Paket Bali yang krusial adalah terkait masalah stok pangan. Sesuai ketentuan masalah pertanian yang diatur WTO, negara berkembang hanya boleh memberi subsidi maksimal 10 persen dari produksi nasional untuk keperluan stok ketahanan pangan. Harga acuan yang dipakai adalah harga tahun 1986-1988. Dalam kesepakatan Paket Bali, hingga tercapainya solusi permanen, setiap anggota WTO harus menahan diri untuk tidak membawa aduan ke sidang panel penyelesaian sengketa.
Dengan klausul tersebut, negara berkembang yang memberi subsidi pertanian untuk keperluan ketahanan pangan lebih dari 10 persen, masih akan terhindar dari pengaduan sengketa hingga diperoleh solusi permanen. Revrisond menjelaskan, dalam konteks ini, Indonesia harus sesegera mungkin memperkuat sistem ketahanan pangan.
”Paket Bali akan terkait dengan komunitas ekonomi ASEAN yang saya terjemahkan sebagai proses liberalisasi, terutama di sektor pertanian. Daya saing produk pertanian yang menjadi syarat mutlak dalam perdagangan bebas akan menyulitkan negara-negara yang dari sisi teknologi pertanian masih tradisional,” kata Revrisond.
Indonesia harus menggenjot produktivitas pertanian demi menghindari aturan pemberian subsidi yang melebihi ketentuan. Revrisond khawatir kondisi ini akan memaksa Indonesia untuk hanya fokus pada pembangunan sektor pertanian di tempat-tempat strategis, seperti di Pulau Jawa. ”Lalu, bagaimana nasib tempat-tempat lain dan tenaga kerjanya? Selama ini, sektor pertambangan memberi contoh bagaimana putra daerah tersingkir dari kompetisi pekerjaan di wilayahnya,” kata Revrisond.
Ketahanan pangan
Wakil Ketua Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Aria Bima berpendapat, ketahanan pangan menjadi persoalan krusial Indonesia yang berkarakteristik sebagai negara kepulauan. ”Dengan karakteristik sebagai negara kepulauan, Indonesia seringkali mengalami kendala dalam distribusi. Jika peran negara makin dikurangi dengan membatasi subsidi, ketahanan pangan akan menjadi persoalan. Negara-negara maju yang sudah kompetitif mendapatkan pasar yang semakin luas di negara-negara berkembang,” ujar Aria.
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan melihat pencapaian WTO di Bali sebagai sesuatu yang positif. Dengan tercapainya kesepakatan mengenai fasilitas perdagangan, sebagian isu runding pertanian, dan pembangunan negara kurang berkembang, secara langsung akan meningkatkan perdagangan dunia.
”Paket Bali adalah pencapaian bersejarah karena bisa memecah kebuntuan Putaran Doha selama 12 tahun. Dengan demikian, negara-negara akan makin percaya pada eksistensi WTO,” kata Gita.
Sejumlah studi menyebutkan, pasca-Paket Bali, peningkatan perdagangan dunia mencapai 800 miliar dollar AS hingga 1,2 triliun dollar AS. Peningkatan perdagangan yang dinikmati Indonesia sekitar 2 persen dari peningkatan perdagangan dunia.
Ketua Kamar Dagang dan Industri Internasional Victor K Fung mengatakan, keberhasilan Paket Bali akan mendorong penciptaan jutaan lapangan kerja baru di negara berkembang dan negara miskin. Ini terjadi karena perusahaan bisa meningkatkan kapasitas produksi dengan makin sederhananya proses investasi dan distribusi barang. (AHA/MAS)
http://epaper.kompas.com/kompas/books/131209kompas/#/17/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar