Kamis, 26 Desember 2013
Saat ini, konsep pembangunan pangan Indonesia menempatkan pangan hanya komoditas.
JAKARTA - Pangan adalah hal yang sangat penting dan merupakan kebutuhan mendasar manusia. Pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup bagi setiap orang di setiap waktu merupakan salah satu hak yang paling asasi bagi manusia.
Untuk itu, sudah semestinya persoalan pangan diberikan perhatian yang besar, termasuk dalam hal ketahanan dan kemandirian pangan.
Masyarakat sempat diberikan angin segar ketika pemerintah melalui pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2010-2014 (RPJMN 2010-2014) dengan menetapkan prioritas ketahanan pangan sebagai salah satu dari 11 prioritas nasional.
Sebagai implementasinya, pemerintah mencanangkan pencapaian swasembada pangan yang akan dicapai 2014. Swasembada yang dimaksud adalah swasembada di lima komoditas pangan, yaitu beras, jagung, gula, daging, dan kedelai.
Namun yang terjadi saat ini, konsep pembangunan pangan Indonesia menempatkan pangan sekedar komoditas, bukan pengembangan kemampuan produksi dalam negeri dengan didukung kelembagaan ketahanan pangan. Akibatnya, terjadi penurunan atau kemerosotan produksi terhadap kelima komoditas yang digadang-gadang pemerintah untuk mencapai swasembada pada 2014.
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Khudori menilai, pemerintah telah menetapkan target ambisius dengan swasembada jagung, kedelai, gula, dan daging serta surplus beras pada 2014. “Waktu yang tersisa untuk mencapai target itu tidak lama lagi dengan tanda-tanda pencapaian masih jauh,” kata Khudori.
Dari lima komoditas tersebut, kemungkinan yang targetnya tercapai ialah beras dan jagung. Sementara itu, kedelai, gula, dan daging tidak dapat tercapai.
Penilaian itu seiring berjalannnya waktu mulai terbukti dengan berbagai kendala yang muncul mengadang target yang dicanangkan pemerintah.
Untuk komoditas gula, diakui Direktur Pascapanen dan Pembinaan Usaha Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Irmijati Nur Bahar, target swasembada gula 2014 akan sulit tercapai. Hal ini didasari beberapa target dari road map swasembada gula yang telah disusun tidak terealisasi pada 2013 ini.
Beberapa target yang tidak terealisasi itu antara lain rencana pembangunan pabrik gula yang semulanya sekitar 10-15 unit dengan kapasitas rata-rata 10.000 TCD dan sudah dapat beroperasi pada 2014.
Namun kenyataannya, hingga 2013 baru satu pabrik gula yang dibangun yaitu pabrik gula di Kabupaten Blora yang rencananya beroperasi pada Juni 2014. Selain itu, rencana penambahan lahan untuk perluasan tebu sebesar 350.000 ha dan akan dimulai tahun 2010. Faktanya, penambahan lahan tidak dapat terealisasikan.
Sebelumnya, untuk target proyeksi kebutuhan gula nasional 2014 sebesar 5,7 juta ton yang terdiri atas gula kristal putih (GKP) sebesar 2.956.000 ton dan gula kristal rafinasi (GKR) sebesar 2.744.000 ton. Sementara itu, produksi GKP awal Desember 2013 sebesar 2,53 juta ton sehingga perlu tambahan produksi 3,17 juta ton.
“Waktu yang tinggal satu tahun rasanya sangat sulit untuk menggenjot produksi gula mencapai 3,17 juta ton,” Nur Bahar mengakui.
Keterbatasan Lahan
Ia menambahkan, beberapa masalah yang dihadapi dalam meningkatkan produksi dan produktivitas gula secara on farm antara lain sulitnya pengembangan areal yang baru dan mempertahankan lahan yang sudah ada. “Kalaupun ada lahan tebu yang berpotensi, namun bagaimana pembebasan lahan dan proses ganti rugi juga menjadi kendala,” ujarnya.
Selain itu, keterbatasan infrastruktur, terutama untuk pengembangan di luar Pulau Jawa, seperti sarana irigasi atau pengairan untuk pengembangan di lahan kering. Sementara itu, untuk off farm-nya tingkat efisiensi pabrik gula masih jauh di bawah standar sehingga menyebabkan biaya produksi semakin tinggi.
Kasubdit Budi Daya Tanaman Semusim Direktur Jenderal Perkebunan, Gede Wirasuta mengatakan, pemerintah setiap tahun telah melaksanakan kegiatan perluasan lahan di dalam membangun pabrik gula.
Pada 2012 penyediaan lahan di Madura sebesar 550 hektare (ha) dan pada 2013 sebesar 4.000 ha di dua kabupaten, yaitu Sampang dan Bangkalan. Harapannya akan dibangun pabrik gula dengan kapasitas minimal 6.000 TCD. “Tahun 2014 kami upayakan menyediakan 4.000 ha,” ia menambahkan.
Lain gula lain kedelai. Awal September 2013 perajin tahu dan tempe sempat melakukan aksi mogok produksi selama tiga hari karena tingginya harga bahan baku. Mogoknya produksi tentu saja membuat tahu dan tempe sempat langka di pasar.
Menurut Ketua II Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia, Sutaryo Bin Daan mengatakan, selama tidak ada perbaikan data produksi kedelai, selama itu pula gejolak akan terus terjadi. Kebutuhan akan kedelai, menurutnya, akan meningkat setiap tahun.
Peningkatan ini sejalan dengan kebutuhan penduduk di mana mayoritas masyarakat Indonesia, khususnya Pulau Jawa menggemari makanan dengan lauk tahu dan tempe. Hal ini tampaknya sejalan dengan teori Thomas R Maltus, dunia akan selalu kekurangan pangan karena pertumbuhan penduduk.
“Ketahanan pangan akan terjadi kalau kekuatan dalam negeri itu imbang atau di atasnya. Sekarang, kebutuhan kedelai secara nasional sebesar 2 juta ton, namun terealisasi 1,7 juta ton. Untuk jumlah produksi kedelai lokal saat ini sekitar 850.000 atau di bawah jauh 50 persen. Jadi, agak sulit kedelai lokal ditonjolkan dalam swasembada. Hal yang pasti swasembada kedelai sulit dicapai di tahun depan,” ia menegaskan.
Swasembada juga sulit terjadi pada daging sapi. Sekretaris Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Riwantoro mengungkapkan, sistem distribusi dan sarana transportasi menjadi penghambat tercapainya Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) pada 2014.
Ketua Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia, Teguh Boediyana menambahkan, peningkatan populasi sapi harus menjadi prioritas pada 2014. “Program swasembada daging sapi tidak boleh hanya dilakukan terpisah sebagai kegiatan di sisi hulu, tetapi harus menjadi bagian integral dari konsep komprehensif pengembangan industri sapi potong Tanah Air,” ujarnya.
Dari lima terget swasembada, hanya beras yang tidak mengalami kekurangan produksi, bahkan dikatakan cukup aman untuk memenuhi kebutuhan nasional. Berdasarkan target stok akhir tahun 2013 dan 2014, stok akhir tahun Perum Bulog rata-rata berada pada angka 2 juta ton. Sementara itu, proyeksi ketahanan stok sepanjang 2014 mulai Januari-Desember berkisar 7,05-12,76 bulan penyaluran.
Untuk mengurai berbagai problem struktural diperlukan sejumlah kebijakan inti dari semua kebijakan tersebut.
Menurut Khudori, untuk sektor di hulu pemerintah harus meningkatkan produksi, produktivitas, dan efisiensi usaha tani dan tata niaga komoditas pangan. “Kebijakan ini harus ditopang dengan perluasan lahan lapangan, perbaikan infrastruktur, dan pembenahan sistem informasi harga. Untuk itu diperlukan alokasi anggaran yang memadai,” ia menambahkan.
Terkait penentuan kebijakan, Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk, Fransiscus Welirang mengatakan, di dalam merumuskan suatu kebijakan harus terlebih dahulu mempunyai kemampuan membedakan antara pokok dan rating dari suatu masalah. “Melalui clear understanding, kita baru bisa menyusun right action. Kalau hanya berbicara dengan ego sektoral, hanya akan membuang waktu,” ia menegaskan.
Menjadi kepentingan dan tanggung jawab bersama terkait pembangunan pertanian, seperti yang dikatakan Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian, Hari Priyono, yang menilai tanggung jawab pembangunan pertanian tidak dapat dilakukan sepenuhnya oleh Kementerian Pertanian.
Dengan otonomi daerah sebagian kewenangan pemerintahan di bidang pertanian sudah diberikan ke daerah. Walaupun disadari banyak fungsi-fungsi yang sudah menjadi tanggung jawab daerah tidak berjalan semestinya, di mana target swasembada pangan hanya isapan jempol.
Sumber : Sinar Harapan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar