4 Desember 2013
SENSUS Pertanian 2013 mengonfirmasi penurunan jumlah rumah tangga petani dan peningkatan penguasaan lahan milik rumah tangga petani.
Sensus yang dilakukan Badan Pusat Statistik tiap 10 tahun sejak tahun 1963 tersebut mencatat jumlah rumah tangga (RT) pertanian turun 5,10 juta RT menjadi 26,14 juta RT setelah sensus tahun 2003. Rata-rata penguasaan lahan naik dari 0,41 hektar menjadi 0,89 hektar, terutama berasal dari lahan pertanian.
Hasil penting lain adalah jumlah rumah tangga petani gurem—petani yang menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar—menurun 4,77 juta RT menjadi 14,25 juta RT. Meski demikian, jumlah petani gurem masih lebih dari separuh (55,33 persen) total jumlah RT pertanian.
Usia petani juga semakin lanjut, 32,76 persen RT berusia di atas 54 tahun, menunjukkan rendahnya minat menjadi petani. Rumah tangga pertanian meliputi mereka yang berusaha di lahan pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan, dan peternakan.
Penurunan jumlah petani adalah alamiah ketika masyarakat semakin berkembang menjadi masyarakat industri, kemudian masyarakat teknologi dan informasi, lalu masyarakat kreatif.
Meski demikian, transformasi peradaban ekonomi tersebut seharusnya dilakukan sadar dan terencana oleh pemerintah. Petani kita, terutama yang gurem, keluar dari lahan pertanian, bukan sebagai hasil perencanaan pembangunan, melainkan karena hasil produksi pertanian mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup dasar.
Hal di atas tecermin dari nilai tukar petani, yaitu perbandingan indeks harga yang diterima petani dibandingkan dengan indeks harga yang dibayar petani dan menggambarkan daya beli petani. Angkanya tidak pernah beranjak jauh dari 100. Apalagi, petani sawah yang rata-rata penguasaan lahannya hanya 0,2 hektar. Upah buruh di pertanian pun hanya 60 persen dari upah buruh di kota.
Peningkatan penguasaan lahan pertanian menggambarkan konsolidasi lahan. Hal ini secara teoretis dapat meningkatkan efisiensi pengolahan lahan melalui mekanisasi pertanian apabila lahan tersebut berada dalam satu hamparan.
Namun, tanpa perencanaan sistematis transformasi pertanian, petani yang keluar dari sektor pertanian akan membebani sektor nonpertanian. Tanpa persiapan pendidikan dan keterampilan memadai, mereka akan menimbulkan masalah pengangguran terselubung maupun terbuka.
Kemiskinan terbanyak masih ada di pedesaan. Tingkat pendidikan pun lebih rendah daripada perkotaan. Mentransformasi sektor pertanian secara terencana, termasuk meningkatkan nilai tambah produk pertanian dan penciptaan lapangan kerja melalui industrialisasi hasil pertanian, menjadi kewajiban siapa pun pemimpin Indonesia mendatang.
Indonesia tetap membutuhkan pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangannya dan itu termasuk menyejahterakan jutaan petani kecil pelakunya.
http://epaper.kompas.com/kompas/books/131204kompas/index.html#/5/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar