KETERGANTUNGAN pada pangan impor menjadi salah satu petaka bagi kehidupan rakyat. Apalagi impor telah merambah pada pangan yang semestinya tak perlu impor, karena dalam negeri sesungguhnya punya potensi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Bahkan sesungguhnya apabila dilindungi melalui piranti kebijakan politik, termasuk kebijakan politik anggaran, bukanlah sebuah hisapan jempol, Indonesia sesungguhnya mampu menjadi salah satu eksportir pangan tropis untuk penuhi kebutuhan dunia. Tengok saja Vietnam, negara yang luas lahan pertaniannya tak seberapa dibandingkan Indonesia, mampu jadi pemasok beras dunia, termasuk Indonesia.
Ketergantungan akut terhadap pangan impor, bukan hanya pada pangan konsumsi, bahkan bibit pangan dan cadangan pangan pun tak bisa ditentukan oleh negara kita sendiri.
Ketidakmampuan petani memproduksi pangan, penyusutan lahan pertanian, dan berbagai problem menyangkut isu pangan bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Semua hal terkait pangan didiktekan dengan dalih: dunia pasar bebas.
"Kami datang ke sini tidak untuk membuat kesepakatan. Kami ke sini karena kepentingan rakyat miskin." (Anand Sharma, Menteri Perdagangan dan Industri India dalam sesi pleno Konferensi Tingkat Menteri ke 9 WTO 2013 di Bali)
Lalu apa yang komentar Pemerintah RI, yang diwakili Wakil Menteri Perdagangan Indonesia, Bayu Krisnamurthi: "Yang sulit kita terima kalau India tidak mau bergerak dari posisinya dan tidak mau menerima usulan apa pun untuk mewujudkan satu kesepakatan."
Adalah aneh bagi kita, betapa patuhnya Pemerintah SBY terhadap hukum WTO. Subsidi hanya boleh 10 persen dari produksi nasional. Negara maju sepakat 15 persen, namun hanya boleh selama 4 tahun. Sungguh sebuah arogansi negara-negara maju menyetir negara-negara berkembang, mengatur apa yang boleh dan apa yang tidak.
Sementara subsidi terhadap petani di negara-negara maju tidak dipersoalkan. "Matilah" petani-petani kita, karena bagi saya pengurangan subsidi terus-menerus yang dibarengi oleh serbuan pangan dari negara maju adalah sebuah "pemerkosaan terhadap negara-negara berkembang"
Sudah saatnya Indonesia bukan hanya bicara ketahanan pangan, bagaimana sekedar pikirkan pangan ada di pasar, tanpa perhitungkan darimana asalnya, apakah terbeli atau tidak, apakah petani kita sejahtera atau tidak.
Yang Indonesia butuhkan "kedaulatan pangan". Soal pangan pun adalah soal harga diri bangsa, dari setiap bulir padi yang dikonsumsi, dari setiap lembar sayur, sepiring buah ada sebuah nasib bangsa bernama Indonesia.
Indonesia tak mungkin sendiri menghadapi "intimidasi" negara maju. Posisi sebagai pimpinan kelompok G-33 semestinya digunakan sebagai kesempatan tentukan arah putusan WTO kali ini.
Negara bertanggungjawab terhadap pemenuhan kebutuhan pangan rakyat. Tak boleh digadaikan dengan hanya bersandar pada urusan untung rugi dari sisi bisnis. Tawar menawar soal kedaulatan pangan adalah sebuah penghinaan. Kedaulatan pangan hanya bisa hadir dari sebuah pemerintah yang punya kedaulatan.
Hanya pemerintah yang punya harga diri yang bisa berdaulat. Saya berpendapat, bukan hanya WTO yang menanti putusan Bali terkait pangan, dunia sedang menanti.
Indonesia, ambilah palu keputusan, bergabunglah dengan India dan negara-negara lain. Hentikan intimidasi mereka yang menamakan dirinya negara maju. Bukan hanya rakyat di negara maju yang berhak terpenuhi kebutuhan pangan. Bukan hanya petani negara maju yang berhak dilindungi dan disubsidi negara.
Rakyat di seluruh belahan dunia pun berhak cukup pangan. Petani di mana pun punya hak untuk tidak kehilangan lahan, tidak dicekik harga bibit dan pupuk yang selangit. Dimana pun, bukan hanya di negara-negara maju. Indonesia kalau perlu "boikot paksaan negara-negara maju".
Apa yang kita takuti? Bukankah kemelaratan akibat ketergantungan terhadap pangan impor dan akibat dari terus dikuranginya subsidi terhadap petani adalah hal menakutkan yang secara perlahan menyembelih rakyatnya sendiri.
Bergabunglah dengan India dan negara-negara lain untuk menentang "premanisme free trade". Jangan takut kehilangan muka karena tak ditemui kesepakatan yang harus tunduk pada negara-negara maju.
Fair trade yang berkeadilan sosial, katakan demikian. Biarkan negara-negara maju kecewa, tapi rakyat terselamatkan!
oleh Rieke Diah Pitaloka, Politisi PDI Perjuangan - Anggota DPR RI
http://utama.seruu.com/read/2013/12/05/194075/soal-pangan-harusnya-pemerintah-ri-dukung-india-di-wto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar