5 Desember 2013
Blind And Deaf, Wisdom Talk Only
Pemerintah buta dan tuli, WTO (World Trade Organization) terdengar bijaksana hanya dalam konsep.
WTO didirikan dengan asumsi untuk mempermudah dan memperlancar aliran arus barang, yang dengan begitu konsumen yang diuntungkan.Itulah “Wisdom”-nya WTO. Itu dalam konsep, implementasinya adalah persoalan lain.
Sifat hakiki dari “Trade” adalah menjual sebanyak mungkin dan membeli sesedikit mungkin. Bagi negara, setiap barang yang terjual memberikan banyak sisi keuntungan. Devisa bertambah, lapangan kerja terbuka, itu sebagian. Maka adalah logis jika suatu negara berusaha sekuat tenaga untuk mengekspor sebanyak mungkin dan saat yang sama menekan impor agar sesedikit mungkin. Setiap negara yang bernaung di bawah WTO berjuang sekeras yang mereka mampu, agar sebanyak mungkin kepentingannya terakomodasi. Itu logis, kecuali untuk pemerintah Indonesia.
Tampaknya WTO itu, buat pemerintah Indonesia, hanya sebagai alat untuk membangun citra diri. Pujian sebagai tuan rumah yang hebat, pujian sebagai anggota yang berkomitmen tinggi, tampaknya sudah sangat cukup mengenyangkan libido pemerintah akan puji-pujian. Dasar orang-orang gila pujian.
Kuasailah energi, maka kamu akan menguasai negara. Kuasailah pangan, maka kamu akan menguasai bangsa. Itu kata Henry Kissinger. Dia benar. Energi itu adalah penggerak ekonomi, pangan itu penggerak kehidupan.
Petani di sana memperoleh subsidi dalam jumlah raksasa, petani di sini dikucilkan habis-habisan. Tarif masuk ke sana tetap tinggi, tarif masuk ke sini diturunkan sampai tiarap. Demi sederet kalimat pujian, pemerintah Indonesia dengan senang hati meliberalisasi pangan, menghadapkan petani gurem di sini bertarung sendiri dengan otot-otot kekar petani korporasi dari sana. Terpujilah pemerintah Indonesia yang bijaksana ini, dan semua negara anggota menghaturkan pujian manis dan melelapkan, pemerintah senang bukan main. Tidak ada salahnya memuji, demi terbukanya pasar raksasa yang dapat memberikan keuntungan yang berjumlah raksasa.
Daging sapi impor, beras impor, kacang kedele impor,ikan lele impor, buah-buahan impor, kancing peniti impor, dan paling gila garam juga diimpor. Laut Indonesia yang demikian luas itu, apakah laut yang tawar?. Kemudian apakah para ikan itu tidak mau berenang di laut Indonesia, sehingga kebutuhan ikan harus diimpor juga? (bisa saja, para ikan mengetahui kalau di sini banyak koruptor).
Kalau saya, terpujilah India yang tidak menyediakan setitik saja ruang untuk bernegosiasi yang berpotensi menghancurkan kedaulatan pangan mereka. Salut. Terkutuklah orang yang memberi ruang menuju kehancuran petani lokal. Setan.
Anggota Pokja Dewan Ahli Ketahanan Pangan Nasional sampai berkata, kehancuran ketahanan pangan tinggal menunggu waktu. Dia salah. Kehancuran ketahan pangan nasional tidak lagi menunggu waktu, itu sudah tiba .
Coba saja stop impor pangan, negeri ini akan kelaparan. Begitu mudahnya membuktikan bahwa perut orang Indonesia diatur dari luar sana.
Kampreeet ….
Penulis : Jonny Hutahaean
http://m.kompasiana.com/post/read/615928/3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar