5 Desember 2013
Undang-Undang tentang Desa pada awal Desember mendatang, bila tak ada aral, akan disahkan DPR. Aparatur pemerintah desa di Jateng berharap regulasi baru itu jangan hanya sebatas mengakomodasi aspirasi tapi telah melalui serangkaian kajian plus dan minusnya.
Termasuk mengenai hubungan antara pemerintah kabupaten/ kota, kecamatan dan desa/ kelurahan di Jateng. Pengaturan mengenai desa sebelumnya telah dipayungi PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa yang merupakan tindaklanjut UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Implikasi yang pasti terjadi ketika ada perubahan aturan hukum adalah aturan di bawahnya akan berubah. Ada beberapa hal yang perlu dipikirkan secara matang mengenai desa. Pertama; isu mengenai bantuan keuangan ke desa dalam bentuk block grant Rp 1miliar per desa.
Siapkah aparatur desa? Pemberian block grant atau apa pun dari APBN jangan sampai jadi bumerang bagi aparatur yang belum siap, termasuk pertanggungjawabannya Program percepatan pembangunan desa perlu kita dukung, tapi apakah aparat pemerintah desa siap dengan konsekuensi pertanggungjawaban anggaran sebesar itu.
Sebelum menentukan besaran anggaran desa dan mekanisme penyalurannya, alangkah bijak bertanya kepada abupaten/kota mengenai mekanisme penyaluran dan pertanggungjawaban penggunaan dana alokasi desa (DAD) yang selama ini berjalan. Kita perlu belajar dari penerapan awal UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang membawa dampak disharmoni hubungan antara pemprov dan pemkab/pemkot di Jateng.
Setelah itu, dilakukan perubahan beberapa pasal untuk mengatasi masalah yang ada. Kedua; pengaturan mengenai ìpenghasilan tetapî aparatur pemerintahan desa. Indonesia adalah negara dengan beragam budaya lokal serta karakter individunya, tidak bisa digeneralisasi. Tiap desa di daerah memiliki pengaturan sendiri mengenai penghasilan aparat pemerintahan desa.
Di Jawa, lebih spesifik Jateng dan DIY pada umumnya, selama ini penghasilan tetap untuk aparat pemerintahan desa adalah dengan menggarap tanah kas desa yang disebut bengkok atau pelungguh. Tunjangan lainnya diberikan dari pemkab/pemkot dalam bentuk tambahan penghasilan aparataur pemerintahan desa (TPAPD) atau sebutan lain, dan juga dari PADesa yang ditetapkan dalam APBDesa.
Pilkades Ulang
Ketiga; masa jabatan kades yang memungkinkan hingga 18 tahun (tiga kali periode). Bukan rahasia bahwa biaya penyelenggaraan pilkades tidaklah sedikit, berkisar antara Rp 20 juta dan Rp 100 juta. Di Jateng dan DIY, besaran itu berarti 30% lebih dari APBDesa, bergantung dari besar kecilnya anggaran, jumlah pemilih dan luas wilayah. Belum lagi jika pilkades perlu diulang, dengan jangka waktu pendek (6 tahun) pilkades berisiko membawa bibit perpecahan antarwarga desa yang cukup lama pemulihannya.
Itu pun belum memperhitungkan pilpres dan pileg pada tahun depan, juga pilgub, pulbup/pilwalkot dan pemilihan kepala dukuh. Kita mungkin trauma akan kemungkinan peluang terjadinya korupsi ketika masa jabatan terlalu lama, tetapi hitungan 8 tahun atau 10 tahun untuk jabatan kades di Jateng, tampaknya cukup realistis untuk efisiensi dan efektivitas.
Terlebih ada badan permusyawaratan desa (BPD) yang dapat dimaksimalkan perannya. Tidak kalah penting, kontrol dari warga desa yang secara langsung dapat mengawasi dari jarak dekat. Dengan penyusunan RUU Desa yang benar-benar matang, dan mampu mengakomodasi aspirasi, melalui kajian mendalam, penelitian ya
ng akurat dan belajar dari pengalaman empiris, tujuan UU itu bakal tercapai. Semua pihak berharap pengesahan Undang-Undang tentang Desa demi mempercepat pembangunan, pemberdayaan masyarakat, sekaligus perhatian terhadap kesejahteraan aparatur pemerintahan desa dapat berjalan sinergis dan harmonis, sesuai harapan kita bersama. (10)
— Rifai Yuli Antoro, warga Kebumen, staf Pemerintahan Desa Pemkab Kulonprogo DIY, penerima Beasiswa Unggulan Kemdikbud 2013 Prodi Ketahanan Nasional Pascasarjana UGM
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/12/05/245282/10/Kematangan-dari-RUU-Desa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar