Rabu, 04 Desember 2013

KTM IX WTO dan Pertanian Kita

4 Desember 2013

KONFERENSI Tingkat Menteri IX WTO di Bali yang diharapkan bisa membuat terobosan atas Putaran Doha yang macet sejak 2008 diperkirakan bakal gagal.

Hingga akhir perundingan di Geneva, Swiss, 26 November, tiga paket (fasilitasi perdagangan, perjanjian bidang pertanian dan paket pembangunan negara terbelakang) gagal disepakati. Pertanian jadi salah satu paket yang kontroversial. Jantung masalahnya adalah ada jurang perbedaan kepentingan negara maju dan negara berkembang di sektor pertanian. Negara maju menghendaki liberalisasi lewat pembukaan akses pasar di negara berkembang. Sebaliknya, negara maju pelit memangkas subsidi dan dukungan domestik kepada petani dan sektor pertaniannya yang dituntut negara berkembang.
Isu subsidi pertanian

Negara maju banyak menuntut, tapi pelit memberi. Ini tecermin dari sikap negara maju yang menyerang balik proposal subsidi sektor pertanian yang disodorkan negara berkembang dengan skema peace clause subsidi hanya empat tahun.

Sekarang 1,3 miliar penduduk dunia bekerja di pertanian dan 2,5 miliar jiwa bergantung pada sektor ini. Di negara berkembang, seperti Indonesia, lebih dari 50 persen penduduk bekerja di pertanian, bahkan di negara miskin porsinya 85 persen. Di negara-negara itu pertanian jadi gantungan hidup dan penyedia pangan. Pertanian berperan penting dalam menekan kelaparan dan kemiskinan serta pemenuhan hak-hak dasar warga. Dalam sebuah policy paper (2003), Pemerintah AS menandaskan, ”growth in agriculture benefits the poor most… No other economic activity generates the same benefits for the poor”.

Meski ekonominya tidak lagi ditopang sektor pertanian, negara maju tetap melindungi petani dan pertanian. Mereka kian memperkuat sektor pertanian. Di AS pertanian dilindungi lebih dari 100 jenis undang-undang dengan dimensi detail. Subsidi yang dialirkan juga amat besar. Subsidi bagi petani didasari undang-undang. AS menyubsidi pertanian 48,4 miliar dollar AS per tahun dan Uni Eropa 110,3 miliar euro per tahun. Pendapatan petani beras dan gula di negara-negara OECD 78 persen dan 51 persen dari subsidi. Karena bias kepentingan negara maju, subsidi berat itu tak pernah disemprit WTO.

Subsidi ini membuat negara maju bisa menjual pangan di bawah harga produksi (dumping). Bagi negara berkembang, subsidi itu bisa saja dianggap tidak masuk akal. Namun, bagi negara maju subsidi bukan hanya meringankan beban rakyat, melainkan juga melindungi kedaulatan negara dari ketergantungan pada pihak lain. Bagi AS dan negara maju lain, pangan bukan untuk mengenyangkan perut an sich, melainkan alat politik. Pangan adalah komoditas politik-strategis, bahkan penentu hidup-matinya bangsa. Karena itu, mustahil berharap negara maju mau memangkas subsidi di KTM IX WTO.

Apabila KTM IX WTO gagal menyepakati isi Paket Bali, apakah liberalisasi pertanian di Indonesia mengendur? Tidak. Meski rangkaian perundingan WTO macet, liberalisasi berlangsung kian intensif lewat pelbagai perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA), baik bilateral maupun regional. Indonesia agresif menggalang dan telanjur mengikuti semua skema liberalisasi lewat FTA. Sebagian besar FTA itu sudah berjalan, seperti Indonesia-Jepang FTA, Indonesia-India FTA, AFTA, CAFTA, IJEPA, ASEAN EU, ASEAN-Korea, ASEAN-India, ASEAN-Australia-Selandia Baru.

Liberalisasi jalan terus

Wujud dari liberalisasi itu tecermin dari tarif. Dibandingkan rata-rata tarif bea masuk (BM) negara lain di Asia, rata-rata tarif Indonesia paling rendah: 4,3 persen. Padahal, India rata-rata 35,2 persen, Vietnam 24,9 persen, Jepang 34,0 persen, Thailand 24,2 persen, dan China 17,4 persen (The Economist, 2012). Rendahnya BM bisa dilihat dari tarif impor pangan.

Di WTO, Indonesia mencatatkan sejumlah tarif BM impor pangan yang dilindungi. BM beras, gula, dan susu masing-masing antara 9-160 persen, 40-95 persen, dan 40-120 persen. Namun, lewat sejumlah FTA, BM beras dan gula hanya 30 persen dan susu 5 persen. Bahkan, BM kedelai dan jagung 0 persen. Padahal, di WTO, BM yang dicatatkan 30-40 persen dan 9-40 persen. Dalam kerangka WTO, Indonesia masih memiliki keleluasaan menerapkan tarif impor untuk melindungi pasar dan produk petani domestik. Namun, proteksi yang minimal itu diobrak-abrik oleh liberalisasi yang diteken lewat skema FTA.

Akibat liberalisasi itu, tanpa disadari ketergantungkan kita pada pangan impor nyaris tak berubah. Sampai kini kita belum bisa keluar dari ketergantungan impor pangan penting: susu (70 persen dari kebutuhan), gula (30 persen), garam (50 persen), gandum (100 persen), kedelai (70 persen), daging sapi (30 persen), induk ayam, dan telur. Ketika harga naik, impor pangan menguras devisa. Pada saat sama, impor membuat kita kian bergantung pada pangan impor. Padahal, pasar pangan dunia jauh dari sempurna, hanya dikuasai segelintir pelaku dan jumlah yang diperdagangkan tipis. Ini amat tak menguntungkan.

FTA berpeluang membuka akses pasar produk ekspor negara berkembang dan melindungi diri dari serbuan impor yang berdampak negatif ke ekonomi domestik. Namun, distorsi harga akibat subsidi oleh negara maju tidak dibahas efektif dalam FTA, termasuk pemaksaan petani miskin untuk mengikuti regulasi sanitary and phytosanitary (UNDP, 2005). Padahal, distorsi terbesar perdagangan pangan dunia terletak pada subsidi berlebihan di negara maju. Subsidi itu membuat harga pangan di pasar dunia rendah. Adalah gegabah agresif mengintegrasikan ekonomi dan pasar domestik ke perekonomian dan pasar global/regional tanpa banyak berbuat mengintegrasikan perekonomian nasional. Tanpa moratorium, pertanian kita tinggal tunggu kehancuran.

 Khudori, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI); Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)

http://epaper.kompas.com/kompas/books/131204kompas/#/7/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar