Rabu, 04 Desember 2013

Menguji Kedaulatan Negeri

3 Desember 2013

PARA pendiri Republik ini pasti tidak pernah membayangkan kelak negeri petarung seperti Indonesia bakal terseok-seok di medan laga kompetisi dunia yang kian ketat. Namun, hal yang tak terbayangkan tersebut kini benar-benar hadir di depan mata.

Salah satu contohnya ialah negeri agraris yang pernah berjaya dengan aneka ragam bahan pangan dan buah-buahan kini menjadi sasaran bahan pangan dan buah impor. Para petaninya tidak berdaulat di negeri sendiri.

Celakanya, dalam forum internasional para duta negeri ini tak cemerlang dalam menegosiasikan kepentingan nasional. Akibatnya, era perdagangan bebas yang mestinya bisa mendatangkan berkah malah hadir sebagai malapetaka.

Indonesia pun dengan mudah meneken rupa-rupa perjanjian perdagangan bebas tanpa melihat risiko ke depan serta minus analisis yang matang. Hal paling gamblang ialah saat Indonesia menandatangani kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sejak mula-mula organisasi tersebut dibentuk pada Januari 1995.

Ketika negara lain masih pikir-pikir membuat kesepakatan, Indonesia langsung menyetujui kesepakatan libe­ralisasi perdagangan tersebut tanpa reserve sejak 1 Januari 1995. Maka, ketika WTO kemudian menjadi alat yang amat menguntungkan negara maju dan hampir ‘menelan’ negara berkembang, termasuk Indonesia, sekadar untuk memperjuangkan kepentingan nasional saja kita tidak mampu.

Salah satu dampak paling serius kesepakatan WTO bagi Indonesia ialah ketidakmampuan negeri ini menjaga diri dari kedaulatan pangan dan perdagangan. Beragam barang dan makanan impor melenggang masuk ke Indonesia tanpa bisa dihalau lewat pintu liberalisasi perdagangan.

Kini, pemerintah Indonesia ditantang untuk membuktikan negeri ini ialah negeri berdaulat saat Konferensi Tingkat Menteri Negara WTO digelar di Bali. Pada konferensi ke-9 yang dimulai hari ini pemerintah Indonesia akan mengusung kesepakatan yang disebut Paket Bali.

Selama ini, perundingan WTO kerap mengalami kebuntuan antara negara maju dan negara berkembang, juga negara kurang berkembang. Akibatnya, kepercayaan dunia terhadap sistem perdagangan multilateral pun goyah.

Di dalam negeri, pendapatan negara sudah terus-menerus berkurang karena dipotongnya tarif impor pangan. Produk pertanian dalam negeri sudah sering kalah menghadapi serbuan produk asing.

Kesepakatan WTO yang telah diikuti sejak 1995 telah memaksa Indonesia mengimpor enam dari sembilan komoditas bahan pokok. Tidak peduli apakah produksi di dalam negeri sedang surplus atau cekak, impor tidak boleh dihalangi. Akibatnya, bangsa ini pun tidak bisa lagi mewujudkan swasembada pangan.

Dengan fakta-fakta seperti itu, sudah saatnya pemerintah menjadi tuan rumah yang tegas membela kepentingan bangsa. Pemerintah mestinya tidak ragu menolak kebijakan pertanian WTO yang mencelakakan petani. Langkah seperti itu sudah dibuat India dan Brasil di konferensi serupa pada 2003. Pada saat yang bersamaan, pemerintah harus menyelesaikan berbagai pekerjaan rumah yang tak pernah tuntas diselesaikan, seperti meningkatkan daya saing dengan memperbaiki infrastruktur, sumber daya manusia, dan memantapkan kelembagaan.

Negeri ini ialah negeri besar yang berdaulat. Namun, jika jiwa para pemimpinnya kerdil dan tak bernyali, kebesaran bangsa ini hanyalah slogan kosong tanpa isi.

http://www.metrotvnews.com/videoprogram/detail/2013/12/03/20722/121/Menguji-Kedaulatan-Negeri-/Editorial%20Media%20Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar