Jumat, 27 November 2015

Data Tidak Akurat, Anggaran Membengkak

Jumat, 27 November 2015

JAKARTA, KOMPAS — Data produksi pangan yang tidak akurat berdampak luas terhadap dunia usaha, pelambatan pertumbuhan ekonomi, lonjakan harga pangan, dan pembengkakan anggaran. Akibatnya, program kemandirian pangan menjadi salah sasaran.

Menurut pengamat pertanian Husein Sawit, Kamis (26/11), di Jakarta, basis program bantuan dan subsidi pertanian, mulai dari pupuk, benih, obat-obatan, alat dan mesin pertanian, hingga pembangunan infrastruktur pertanian, adalah luas tanam atau luas panen. ”Ketika data luas panen dilebihkan, anggaran juga mengikuti,” katanya.

Menurut Husein, kondisi itu menciptakan penggelembungan anggaran. Lebih lanjut ia mengatakan, data pangan yang tidak akurat memiliki implikasi lain yang sangat luas. Dalam hal ketersediaan pangan, misalnya, karena produksi dianggap berlebih, kebijakan impor terlambat dilakukan. Akibatnya, harga beras naik tinggi seperti sekarang.

Sutarto Alimoeso, Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras Indonesia yang juga mantan Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (Kementan), menyatakan, ketidakakuratan data produksi padi berdampak pada ketidakefisienan produksi beras.

Sutarto mengungkapkan, ketidakakuratan data produksi pangan, seperti padi, sudah berlangsung lama. Bahkan, saat dia menjabat Direktur Jenderal Tanaman Pangan (2006-2009), penghitungan data luas panen yang berlebih sudah terjadi.

Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia Singgih Januratmoko mengatakan, data produksi pangan yang tidak akurat, seperti data jagung, mengakibatkan kebijakan tata niaga terganggu. Pasokan jagung yang kurang di tengah ketatnya kebijakan impor memicu kenaikan harga jagung.

Kepala Bidang Pakan PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk Harwanto menambahkan, data produksi pangan yang tidak akurat mengacaukan perencanaan usaha pakan ternak. Perusahaan pakan ternak tidak mendapat kepastian pasokan bahan baku pakan. Jagung sulit didapat sehingga menjadi rebutan dan harga melambung.

Sutarto mengusulkan, saatnya perbaikan data itu dilakukan, apalagi sebelumnya ada survei independen dari Jepang. Kendala saat itu, Badan Pusat Statistik (BPS) tidak punya anggaran cukup untuk memperbaiki data itu.

Memang surplus

Menanggapi ketidakakuratan data produksi pangan, Dirjen Tanaman Pangan Kementan Hasil Sembiring mengatakan, produksi padi Oktober 2014-Oktober 2015 memang surplus. Indikasinya, stok beras Perum Bulog pada Oktober 2014 sebesar 1,7 juta ton beras dicapai melalui tambahan impor 800.000 ton. Sementara Oktober 2015, tanpa penyerapan optimal puncak panen raya Januari-Mei, stok Perum Bulog mencapai 1,7 juta ton beras tanpa impor beras.

Padahal, pada 2015 terjadi pertambahan jumlah penduduk yang mengonsumsi beras sebanyak 3,7 juta jiwa (setara 460.000 ton). Hal ini membuktikan, dalam kondisi El Nino sangat kuat, kinerja produksi 2015 meningkat signifikan paling tidak 1,26 juta ton beras dibandingkan 2014.

Saat ini, stok beras Perum Bulog masih mencapai 1,3 juta ton dan pasokan di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, masih normal.

”Kami heran, kalau produksi naik, data dipersoalkan, tetapi jika data produksi turun, tidak dipersoalkan,” katanya.

Tanggung jawab BPS

Hasil Sembiring mengatakan, BPS harus bertanggung jawab terhadap data produksi pangan yang diterbitkan karena BPS mengumpulkan data mulai dari kantor cabang kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga pusat.

Selanjutnya, Kementan mendapatkan data dari BPS pusat sehingga sebenarnya tidak ada data yang diterbitkan Kementan.

Kementan mempunyai mandat produksi, sedangkan data statistik mandat BPS.

”Pertanyaannya, mengapa akurasi data produksi pangan yang dikumpulkan secara berjenjang dari level bawah, selanjutnya dikirim ke BPS kabupaten, BPS provinsi, dan BPS pusat secara daring masih diragukan,” ucapnya.

Beberapa tokoh petani di wilayah Cirebon dan Indramayu, Jawa Barat, yang ditemui kemarin menyarankan, validasi data pangan oleh pemerintah perlu dilakukan dengan melibatkan petani atau gabungan kelompok tani di daerah-daerah penghasil beras. Kelompok tani itulah yang memiliki data paling riil karena mengetahui langsung dari petani. (REK/MAS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar