Selasa, 03 Desember 2013

Apegti : Pemerintah Langgar Kebijakan

3 Desember 2013

Melakukan pembiaran perembesan gula rafinasi sehingga merugikan industri lokal
JAKARTA- Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia (Apegti) mempertanyakan keseriusan pemerintah dan DPR dalam mengatasi masalah komoditas gula nasional. Pasalnya, Apegti menilai pemerintah telah melanggar delapan kebijakan pergulaan nasional.

Ketua Apegti Natsir Mansyur, menyayangkan, Kementerian Perdagangan(Kemdag) sebagai yang berwenang mengurusi perdagangan gula justru tidak mematuhi kebijakan yang mengatur pergulaan nasional.

“Kebijakan pergulaan nasional yang ada cukup baik, namun implementasi UU/Kepmen ini banyak dilanggar oleh otoritas kebijakan Kemendag, Kemenperin, Kemenko Perekonomian, Kementan, dan Panja gula DPR komisi VI,” katanya dalam siaran pers, Senin (2/12).

Menurut Natsir, di India, Thailand dan Brazil, manajemen pergulaan nasionalnya maju karena kebijakan ditaati oleh pemerintah dan dunia usaha. Hal ini sangat berbeda dengan Indonesia. Kebijaka pergulaan yang sudah dibuat bertahun tahun justru dilanggar oleh pemerintah sendiri.

“Kita aturannya sudah bagus tetapi impelementasinya yang tidak jalan. Jadi tidak mengherankan jika selalu muncul persoalan gula, karena akhirnya kebijakan yang dikeluarkan oleh Kemendag adalah kebijakan spekulatif, sulitlah kita untuk maju di pergulaan ini,” kata wakil ketua umum Kadin itu.

Dia juga memaparkan, alasan permasalahan gula yang semakin kusut akibat dari tidak adanya solusi dan langkah penyelesaian yang dilakukan pemerintah.

Permasalahan-permasalahan itu, antara lain, pembiaran perembesan gula rafinasi, audit perembesan gula rafinasi yang sudah tiga tahun tidak kunjung diumumkan, dan impor raw sugar yang masih besar hingga 3,2 juta ton.

“Persoalan lainnya adalah memberikan tiga izin baru industri rafinasi, padahal di lain pihak industri gula rafinasi ini masuk DNI (daftar negatif investasi),” ungkap Natsir.

Selain itu, Natsir menambahkan, terdapat kasus gula selundupan di kawasan perbatasan yang hanya diganti karungnya agar terlihat legal, belum lagi dengan tidak berproduksinya PTPN 14 karena ada industri gula rafinasi di Makassar yang merembes ke pasar menjadikan gula petani tidak laku, karena sulit bersaing.

“Kasus tidak produksinya PTPN ini kemungkinan akan dialami pula oleh industri gula di Jawa,” kata Natsir.

Dua Jenis
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) ada dua jenis gula yang diimpor. Pertama adalah gula pasir dengan volume pada bulan Oktober 4.868 ton atau 2,8 juta dollar AS (Rp 33,6 miliar). Komulatif impor adalah 70.879 ton atau 41,3 juta dollar AS (Rp 495,6 miliar).

Negara asal dari impor ini adalah Thailand 1.750 ton atau 930 ribu dollar AS, Malaysia 1.250 ton atau  692 ribu dollar AS, Australia 860 ton atau 568 ribu dollar AS, Korea Selatan 768 ton atau 518 ribu dollar AS dan Selandia Baru 240 ton atau 165 ribu dollar AS.

Kedua adalah gula tebu dengan impor sebesar 357 ribu ton atau 173 juta dollar AS (Rp 2,076 triliun). Total kumulasi Januari-Oktober adalah 2,75 juta ton atau 1,4 miliar dollar AS (Rp 16,8 triliun).

Gula tebu diimpor dari Thailand dengan 29.400 ton atau 13,4 juta dollar AS, Brazil 228 ribu atau 112,2 juta dollar AS, Australia 82 ribu ton atau 37,1 juta dollar AS, dan Afrika Selatan 17 ribu ton atau 10,77 juta dollar AS. dtc,ktn

2 Jenis Gula Impor
Pasir  s/d Okt             Rp 495,6 miliar
Tebu  s/d Okt             Rp 16,8 triliun

http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=ee1d5f64d02ffb04aed535582dcccb71&jenis=c81e728d9d4c2f636f067f89cc14862c

Tidak ada komentar:

Posting Komentar