2 Desember 2013
JAKARTA – Kegagalan Indonesia sebagai negara agraris yang tidak mampu berswasembada pangan sedikit banyak dipengaruhi oleh skema liberalisasi perdagangan oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). WTO telah terdistorsi sebagai alat kendali negara-negara maju, terutama Amerika Serikat dan Uni Eropa, agar negara-negara berkembang tetap dalam kendali dan pengaruh mereka.
Ketua Masyarakat Agrobisnis dan Agroindustri Indonesia (MAI), Fadel Muhammad, mengatakan di hampir semua negara berkembang, sebagian besar penduduknya menggantungkan nasibnya di sektor pertanian. Kehidupan mereka akan semakin terancam, dan sekarang sudah nyata-nyata terancam setelah negaranya meratifikasi liberalisasi pertanian seperti yang direkomendasikan WTO.
"Produk pertanian mereka (petani lokal) terusir dari pasar lokal oleh produk pertanian impor. Negara berkembang semakin bergantung pada impor dalam memenuhi pasokan pangan untuk rakyatnya. Ini menggerus keamanan pangan mereka, tidak terkecuali Indonesia," kata Fadel di Jakarta, Minggu (1/12).
Menurut dia, Indonesia pernah berusaha mengatasi persoalan itu bersama India, Mesir, Sri Lanka, Uganda, Zimbabwe, dan El Salvador agar diberi fleksibilitas dalam melaksanakan kewajiban WTO tanpa mengganggu keamanan pangan nasional, memberikan perlindungan ekonomi untuk masyarakat miskin, serta mengurangi jumlah penduduk miskin.
"Sayangnya, kita tidak konsisten. India dan Brasil menolak kebijakan pertanian WTO yang mencelakakan petaninya melalui konferensi tingkat menteri di Cancun sepuluh tahun yang lalu. Kita justru memperkenalkan program yang absurd MP3EI. Program MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) merupakan turunan dari kerangka penataan ulang geografis di wilayah-wilayah utama Asia Tenggara. Penataan itu dibuat dengan mengandalkan integrasi fungsi-fungsi ekonomi dan pembagian kerja antarwilayah demi melancarkan sirkulasi modal skala dunia yang pada dasarnya merupakan turunan dari pemikiran ekonomi neolib (neoliberal)," ujar dia.
Menurut dia, dalam usaha merangsang pertumbuhan agribisnis dan agri-industri di Indonesia, sejak 29 November sampai dengan hari ini, MAI, dengan dukungan berbagai pihak, telah menyelenggarakan Agri & Agro Festival, Jambore Krida Agribisnis, dan Agroindustri Indonesia.
Acara yang merupakan langkah awal ini, kata Fadel, telah berjalan sukses. Kemudian, pada 3–6 Desember 2013 di Bali, akan berlangsung Pertemuan Tingkat Menteri ke-9 WTO. "Lewat kesempatan ini, secara tegas kita harus menyatakan menolak kebijakan pertanian WTO yang mencelakakan petani, yang mencelakakan kebijakan pangan dan kepentingan nasional Indonesia," tegas dia.
Selain itu, lanjut dia, Indonesia perlu mempertimbangkan kembali MP3EI. Indonesia harus berani mulai mengurangi kebergantungan pangan pada impor serta memanfaatkan keunggulan domestik dengan membangun tata kelola pangan yang lebih baik agar petani berpendapatan secara pantas.
"Dengan cara ini, negeri yang kita cintai ini mampu membangun ketahanan pangan, mandiri, dan memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Untuk itu, pemerintah, masyarakat, dan swasta nasional harus bekerja sama bahu-membahu," kata dia.
Peluang Besar
Secara terpisah, pengamat ekonomi dari Resistance and Alternatives to Globalization (RAG), Bonnie Setiawan, mengatakan Konferensi Tingkat Menteri WTO ke-9 yang akan digelar di Bali pada 3–6 Desember 2013 merupakan peluang besar bagi Pemerintah Indonesia. Sebagai ketua kelompok negara berkembang (G-33) sekaligus tuan rumah, Indonesia diminta memaksimalkan posisi tawarnya dengan mempertahankan proposal kelompok G-33.
Menurut dia, Indonesia harus bisa mendesak negara-negara maju menyetujui proposal yang di antaranya berisi tentang revisi aturan subsidi pemerintah terhadap sektor pertanian dari 10 persen menjadi 15 persen dari total produksi nasional.
"Jika proposal itu tidak sampai gol, bencana bagi Indonesia dan 44 negara berkembang serta negara miskin yang tergabung dalam G-33," kata dia. mza/Ant/E-3
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/134799
Tidak ada komentar:
Posting Komentar