Kamis, 05 Maret 2015

Petani Hanya Boleh Tanam Padi

Kamis, 5 Maret 2015
Pekerja menjemur gabah di halaman Pabrik Beras Sri Rahayu di Desa Kertasura, Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Selasa (3/3). Gabah itu didatangkan dari Jawa Tengah, seperti Demak, Kudus, dan Blora. Daerah-daerah tersebut lebih dulu panen dibandingkan dengan kawasan pantai utara (pantura) Jawa Barat yang diperkirakan panen raya  April nanti. Namun, gabah yang datang dari Jawa Tengah itu dalam kondisi basah, sebagian berwarna hijau, dan diselimuti banyak rumput. Kondisi itu akan menurunkan rendemen gabah. Gabah dari Jateng itu dihargai Rp 4.300 per kilogram. Gabah diolah untuk memenuhi kebutuhan beras warga Cirebon.

Sebagai petani penggarap, Agus (45) bingung kenapa kenaikan harga gabah diributkan. Kenaikan harga gabah kering panen awal 2015 sebesar Rp 5.200 per kilogram bagi petani kecil seperti Agus justru berkah. Harga tinggi itu menyebabkan padi siap panennya laku ditebas pedagang seharga Rp 8,5 juta.

Dalam dua tahun terakhir, musim panen harga gabah kering panen selalu di bawah Rp 4.000 per kilogram. Dengan harga rendah itu, sebagai petani penggarap yang mengolah lahan hanya 4.000 meter persegi, saya hanya bisa bawa pulang Rp 1,5 juta dari hasil panen padi,” kata Agus, petani penggarap di Desa Banyubiru, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Senin (2/3).

Lain lagi kegembiraan petani di Kalongan, Purwodadi, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Suripto (40) yang menggarap lahan seperempat bahu (sekitar 2.000 meter persegi). Tanaman padi Suripto akan panen minggu ini, tetapi sudah laku terjual Rp 5,5 juta. Harga ini dinilai tinggi, jauh dibandingkan dengan hasil panen 2014 yang hanya laku Rp 2,5 juta.

Suripto, pengurus Kelompok Tani Muji Rahayu IV, Grobogan, mengatakan, dengan hasil penjualan padi Rp 5,5 juta, setelah dikurangi modal tanam padi selama empat bulan sebesar Rp 1,5 juta, dia dapat membawa pulang hasil panen Rp 4 juta.

”Ketika harga gabah naik, tentu petani sangat menikmati hasil tanam padi. Masak petani hanya boleh menanam padi, tapi enggak boleh dapat untung,” ujar Suripto, setengah bertanya ketika banyak pihak, termasuk pemerintah, meributkan kenaikan harga beras di pasaran akhir-akhir ini.

Pengurus Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Kabupaten Grobogan, Edy Purwanto, mengemukakan, ketika harga beras medium naik di atas Rp 8.000 per kilogram, itu artinya harga gabah kering panen (GKP) juga naik. Harga gabah kering panen mulai dari Rp 5.200 sampai dengan Rp 5.400 per kilogram (kg). Harga gabah kering giling naik menjadi Rp 6.400 per kg.

Ikut menikmati

Kenaikan harga gabah bukannya tidak dinikmati petani. Baik petani pemilik lahan maupun petani penggarap menikmati. Oleh karena itu, ketika pemerintah buru-buru berusaha keras menurunkan harga beras dengan kegiatan operasi pasar dan percepatan pembagian beras untuk rakyat miskin (raskin), langkah itu menghambat keuntungan petani penanam padi.

”Kenaikan harga beras itu, kan, bersifat sementara, keuntungan petani pun juga sementara sebelum terjadi panen raya. Panen raya padi di Jawa Tengah diperkirakan pertengahan Maret 2015,” ujar Edy Purwanto.

content

Salah satu faktor tingginya harga gabah, menurut Didit Ariyanto, pengurus Kelompok Tani Lestari, Desa Tlogosih, Kebonagung, Kabupaten Demak, musim tanam kali ini bagus untuk tanaman padi. Petani senang karena tanaman sepanjang musim kali ini tidak banyak hama pengganggu.

Didit yang menggarap empat hektar lahan itu memperkirakan, tanaman padinya panen pada pertengahan minggu kedua dan minggu ketiga Maret ini. Dengan tanaman bagus, pihaknya optimistis panen bisa mencapai 6-7 ton per hektar.

”Ketika panen padi musim tanam pertama tidak serempak, wajar kalau harga gabah tinggi di tingkat petani sebelum panen raya. Harga gabah yang ideal bagi petani memang sekitar Rp 5.200 per kilogram. Namun, petani sudah bisa tersenyum kalau harga gabah kering panen saat panen raya sebesar Rp 4.200 per kilogram,” kata Didit Ariyanto.

Pengamat pertanian dan dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Semarang, Rohadi Djarot, berpendapat, seharusnya pemerintah tidak perlu panik dalam menyikapi kenaikan harga beras. Kenaikan harga beras tidak memiliki implikasi atas harga komoditas lain. Berbeda sekiranya yang naik itu harga bahan bakar minyak.

Kasus kenaikan harga beras bukti pemerintah belum siap menghadapi swasembada pangan. Petani semestinya memperoleh keuntungan dari panen padi yang berlimpah, tetapi kenyataannya saat panen berlimpah justru harga gabah anjlok. Akibatnya, petani tidak untung. Jika beras melimpah, harga anjlok, keuntungan diambil pedagang.

”Program swasembada pangan perlu kesiapan banyak hal, di antaranya ada jaminan harga yang memadai bagi petani. Petani tidak hanya dieksplor supaya produksi besar, tapi hidupnya belum sejahtera. Kalau swasembada, ya, harus sembodo,” ujar Rohadi.

Malahan Rohadi menyatakan, faktor kenaikan harga beras menunjukkan kelemahan data pemerintah dalam mencermati kekosongan pangan di daerah tertentu. Justru pedagang yang paling cepat dan trengginas memanfaatkan celah itu sehingga mereka membeli gabah banyak sebelum panen raya.

Di sisi lain, penggerak naiknya harga beras itu juga ulah sebagian pedagang dan tengkulak besar. Mereka merupakan mitra pemerintah yang menyuplai beras untuk stok.

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150305kompas/#/22/

1 komentar: