Rabu, 11 Maret 2015

Produksi Beras Organik Digilir

Rabu, 11 Maret 2015

Minat Budidaya di Kalangan Petani Terus Meningkat

JEMBER, KOMPAS — Seiring kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan membuat permintaan terhadap beras organik pun cenderung meningkat. Di Jember, Jawa Timur, misalnya, petani padi organik mulai kewalahan menangani permintaan beras. Stok yang ada selalu tidak mencukupi.

"Beras organik habis dijual di tempat. Kami belum sempat menjualnya keluar daerah. Semua habis di tempat produksi," kata Rudiyanto, Ketua Kelompok Tani Jaya II, di Rowosari, Kecamatan Sumberjambe, Jember, Selasa (10/3).

Harga beras organik di daerah itu sekitar Rp 18.000 per kilogram. Petani setempat juga mulai mengatur jadwal tanam sehingga panen padi organik diatur. Dengan demikian, setiap bulan kelompok tani secara bergilir bisa memproduksi beras organik 10 ton. Kelompok tani itu beranggotakan 109 orang dengan luas lahan 33 hektar.

Sementara itu, meski menggeliat, pertanian organik di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, masih menemui sejumlah kesulitan, antara lain pupuk. Apalagi, sejauh ini belum ada subsidi pembuatan pupuk kompos serta minimnya alat pertanian modern.

"Setiap bulan, desa kami sudah memproduksi pupuk kompos sekitar 100 ton, tetapi selalu habis untuk keperluan sendiri. Itu pun baru 50 persen dari total kebutuhan kami," ujar Ketua Gabungan Kelompok Tani Sarana Usaha Suwandi (42).

Di sana, tersedia 26,5 hektar lahan pertanian organik melibatkan 82 petani. Kelompok ini dibina PT Medco Energi Internasional. Krisis pupuk kompos juga dipicu minimnya hewan. Di wilayah itu hanya ada 600 ekor sapi.

Keinginan mengembangkan pertanian organik juga terus menguat di kalangan petani di Kabupaten Magelang. Mereka tidak hanya menggandeng lebih banyak petani, tetapi juga intens membantu pengembangan luas lahan untuk tanaman organik.

Wartono, Ketua Gabungan Kelompok Tani Permatasari di Tirtosari, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, mengatakan, pada 2004, sistem pertanian organik mulai diterapkan pada 2 hektar yang ditangani 22 petani. Seiring waktu, minat petani terus bertambah sehingga kini menjadi 142 orang, melibatkan lima kelompok tani dengan luas lahan 149 hektar.

content

"Awal memulai pertanian organik, permintaan beras organik maksimal hanya 1 kuintal per bulan. Namun, saat ini, kami pun kewalahan karena permintaan beras organik 5 ton per bulan," ujarnya. Beras organik dari Gabungan Kelompok Tani Permatasari dijual Rp 13.000 per kg.

Ahmad Saleh, petani organik di Sawangan, Magelang, juga menilai pertanian organik adalah solusi yang tepat bagi petani karena selama ini pemerintah kurang menjalankan perannya untuk menjaga kestabilan harga beras. "Petani acap kali terpukul karena rendahnya harga beras saat panen raya," katanya.

Sementara itu, Lembaga Ekonomi Petani Badan Usaha Milik Petani (BUMP) PT Tanjung Mulia Agronusa di Tanjunganom, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, tengah memproduksi beras putih organik berkadar gula rendah, dengan indeks glikemik (IG) 44,4. Beras ini diproduksi untuk memenuhi kebutuhan pola hidup sehat, khususnya penderita diabetes.

"Kami berupaya memberikan alternatif pilihan bagi penderita diabetes. Beras yang cocok untuk mereka bukan sekadar beras merah," ujar Direktur Umum BUMP PT Tanjung Mulia Agronusa Akhmad Syafi'i.

BUMP PT Tanjung Mulia Agronusa adalah badan usaha dengan 50 persen saham milik Gabungan Kelompok Tani Sukamaju, 30 persen saham milik Asosiasi Petani Organik Kabupaten Magelang, dan 20 persen saham milik perorangan petani di Tanjunganom.

Beras berkadar gula rendah ini diberi label Dea Rice. Dea Rice dari BUMP PT Tanjung Mulya Agronusa ini dihasilkan dari 10 hektar sawah dengan melibatkan 25 petani dari 2 kelompok. Untuk sementara, volume produksi beras ini sekitar 1 ton per bulan. Penderita diabetes biasanya disarankan mengonsumsi beras dengan kadar gula di bawa 55, sementara beras putih yang banyak dikonsumsi masyarakat memiliki kadar gula 68.

Petani di Kabupaten Madiun belum serius menekuni budidaya pertanian organik. Mereka masih menjajaki peluang pasar beras organik yang hingga kini belum ada kepastian.

"Petani pada prinsipnya bergantung pada pasar. Jika pangsa pasarnya jelas dengan harga yang tinggi, tanpa disuruh pun mereka akan mengikuti. Sebaliknya jika belum ada kepastian, petani cenderung melihat dan menunggu," ujar Ketua KTNA Kabupaten Madiun Suharno. (EGI/SIR/IRE/NIK)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150311kompas/#/21/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar