Jakarta - Dalam konsideran menimbang Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Petani (UU P3), antara lain disebutkan 'bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur serta untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasar warga negara, negara menyelenggarakan perlindungan dan pemberdayaan masyarakat, khususnya petani secara terencana, terarah, dan berkelanjutan'.
Kenyataannya, kondisi petani masih memprihatinkan. Tandan buah segar (TBS) yang dihasilkan petani sawit di beberapa desa Kabupaten Barito Kuala hanya dihargai Rp 500/kg. Padahal pabrik pengolahan di Pelaihari membelinya seharga Rp 1.500/kg.
Para petani bawang di Brebes juga menghadapi kondisi serupa. Petani dirugikan akibat harga anjlok hingga Rp 20 ribu/kg pasca realisasi impor bawang impor, sementara harga bibit masih berkisar Rp 60-70 ribu/kg.
Jaminan harga
UU P3 sebenarnya telah mengamanahkan agar pemerintah bisa menciptakan kondisi yang menghasilkan harga Komoditas Pertanian yang menguntungkan bagi petani sebagaimana tertuang dalam Pasal 25 undang-undang tersebut. Namun UU P3 belum memuat jenis komoditi serta besaran atau persentase harga yang dianggap menguntungkan bagi petani.
Sedangkan perlindungan kepada petani diberikan dalam 2 skema, yaitu ganti rugi gagal panen dan asuransi pertanian. Pertanyaannya kemudian, apakah anjloknya harga bisa dianggap sebuah kejadian luar biasa sehingga berhak mendapatkan ganti rugi gagal panen?
Apakah anjloknya harga bisa dimasukkan sebagai jenis resiko yang akan ditetapkan melalui Peraturan Menteri untuk dijamin melalui skema asuransi?
Sebagai perbandingan, Pemerintah Thailand menerapkan kebijakan pro petani sejak 2011. Pemerintah memborong beras dari petani dengan harga 50 persen lebih tinggi dibandingkan harga di pasar komoditas global. Kebijakan ini untuk melindungi nasib petani dan sekaligus sektor pertanian.
Pembangunan infrastruktur
Berdasarkan pengamatan kami, rendahnya harga produk pertanian tidak melulu akibat panen raya atau suplai yang melimpah. Transportasi yang buruk juga bisa menekan harga di tingkat petani seperti yang terjadi di Barito Kuala. Sarana transportasi yang buruk akan memperbesar ongkos angkut dan resiko kerusakan barang selama perjalanan.
Oleh karena itu salah satu syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam pembangunan pertanian adalah jalan dan transportasi.
Jaringan transportasi diperlukan untuk membawa sarana dan alat produksi ke tiap usaha tani serta membawa hasil usaha tani ke pasar konsumen baik di kota besar maupun di kota-kota kecil. Tanpa transportasi yang efisien dan murah maka pembangunan pertanian tidak dapat diadakan secara efektif.
Sebelum itu dilakukan, inisiatif sejumlah petani inovator untuk memperpendek mata rantai distribusi bisa dianggap sebuah terobosan besar.
Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) menjalin kemitraan dengan industri pengolahan yang ada di Pelaihari. Melalui kemitraan tersebut, bila sebelumnya petani hanya menerima harga pembelian Rp 500/kg, mengalami peningkatan menjadi Rp 600-700/kg.
Kedepan, perlu pula dipikirkan pembangunan unit pengolahan skala mikro di lokasi. Seandainya di Barito Kuala ada pabrik pengolahan kelapa sawit, bisa jadi akan terjadi nilai tambah produk TBS yang dihasilkan petani akan bisa ditingkatkan lagi.
Bahrudin Syarkawie
Jl. Biliton, Jakarta Pusat
bsyarkawie@yahoo.com
081285204187
http://news.detik.com/read/2013/12/03/135903/2431090/471/bagaimanakah-seharusnya-petani-dilindungi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar