30 November 2013
JAKARTA – Kerapuhan fundamental perekonomian Indonesia saat ini, bukan semata-mata karena salah-kaprah dalam mengadopsi sistem perekonomian Barat, namun banyak terdistorsi berkembangnya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang akut di masyarakat.
Akibatnya, amanat reformasi untuk membangun demokrasi demi terwujudnya kesejahteraan rakyat menjadi tidak sempurna karena sumber-sumber ekonomi, dan politik dikuasai oleh elite.
Pengamat ekonomi dari Universitas Surabaya, Wibisono Hardjopranoto, mengungkapkan sejak dulu praktik KKN menyebabkan terpuruknya ekonomi suatu negara karena menghambat pembangunan.
"Meskipun sekarang sudah bukan zaman Orde Baru, tidak ada jaminan praktik-praktik kolusi dalam suatu rezim berhenti. Kekuasaan sudah menjadi alat untuk memperkaya diri dan kelompoknya, sehingga persaingan tender sulit berjalan dengan fair karena yang mendapat proyek adalah temannya sendiri," tutur diasaat dihubungi Jumat (29/11
Wibisono menjelaskan praktik KKN hanya semakin menjauhkan negara dari sistem ekonomi Pancasila, yang seharusnya dijadikan panduan untuk menyejahterakan masyarakat luas. Praktik KKN juga menyebabkan konsentrasi keuntungan hanya terpusat pada kelompok tertentu
"Jangan heran kalau lambat laun kita makin terpuruk karena peluang pelaku ekonomi lemah tertutup dan tidak bisa bersaing secara adil. Yang kaya makin kaya, sebaliknya yang miskin tambah melarat," papar dia.
Ia menambahkan di sinilah pentingnya peran penegak hukum. Namun, apabila aparat hukum sudah terdistorsi praktik KKN maka penindakan hanya dilakukan sekadar menunjukkan telah bekerja dan berprestasi. Sedangkan penyelewengan yang kerugiannya besar seolah tak tersentuh," tukas dia.
Pengamat Kebijakan Publik dari Perkumpulan Prakarsa Jakarta, Ah Maftuchan, menambahkan seluruh elemen bangsa ini harus segera menyadari masalah utama bangsa ini dan berupaya bersama memperbaikinya. "Para pemimpin partai besar jangan mau lagi dikendalikan oleh para cukong politik dan menunjukkan sikap kenegarawanan sehingga bangsa ini bisa segera kembali berjaya, minimal di Asia Tenggara."
Maftucan mengatakan masalah sistem ekonomi dunia paska berakhirnya perang dingin adalah korupsi, kolusi, dan oligarkhi kekuasaan. Korupsi, kolusi menjadi sumber masalah baik sistem ekonomi kapitalisme, sosialisme, bahkan komunisme.
"Kejahatan korupsi kolusi tidak mengenal pilihan ekonomi. Korupsi menghancurkan apapun dan memupuk kekayaan hanya pada pelakunya. Hal itulah yang dialami di China, Indonesia dan Negara-negara berkembang lainnya, bahkan di negeri perang seperti Palestina," papar Maftuchan. Bedanya, menurut dia, China memberlakukan hukuman yang tegas bagi koruptor, sedangkan di Indonesia, hukum tunduk pada para koruptor besar.
Merusak Demokrasi
Sementara, lanjut dia, demokrasi sebagai sistem politik yang banyak dipilih oleh pemerintahan di seluruh dunia, dalam praktiknya menghadapi tantangan oligarkhi kekuasaan yang membuat persoalan korupsi kolusi di atas sulit di atasi. Lebih dari itu, Oligarkhi kekuasaan menutup peluang pergantian rezim sebab pemilu hanya merubah orang-orang dan bukan system kekuasaannya.
"Demokrasi dirusak pembagian oleh oligarkhi dan berubah hanya sekadar pembagian jatah. Check and balance sebagai prasyarat struktur pemerintahan, ada eksekutif dan legistlatif, tidak terjadi, karena yang ada hanya kongkalikong atau oligarkhi. Ekonomi hanya untuk para elit," kata Maftuchan.
Kabinet pemerintahan yang berkuasa, yang harusnya diisi para ahli di bidang masing-masing, dalam sistem politik oligarki yang terjadi justru hanya bagi-bagi pos jabatan sesuai jumlah kursi di parlemen.
Kerusakan strktur politik inilah yang kemudian membuat APBN kehilangan fungsinya sebagai modal bangsa ini memperbaiki perekonomian. Sebab APBN pada akhirnya hanya menjadi pos-pos untuk dikorup. Sementara ekonomi swasta hanya dimenangkan oleh pelaku ekonomi yang dekat dengan kekuasaan, kompetisi hilang, maka seperti kita ketahui produktifitas bangsa ini kalah jauh dibandingkan bangsa-bangsa lainnya.
"Mestinya zaken kabinet atau kabinet ahli sehingga seluruh sektor bisa dikerahkan untuk memperbaiki daya saing nasional. Kita justru sebaliknya. Lihat BLBI, uang ratusan triliun dihamburkan untuk melindungi mafia ekonomi," jelas Maftuchan.
Sedangkan Ketua Eksekutif Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Gunawan memandang, bahwa kolusi, korupsi dan nepotisme masih menjadi penyakit yang tak juga kunjung dihilangkan. Bahkan, penyakit KKN itu, kini menjangkiti hampir dalam semua sektor kehidupan, mulai dari politik sampai ekonomi. Kedua sektor itu pun masih sarat dengan praktek kronisme. "KKN masih kuat melekat," kata Gunawan.
SB/YK/ags
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/134706
Tidak ada komentar:
Posting Komentar