Kamis, 03 Juli 2014

Harga Gula Petani Makin Tertekan

Kamis, 3 Juli 2014

Kebijakan Impor Sangat Disesalkan

JEMBER, KOMPAS — Pemerintah dinilai tak berpihak pada produk lokal sehingga gula impor (rafinasi) masih terus membanjiri pasar domestik. Akibatnya, harga gula dari petani hanya laku dijual pada pasar lelang maksimal Rp 8.500 per kilogram, padahal gula rafinasi di tingkat pengecer Rp 8.000 per kilogram.

”Kondisi ini sangat merugikan petani karena harga pokok produksi gula petani sekitar Rp 9.500 per kilogram. Ini awal kebangkrutan petani,” kata Yeyek Sugianto, Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) Pabrik Gula Semboro, Jember, Jawa Timur, Rabu (2/7).

Yeyek menambahkan, kebijakan membuka keran gula impor sebesar-besarnya berpengaruh pada gula petani. Pedagang tidak mau membeli gula petani dengan harga mahal, apalagi sisa musim giling 2013 juga masih menumpuk di gudang pabrik gula dan gudang pedagang. ”Gula rafinasi hanya untuk kebutuhan industri makanan dan minuman, tapi kenyataanya beredar di pasaran untuk konsumsi rumah tangga,” ujar dia.

Junaedi, petani tebu di Kecamatan Kalisat, mengatakan, paling menyakitkan petani adalah sikap pemerintah yang mengizinkan pedagang impor gula saat petani panen atau giling tebu. Idealnya impor disesuaikan waktunya, artinya tidak dilakukan ketika musim panen atau giling tebu.

Jika impor digerojok ke pasar saat musim giling, petani makin terpuruk karena perbankan dan direksi pabrik gula tidak lagi menyediakan kredit ketahanan pangan dan energi (KKPE) sebagai modal awal petani tebu. ”Petani butuh biaya tanam tebu, tapi dana untuk modal kerja lewat KKPE tidak ada lagi. Akibatnya, petani tidak bisa tanam tebu,” ucap Yeyek.

Ketua APTRI Arum Sabil menegaskan, nasib petani tebu dalam tiga tahun terakhir tidak menunjukkan peningkatan yang
signifikan karena harga gula selalu di bawah ongkos produksi. Regulasi pemerintah yang membuka keran gula impor menjadi salah satu pemicu murahnya harga produk lokal.

Harga patokan petani (HPP) sebesar Rp 8.250 per kilogram, sementara biaya produksi sudah Rp 9.500 per kg. Jika produksi tebu rata-rata 90 ton per hektar dan rendemen 6,5 persen-7 persen, biaya produksi petani bisa di atas Rp 10.000 per kilogram, artinya kerugian sulit dihindari. Bagi hasil antara petani dan pabrik gula 66:34 dari hasil proses tebu menjadi gula perlu direvisi menjadi 70:30 agar kesejahteraan petani terjamin.

Sekretaris Perusahaan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI Adig Suwandi mengatakan, harapan petani mendapatkan harga gula lebih baik dibandingkan 2012 dan 2013 jauh dari harapan. Isyarat tersebut setidaknya terungkap dari tender, harga hanya Rp 8,377 per kg.

Untuk menjaga agar harga gula menguntungkan dan memadai bagi produsen adalah dengan mengendalikan stok dan mencegah masuknya gula rafinasi ke pasar eceran. Selain membatasi impor, pemerintah juga diminta segera membuat regulasi baru mengenai tata niaga gula.

Dana talangan
Sementara itu, petani tebu di Jawa Tengah juga minta pencairan dana talangan hasil lelang tebu lokal dapat segera dilakukan. Dana talangan, yang sesuai kesepakatan sebesar Rp 8.500 per kilogram dan semula dijanjikan akhir Juni 2014, ternyata belum cair.

”Dana talangan itu bagian tanggung jawab investor yang telah membeli gula lokal lewat lelang. Dengan belum cairnya dana talangan ini, petani tebu menjadi lesu,” kata Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Ketua APTRI Jawa Tengah Sukadi Wibisono, Rabu, ketika dihubungi di Semarang, Jateng.

Sukadi menyampaikan, dana talangan tersebut menjaminkan stok gula milik petani di Jawa Tengah lebih kurang 500.000 ton. Saat ini petani juga mulai bersiap memasuki masa giling tebu yang sudah berlangsung sebulan ini.

Gula lokal merosot
Sementara itu, harga gula lokal akhir-akhir ini terus merosot setelah pasaran gula lesu. Gula lokal kini kalah bersaing dengan gula rafinasi yang beredar luas di tingkat konsumen.

Di Kota Semarang, gula rafinasi di pedagang eceran hanya dijual berkisar Rp 7.900 per kilogram hingga Rp 8.000 per kilogram, sedangkan harga gula lokal Rp 8.500 per kg. Maraknya penjualan gula rafinasi ini diduga akibat adanya kebocoran dari gula yang semestinya untuk industri makanan dan minuman.

Menurut Sukadi, kebocoran gula rafinasi di Jateng sangat merata. Gula ini diminati masyarakat karena harga gula lokal sesungguhnya cukup mahal, di atas Rp 8.000 per kilogram.
APTRI Jateng, juga di tingkat kabupaten dan kota, sudah berupaya protes ke dinas perdagangan setempat supaya menghentikan perdagangan gula rafinasi. Namun, nyatanya petugas di instansi perdagangan tidak mampu.

Ketua APTRI Kabupaten Pati Suhardi mengakui, harga lelang gula petani tahun ini buruk, hanya laku sebesar Rp 8.516 per kg. Ini lebih rendah dari estimasi petani yang semula berharap bisa mencapai Rp 9.000 per kilogram. Meski rendah, nilai itu masih lebih baik dibandingkan dengan gula milik petani di Jatim yang hanya laku Rp 8.200 per kilogram.

Menurut dia, harga gula petani rendah tak masalah asalkan pemerintah daerah mampu mengatasi maraknya peredaran gula rafinasi. ”Gula mentah itu sudah dijual-belikan begitu terbuka sehingga petugas instansi perdagangan kabupaten pun tidak berdaya untuk mencegahnya,” ujar Suhardi. (WHO/SIR/ETA)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/140703kompas/#/21/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar