Kamis, 10 Juli 2014

Kapan Bangsa-Bangsa di Dunia Ini Belajar Makan dengan Tangan?

Kamis, 10 Juli 2014

Setelah negara-negara kelompok BRICS (Brazil, Rusia, India, China, South Africa) bangkit, banyak yang mempertanyakan teori apa yang dapat menjelaskan kemajuan negara tersebut. Apakah hal itu dapat diterangkan dengan teori modernisasi, depedensi, atau sistem dunia, suatu aliran pemikiran utama ilmuwan sosial? Sebagai orang yang pernah mendalami ilmu pangan, saya mencoba “mengkiaskan” fenomena tersebut dengan pola budaya makan bangsa-bangsa di dunia.
Menurut Suwarsono dan Alvin Y. So (1994) dalam buku yang berjudul Perubahan Sosial dan Pembangunan, dikatakan teori modernisasi muncul tahun 1950-an pada saat Amerika Serikat menjadi negara adidaya. Teori ini dikembangkan untuk memodernisasi dunia ketiga yang baru merdeka. Sudah barang tentu teori ini dibuat untuk keperluan Amerika Serikat dan negara maju lainnya.
Sedang teori dependensi berakar dari dunia ketiga sebagai jawaban atas kegagalan pembangunan (industrialisasi) di Amerika Latin tahun 1960-an. Teori dependensi ini tetap saja melihat dari kepentingan negara maju. Selanjutnya teori sistem dunia hadir tahun 1970-an setelah terjadi industrialisasi di Asia Timur (sebelum China/Tiongkok bangkit). Teori sistem dunia juga disebut Teori Ekonomi Kapitalis Dunia yang sudah barang tentu untuk mengamankan negara industri untuk memperoleh bahan baku, termasuk energi dan juga mengamankan pasar.
Teori sistem kapitalis dunia dengan “mantra” globalisasi merasuki pikiran negara berkembang akhir 1980-an. Pemerintahan Soeharto pun mulai membuka diri, termasuk di sektor keuangannya. Oleh karena kurang dipersiapkan secara matang, akhirnya pembangunan yang dilakukan Soeharto ambruk dan harus tunduk pada kehendak IMF sewaktu menghadapi krisis moneter 1997/1998.  Mahathir Mohamad yang mengaku murid Soeharto  lebih cerdik, tidak mau menuruti nasehat IMF, hasilnya Malaysia selamat dari krisis.
Dengan meredupnya negara maju akibat krisis yang terjadi di Amerika Serikat tahun 2008 dan menyusul Eropa  tahun 2012, keampuhan teori-teori yang dikembangkan oleh negara maju tersebut dipertanyakan, apalagi setelah bangkitnya negara kelompok BRICS. Selanjutnya ke manakah arah kiblat kita, akan beralih ke Timur “belajar makan dengan sumpit” atau membangun dengan kekuatan sendiri seperti yang dicita-citakan Soekarno sehingga dunia berpaling ke kita untuk “belajar makan dengan tangan”?

Tiga Pola Makan di Dunia
Di dunia ini terdapat perbedaan kebiasaan pola makan yang mencerminkan budaya yang dianut penduduknya. Kebiasaan pola makan tersebut dikelompokkan menjadi tiga: pertama dengan sendok dan garpu atau pisau dan garpu (selanjutnya istilah ini disingkat menjadi “makan dengan sendok”), kedua makan dengan sumpit (chop-sticks), dan ketiga “makan dengan tangan”. Di negara barat, seperti Eropa dan Amerika Serikat, penduduknya memiliki kebiasaan makan dengan sendok, sedang di Asia Timur seperti Jepang, Korea, dan China/Tionghoa memiliki kebiasaan makan dengan sumpit. Di Indonesia memiliki kebiasaan makan dengan tangan atau istilah Jawa muluk. Kebiasaan makan dengan tangan juga ada di Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara.
Menurut Menteri Pangan Ibrahim Hasan 1993-1998, dahulu orang berbondong-bondong belajar makan dengan sendok (yang dimaksud mungkin budaya barat) karena dipandang status sosial mereka lebih tinggi. Di barat menjadi pusat peradaban karena di sana ada pusat ilmu pengetahuan dan teknologi dan pusat perdagangan dan uang. Orang terkagum-kagum dengan budaya barat. Oleh karena itu, dikiaskan orang beramai-ramai belajar makan dengan sendok untuk meningkatkan status sosial mereka.
Setelah Jepang maju dengan pesat mulai 1970-an, orang mulai melirik budaya makan dengan sumpit. Kemudian Korea Selatan menyusul pada tahun 1990-an dan Tiongkok menggetarkan dunia mulai tahun 2000. Kebetulan ketiga negara tersebut mewakili budaya makan dengan sumpit. Sekarang ini dunia berduyun-duyun belajar ke Tiongkok mempelajari sukses gaya China. Barang buatan Tiongkok sekarang membanjiri pasar seluruh dunia.
Republik Salah Urus:  Dari Pidato Bung Karno sampai Revitalisasi Pertanian
Meminjam istilah Mufid A. Busyairi (2008) dalam buku Republik Salah Urus: Menguak Nasib Buram Petani Indonesia, mengatakan bahwa hidup di negeri dengan seribu satu masalah bisa merangsang kinerja otak lebih produktif, tentunya untuk menulis. Benar juga dengan berbagai masalah yang dihadapi bangsa ini, terutama yang menyangkut masalah pangan, akhirnya merangsang saya untuk mencari duduk perkaranya mengapa hal itu terjadi. Sudah barang tentu dari pandangan saya sesuai dengan pengalaman hidup dan pengetahuan yang saya peroleh.
Pidato Presiden Soekarno ketika meletakkan batu pertama Fakultas Pertanian Universitas Indonesia di Bogor (sekarang Institut Pertanian Bogor) pada tahun 1952 sangat jelas pesannya, bahwa soal pangan (istilah beliau persediaan makanan rakyat) adalah “mati hidupnya bangsa”. Namun, beliau tidak sempat merealisasikannya, malah pada masa pemerintahannya sering terjadi bencana kelaparan dan pada akhir pemerintahannya inflasi mencapai 660 persen. Untuk perbandingan saja ikan asin dan tekstil kasar pun masuk dalam kategori 9 bahan pokok pada waktu itu. Waktu itu Indonesia masih tergolong negara miskin dengan pendapatan per kapita kurang dari USD 100. Akhirnya, Pemerintahan Presiden Soekarno pun jatuh yang dipicu oleh naiknya harga beras. Keinginan membentuk kelompok negara “New Emerging Forces” kandas karena lupa membangun kekuatan ekonomi dalam negeri dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi terlebih dahulu.
Selanjutnya Presiden Soeharto, semula memang pembangunannya bertumpu pada pertanian yang dibiayai dari hasil “boom” minyak akibat adanya krisis minyak dunia tahun 1973. Infrastruktur pertanian dibangun, peningkatan produksi beras; gula; dan palawija ditangani serius, kelembagaannya ditata, harga dasar gabah/beras diimplementasikan, diadakan reformasi kelembagaan a.l. Yayasan Urusan Bahan Makanan (YUBM) diubah menjadi Bulog pada tahun 1967 dan dibentuk Badan Pengendali Bimas pada tahun 1970. Hasilnya tahun 1984 kita berswasembada kooditas beras, gula, dan jagung. Setelah swasembada dicapai, ternyata beban anggaran untuk membiayai membengkaknya stok beras dan gula sangat berat, kualitas beras pun menurun karena lama disimpan, kemudian diekspor merugi, selanjutnya harga riil beras dalam negeri pun turun, akhirnya petani yang jadi korban. Hanya pemerintah yang bangga dan mendapat pujian dan Presiden Soeharto yang dapat medali dari FAO.
Strategi peningkatan produksi kemudian diubah dari “swasembada absolut” menjadi “swasembada on trend”, pada saat stok beras berlebih dapat diekspor dan pada saat kekurangan beras dapat diimpor. Setelah tahun 1993, keadaan jadi kebablasan, kita menjadi “net importer” beras lagi. Akhirnya, Presiden Soeharto lengser tahun 1998 yang dipicu turunnya produksi beras tahun 1997 yang kemudian disusul oleh adanya krisis moneter  1997/1998 yang berimbas pada krisis ekonomi, sosial dan politik.
Presiden Habibie, Presiden Gus Dur, dan Presiden Megawati tidak banyak hal yang diwariskan dalam urusan pangan, mungkin karena singkatnya waktu memerintah. Yang saya catat sewaktu Pemerintahan Habibie, Gus Dur, dan Megawati produksi pertanian kita terpuruk akibat dibebaskannya impor  beras dan komoditas penting lainnya. Memang pada Pemerintahan Gusdur impor beras dan gula dikenakan bea masuk, tetapi impornya masih tetap bebas. Pada akhir Pemerintahan Megawati memang dilakukan pembatasan untuk impor gula dan beras. Setelah berbagai kritik tajam ditujukan pada kebijakan perberasan yang ambivalen, di satu sisi harga beras domestik dijaga, tetapi di sisi lain impor beras dibebaskan, artinya kita ikut menyelesaikan surplus beras dunia. Namun, dampak kebijakan pembatasan impor beras  belum dirasakan pada Pemerintahan Megawati. Perlu ditambahkan, pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 harga beras di Pasar Induk Beras Cipinang stabil sepanjang tahun sekitar Rp 2500,00 per kg, impor beras oleh swasta rata-rata per tahun 1,5 juta ton dan oleh Bulog 0,5 juta ton rata-rata per tahun.
Orang berharap banyak pada Pemerintahan SBY yang pada awal tahun 2005 mencanangkan “Revitalisasi Pertanian”, tetapi ternyata realisasinya tidak terlihat jelas. Di lain pihak, akibat pembatasan impor pada tahun 2004 oleh Presiden Megawati, dampaknya mulai terasa pada awal Pemerintahan SBY dengan naiknya harga beras dari sekitar Rp 2.500,00 pada saat panen menjadi Rp 3.500,00 per kg pada musim paceklik tahun 2005 dan awal panen 2006.  Kemudian, naik lagi menjadi sekitar Rp 4.000,00 lebih pada akhir 2006 dan awal 2007. Selanjutnya, naik lagi menjadi lebih dari Rp 5.000,00 per kg pada akhir 2007. Kenaikan harga yang cukup signifikan inilah a.l. yang diperkirakan memicu kenaikan produksi tahun 2008 yang spektakuler karena merangsang petani untuk menaikkan produksi. Pada tahun 2000 sampai 2004, selama 5 tahun harga stabil sekitar Rp 2.500,00 per kg, kemudian naik 100 persen atau menjadi Rp 5.000,00 per kg dalam tempo 3 tahun, sehingga harga beras domestik saat ini mencapai hampir 2 kali harga beras dunia.  Di tengah gegap gempitanya kenaikan produksi beras tahun 2008 dan 2009 yang sampai saat ini belum dapat dijelaskan sebab-sebabnya, nasib revitalisai pertanian tidak ada gaungnya.
Apa yang terjadi dengan nasib petani dan pertanian kita? Mulai dari Pidato Soekarno tahun 1952 di IPB sampai revitalisasi pertanian gaya SBY,  menurut Agus Pakpahan (2012) dalam buku Pembangunan sebagai Pemerdekaan (lihat Bab II No. 6 buku ini) dapat dilihat permasalahan pangan/pertanian dengan jernih: ketahanan pangan yang rapuh, adanya kemiskinan dan ketimpangan atau kesenjangan sosial, terjadinya kerusakan lingkungan hidup, ketenaga-kerjaan yang karut-marut, struktur ekonomi dualistik yang timpang sebagai warisan kolonial, industrialisasi yang jalannya lambat yang menyebabkan guremisasi (mengecilnya skala usaha petani), pendidikan yang tidak nyambung dengan lapangan kerja dan berkembangnya konflik sosial, ketergantungan pada pihak luar (teknologi, modal, dan barang) dan masa depan yang kurang pasti. Selanjutnya Agus Pakpahan melalui kajiannya menegaskan bahwa selama sektor di luar pertanian (perdagangan dan industri serta keuangan) menghisap sektor pertanian, bukan pertaniannya yang tertinggal, tetapi bangsa ini akan mati. Mereka bisa menjadi parasit.
Identifikasi masalah seperti di atas mempertegas perenungan saya tentang masalah pangan seperti tertuang pada Bagian II Tulisan No. 1 sampai dengan No. 5 tentang kemelut pangan, negara agraris kok mengimpor pangan, kekuatan pertanian kecil yang dilupakan, mengurai kemelut pangan, dan berubahnya pasar dan kali. Saya sepakat dengan Agus Pakpahan perlu ada perubahan suprastruktur (perubahan cara berpikir yang memandang bahwa pertanian dan petani bukan yang utama menjadi pertanian dan petani itu hal yang sangat penting, termasuk cara berpikir dalam pembuatan peraturan perundangan dan alokasi sumber daya terhadap kegiatan pertanian). Selanjutnya, Agus Pakpahan menegaskan bahwa globalisasi akan menjadi hal yang berbahaya dan menakutkan apabila status, posisi, dan daya pertanian Indonesia masih berkembang seperti yang terjadi saat ini.
Perlu perubahan struktur yang masih dualistis sebagai warisan kolonial Belanda seperti perkebunan yang menguasai lahan ribuan ha  dihadapkan pertanian kecil yang hanya menguasai lahan kurang dari 0,5 ha. Perubahan struktur ini termasuk menata kelembagaan pangan dengan pembagian yang jelas siapa yang mengurus setelah panen (off farm) dalam rangka penyediaan mutu gizi pangan untuk peningkatan mutu sumberdaya manusia, dan siapa yang bertanggungjawab mengurus budidaya (on farm). Oleh karena pangan yang termasuk dalam kategori off farm meliputi tugas-tugas antar sektor (kementerian) dan juga antar bidang, maka perlu  ada lembaga yang membuat regulasi dan juga mengkoordinasikannya agar pelaksanaan visi peningkatan mutu sumberdaya manusia dapat lebih terarah. UU Pangan tahun 2012 mengamanatkan hal tersebut secara jelas.
Selanjutnya lebih memerhatikan tersedianya infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, bendungan, saluran irigasi dan sebagainya. Banyak ahli yang melontarkan kegelisahannya terhadap nasib pertanian dan petani, tetapi tampaknya perlu adanya komitmen bersama untuk hal ini. Sayang, GBHN sebagai landasan pembangunan sudah tidak ada lagi sehingga nasib pertanian dan petani tergantung pemimpin bangsa seperti yang dilontarkan Dr. Noer Sutrisno, Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian (PERHEPI) 2004-2008 (KR ,22 Agustus 2004).
Hanya saya khawatir nasib pertanian dan petani   “hanya manis dalam pidato-pidato” (seperti juga pada pidato Bung Karno tahun 1952). Atau  hanya “manis mengendarai mobil SMK sampai Jakarta”, setelah itu  kendaraannya ditinggalkan. Saya yakin pemimpin kita bukan hanya “jago pidato” atau “jago mengendarai mobil SMK”, saya yakin beliau sangat propetani, beliau akan memerdekakan  petani, tetapi diperkirakan akan terkendala dengan dana untuk membiayainya.  APBN kita 70 persen lebih sudah diserahkan kepada daerah, sedang daerah kebanyakan menggunakannya untuk menggaji PNS. Untuk investasi, apabila kita berhutang kepada luar negeri  dibatasi jumlahnya supaya tidak mengganggu APBN. Apabila  diserahkan kepada pasar, yang terjadi nanti adalah seperti investasi kebun kelapa sawit, kebunnya berada di Indonesia dengan penebangan hutan dan perambahan lahan gambut, tetapi  investornya kebanyakan bukan dari Indonesia. Itulah dilema yang akan dihadapi pemimpin kita.
Pengalaman Bung Karno yang ingin berdikari dengan semboyan “go to hell with your aid” dan menasionalisasi perusahaan asing, hasilnya berupa kesengsaraan rakyat.  Pemerintahan Soeharto yang semula punya anggaran berlebih karena “nasib beja” atau beruntung dapat rejeki nomplok akibat krisis minyak 1973, tetapi rejeki nomplok ini hanya dapat bertahan sekitar 12 tahun. Setelah itu strateginya untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi membolehkan swasta berutang langsung ke luar negeri. Ternyata dalam 10 tahun utang swasta sudah kelewat banyak melebihi utang pemerintah. Ketika terkena dampak El Nino 1997 dan El Soros (krismon) 1997/1998, Indonesia kelimpungan memanage utang luar negerinya dan pemerintah terpaksa mengikuti nasehat IMF dengan menalangi utang luar negeri yang akhirnya membebani APBN kita sampai saat ini. Setelah Soeharto jatuh pada dasarnya semua investasi diserahkan kepada pasar yang kita tahu untuk pertanian adalah sesuatu sangat sulit, kecuali untuk kelapa sawit. Kesimpulannya, siapa pun yang ingin atau berniat ngopeni atau berpihak kepada petani, mungkin hanya sebatas untuk menarik simpati saja, mudah-mudahan yang akan datang hal ini tidak terjadi.
Kapan Dunia Belajar Makan dengan Tangan?
Itu yang belum dijelaskan oleh Menteri Pangan, bagaimana dan kapan dunia belajar makan dengan tangan? Menurut pendapat saya, apabila Indonesia sudah menjadi negara maju dan super; mempunyai kelebihan dan dikagumi bangsa-bangsa lain; termasuk menata dan mengurus pangan yang dilandasi kemajuan ilmu dan pengetahuan mutakhir seperti kita dapat  mengembangkan tanaman transgenik sendiri dan lain sebagainya. Pada era tersebut Indonesia menjadi negara maju sebagaimana cita-cita proklamsi ”adil, makmur dan sejahtera”. Pada saat itu bangsa-bangsa lain akan berbondong-bondong studi banding untuk mencontoh, menimba ilmu dan teknologi serta menjadi pusat perhatian dunia. Mereka belajar adat istiadat budaya Indonesia, termasuk cara makannya. Meniru budaya makan dengan tangan merasa bergengsi dan status sosialnya meningkat serta dianggap ”modern”. Namun selama Indonesia terpuruk, mengurus pangan yang merupakan kebutuhan pokok ”tidak beres” maka cara makan dengan tangan akan dipandang aneh dan memalukan serta tidak higienis bahkan jangan-jangan dianggap primitif dan ”uneducated people”.
Sehubungan dengan hal tersebut untuk memperoleh derajat dan predikat bangsa yang dipandang maju serta berhasil dalam membangun harkat dan martabat bangsa, penulis berpendapat, pertama, kita harus belajar dari sifat-sifat baik mereka, dalam hal ini bangsa Jepang dan Korea. Bangsa-bangsa tersebut terkenal tertib, disiplin, kerja keras, hidup hemat, tak mudah putus asa dan mengeluh, taat pada peraturan dan tegas dalam penegakan hukum, tidak suka menyalahkan orang lain, dan jeli mengambil peluang pasar. Bangsa Jepang dan Korea terkenal memiliki etos kerja tinggi.
Menurut Ali Akbar (2011), dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI, dalam buku 9 Ciri Negatif Manusia Indonesia, dikatakan manusia itu di mana pun memiliki ciri negatif dan positif, hanya manusia Indonesia memiliki 90 persen ciri negatif dan yang positif  hanya 10 persen. Adapun ciri manusia Indonesia sesuai  dengan hasil penelitian tahun  2000-2010, yaitu ramah, malas, tidak disiplin, korup, emosional, individualis, suka meniru, rendah diri, boros, percaya takhyul, bodoh, pengoceh, munafik, sombong, kreatif.  Dengan demikian, kita harus dapat menghilangkan 12 sifat-sifat negatif tersebut agar kita dipandang orang lain. Mungkin ahli-ahli budaya/antropologi berperan dalam mengikis sifat-sifat negatif tersebut. Ciri buruk itu menurut konsep kebudayaan akan diturunkan kepada generasi berikutnya, hal ini terbukti ketika sifat buruk tersebut dilontarkan oleh Muchtar Lubis (1977) dalam buku Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggung Jawaban, ternyata pada saat diteliti oleh Ali Akbar ternyata ciri-ciri tersebut masih melekat.
Ketika  mencari jawaban mengapa orang Malaysia lebih taat terhadap hukum sedang orang Indonesia kurang taat, penulis memperoleh jawaban dari analisis budaya  Dr. Faruk, dosen FIB UGM, di Mingguan Minggu Pagi No 21 Agustus 2007. Beliau mengatakan bahwa  masyarakat Malaysia hidup dalam budaya epik, sedangkan masyarakat Indonesia dalam dunia novelistik. Masyarakat Malaysia memperlihatkan derajat komunalitas yang relatif tinggi, sedang masyarakat Indonesia cenderung individualistik. Dalam terminologi filsafat, masyarakat Malaysia cenderung mempunyai orientasi yang kuat terhadap etika, sedang masyarakat Indonesia pada filsafat. Dalam terminologi agama, masyarakat Malaysia bersifat syariati, sedang masyarakat Indonesia makrifati.
Selanjutnya beliau  menegaskan bahwa di Malaysia hukum obyektif lebih kuat daripada subyektifitas warga negara atau tepatnya individu, sedangkan di Indonesia subyektifitas warga negara lebih kuat daripada hukum. Karena posisinya yang lebih kuat, manusia Indonesia tidak mudah ditaklukkan oleh hukum, oleh negara, atau dengan kata lain, manusia Indonesia tidak mudah terhegemoni. Kecenderungan demikianlah, mungkin, yang membuatnya dengan mudah membebaskan diri dari kekuasaan negara dan pada gilirannya membuatnya berani mengambil inisiatif untuk melakukan usaha-usaha perlawanan terhadap rezim dan usaha-usaha untuk membuat rezim alternatif.
Pesan dari dua ahli budaya tersebut makin memperkuat saran bahwa untuk mengikis ciri buruk tersebut harus melibatkan ahlinya. Mungkin juga perlu belajar dari Mahathir Mohamad yang pada tahun 1981 mencanangkan ”The look east policy” dengan merobah orientasi kebijakan Malaysia yang lebih melihat ke Timur (Jepang, Taiwan, Korea) yang lebih menekankan belajar ”work ethic” dan ”dicipline of work place” dengan mengirim ribuan pelajar ke negara-negara tersebut. Hasilnya dapat kita lihat sekarang Malaysia selangkah lebih maju dibanding Indonesia.
Kedua, dua hal penting yang perlu diperhatikan yaitu menghargai barang buatan sendiri dan kesinambungan dalam pembangunan. Di Jepang sangat sedikit mobil luar Jepang yang lalu-lalang di jalan, mereka lebih menyenangi bikinan sendiri. Orang Korea lebih fanatik lagi, walaupun banyak yang dapat membeli mobil luar, tetapi mereka merasa malu kalau memakai mobil impor. Untuk itu disini ahli teknologi yang berperan agar produk kita memiliki daya saing. Di Tiongkok walaupun menganut sistem Komunis, kebijakan pembangunannya berkesinambungan. Mereka selalu berprinsip yang baik diteruskan dan yang jelek ditinggalkan. Di Indonesia cenderung ganti pemerintah akan ganti kebijakan, yang lama ditinggalkan, sehingga memulai dari nol lagi.
Berdasarkan tinjauan perjalanan sejarah strategi kebijakan pangan dari masa ke masa, sejak periode awal kemerdekaan sampai dengan 2014 (selama hampir 70 tahun) ternyata belum mencapai tingkat ketahanan pangan yang kaut dan lestari. Oleh karena itu diperlukan strategi kebijakan pangan yang komprehensif, konsisten, berkelanjutan dan berkesinambungan dari periode ke periode pemerintahan. Strategi kebijakan pembangunan pertanian harus bersifat ”holistic approach”, terintegrasi, terpadu, menyeluruh dan tidak terkotak-kotak pada saat on farm maupun off farm; antarsektor atau kementerian , antarpusat dan daerah dan antardaerah itu sendiri.
Ketiga, sesuai pendapat Agus Pakpahan (2012), kita harus mengubah tradisi berpikir kita bahwa pertanian dan petani harus menjadi prioritas utama agar tidak menjadi institusi yang terpinggirkan. Perubahan paradigma berpikir ini harus menyangkut suprastruktur berupa UU yang propetani dan pertanian, kemudian struktur atau kelembagaan yang menjamin kelangsungan pertanian dan melindungi petani, dan penyediaan infrastrukur yang berorientasi untuk mengembangkan pertanian. Adalah suatu keniscayaan, suatu negara dengan penduduk banyak akan menjadi maju, tetapi tidak didukung ketahanan pangan yang kuat. Negara akan memiliki ketahanan pangan kuat apabila didukung pertanian yang tangguh.
Perlunya perubahan cara memandang bahwa petani dan pertanian itu penting sedangkan pihak lain berkepentingan harus benar-benar dilaksanakan secara sadar dan tulus; bukan hanya ”basa-basi” saja. Selain itu juga perlu gerakan perubahan paradigma tentang ”puting the farmer first”. Dalam hal ini pemerintah harus memahai tugas pokoknya, yaitu ”nguwongke (menghargai), ngayemi (memberikan rasa tenteram), ngayomi (melindungi) dan ngayani (membuat kaya)” petani. Sesuai filosofi budaya para leluhur kita dalam mengasuh dan membesarkan anak-anaknya. Jadi pemerintah itu harus menghargai petani sebagai orang penting yang bertabat mulia, memberikan/menjamin ketenteraman, melindungi dan mensejahterakan (membuat kaya) dengan berbagai tindakan nyata.
Keempat, memilih calon pemimpin di pusat dan daerah yang mempunyai platform yang jelas, dapat menerjemahkan pesan Pembukaan UUD 1945, khususnya menjabarkan pesan “untuk memajukan kesejahteraan umum” dan Pasal 33 dan 34, khususnya yang dapat menjabarkan demokrasi ekonomi yang mengamanatkan kemakmuran bagi semua orang. Kita dapat melihat sukses Brazil yang segera dapat keluar dari kemelut ekonomi tanun 1980-1990 karena dapat memilih pemimpin yang tepat Presiden Lula yang memiliki platform yang beraliran kerakyatan.
Mudah-mudahan tulisan ini menjadi perenungan para anggota legislatif, bupati, gubernur, dan presiden. Rakyat sudah lelah adanya “adu omong dan adu menangnya sendiri yang kadang disertai adu jotos” yang bukan untuk rakyat, tetapi untuk kepentingan sendiri atau kelompoknya.®®


Sapuan Gafar
Mantan Sekretais Menteri Negara Urusan Pangan dan Wakabulog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar