Senin, 21 Juli 2014
Tak lama lagi Indonesia mempunyai presiden dan wakil presiden baru. Rakyat menumpukan harapan yang tinggi agar mereka lebih sejahtera. Petani dan nelayan, mayoritas penduduk negeri ini, berharap presiden dan wakil presiden terpilih merealisasi janji, visi-misi, dan program aksinya. Salah satu tujuan yang dipahatkan para calon presiden dan calon wakil presiden adalah membawa Indonesia (kembali) berdaulat pangan.
Dalam pelbagai kampanye, termasuk dalam pemilu-pemilu sebelumnya, misi berdaulat pangan selalu menjadi jualan. Namun, sampai sekarang tujuan itu masih jauh dari tercapai. Impor sejumlah komoditas penting, seperti gula, kedelai, jagung, susu, daging, gandum dan beras, masih amat besar. Padahal, pelbagai kebijakan untuk menekan impor tak kunjung ampuh. Bahkan, kebijakan dari pemerintah sering kali ditunggangi importir. Tahun lalu, impor aneka pangan mencapai US$12 miliar.
Produksi aneka pangan utama merosot atau stagnan. Target ambisius swasembada jagung, kedelai, gula dan daging, serta surplus beras 10 juta ton pada 2014 meleset, dan menyesatkan. Target indah di atas kertas, tapi tidak realistis di lapangan. Bagaimana mungkin swasembada tercapai jika infrastruktur irigasi rusak dan sawah terkonversi? Anehnya, meskipun produksi terus merosot, seperti terjadi pada kedelai, target tidak kunjung direvisi. Padahal, kinerja produksi pangan yang baik bisa menekan dampak buruk sistem perdagangan dan tata niaga yang tidak efisien, konsentris, dan oligopolis.
Instabilitas pangan selalu berulang. Hal ini terjadi karena dominasi orientasi pasar dalam kebijakan pangan. Hampir semua komoditas pangan, kecuali beras, diserahkan pada mekanisme pasar. Instrumen stabilisasi amat terbatas. Itu pun hanya pada beras. Orientasi ini tak salah kalau infrastruktur sudah baik, petani sejahtera, dan pendapatan konsumen sudah pejal pada guncangan pasar. Kenyataannya, ketiga persyaratan itu belum terpenuhi. Akibatnya, fluktuasi harga pangan selalu berulang. Hal ini tak hanya menggerus daya beli warga, tapi juga membuat inflasi melambung dan sulit dikendalikan.
Dominasi orientasi produksi membuat kesejahteraan petani terabaikan. Sekitar 57 persen dari 68 persen penduduk miskin di perdesaan adalah petani. Kondisi ini tak jauh beda dibanding pada tiga dekade lalu. Hal ini menunjukkan, lebih dari 30 tahun usaha menggenjot produksi pertanian tidak juga menggusur kemiskinan dari desa. Menurut BPS, angka kemiskinan di pertanian mencapai 56,1 persen, jauh di atas industri (6,77 persen). Sebagai produsen pangan, petani justru menjadi kelompok yang paling terancam oleh masalah rawan pangan. Ini tak bisa dibiarkan.
Untuk mencapai kedaulatan pangan, perubahan kebijakan diperlukan. Pertama-tama, perlu dipahami kedaulatan pangan merupakan prasyarat sebuah ketahanan. Ketahanan pangan baru akan tercipta kalau kedaulatan pangan dimiliki rakyat. Dari perspektif ini, pangan dan pertanian semestinya tidak ditaruh di pasar yang rentan, tapi ditumpukan di pundak dan kemampuan sendiri. Agar bisa berdaulat pangan, pertama, petani sebagai pelaku utama harus berdaulat. Petani akan berdaulat apabila ia memiliki tanah, bukan menjadi buruh atau penggarap. Karena itu, untuk menjamin tegaknya kedaulatan pangan, akses dan kontrol petani (kecil) terhadap sumber daya produksi penting (tanah, air, benih, teknologi, pasar, dan finansial) harus dijamin, salah satunya lewat reforma agraria. Tanpa jaminan akses dan kontrol sumber daya produksi, kedaulatan hanya omong kosong.
Dalam konteks lingkungan alam, petani perlu perlindungan atas berbagai kemungkinan kerugian bencana alam, seperti kekeringan, banjir, dan bencana lain. Negara perlu memberi jaminan hukum bila hal itu terjadi petani tak terlalu menderita. Salah satu caranya, adanya UU yang mewajibkan pemerintah mengembangkan asuransi kerugian atau kompensasi kerugian bagi petani atas dampak bencana alam atau hal sejenis. UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang ada jauh dari memadai.
Dalam lingkup lingkungan sosial-ekonomi, negara perlu menjamin struktur pasar bahwa yang menjadi fondasi pertanian adalah struktur pasar yang adil. Hal ini tidak hanya untuk mengatasi masalah struktur pasar yang tidak adil di dalam negeri, tapi juga sebagai siasat atas struktur pasar dunia yang tak adil bagi negara-negara berkembang. Pendek kata, semua yang menambah biaya eksternal petani, menurunkan harga riil produk pertanian, dan struktur yang menghambat kemajuan pertanian perlu landasan hukum yang kuat agar perlindungan petani bisa dilaksanakan sebagai kewajiban negara (Pakpahan, 2012).
Bagi Indonesia, dengan segenap potensi yang ada (lahan, kekayaan hayati, local knowledge, dan yang lain), tidak ada alasan untuk tidak berdaulat pangan. Kedaulatan pangan tidak kunjung tercapai karena pelbagai kebijakan menjauh, bahkan menegasikan pencapaian kedaulatan pangan. Momen pemilu presiden memberi harapan baru. Namun, semua bergantung pada kebijakan yang akan diambil presiden terpilih: akankah membuat kebijakan yang memperkuat atau justru menegasikan kedaulatan pangan?
Khudori,
anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
http://koran.tempo.co/konten/2014/07/21/347417/Presiden-Terpilih-dan-Kedaulatan-Pangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar