Minggu, 28 September 2014
Surabaya, Bhirawa
Krisis pangan yang kadang terjadi di negeri ini sesungguhnya merupakan peristiwa yang menggelikan sekaligus menyesakkan dada. Sebagai negeri yang memiliki lahan pertanian luas nan subur, sungguh tiada alasan bagi negeri ini untuk kekurangan bahan pangan jenis apapun. Namun, faktanya beberapa produk utama bahan pangan masih harus mengimpor dari negara lain.
Beras yang dimasa lalu sempat mengalami surplus, ternyata hari ini harus impor agar bisa memenuhi kebutuhan beras nasional. Bukan beras saja, produk-produk pertanian lainnya pun ternyata juga tergantung dari impor. Imbasnya, bangsa ini sering dilanda krisis produk pertanian tertentu karena pasokan impor yang terganggu.
Sungguh ironis, sudah 69 tahun Indonesia merdeka, namun rakyatnya masih belum berdaulat pangan. Bahkan ada peningkatan impor pangan empat kali lipat dalam kurun waktu 10 tahun, sebanyak US$ 3,34 miliar di tahun 2003 menjadi US$ 14,9 miliar tahun 2013 lalu. Penyusutan luas lahan pertanian sebanyak lima juta hektare lebih, atau menurun 16,32 % dari 2003, selama 10 tahun. Jumlah petani juga menyusut 500.000 rumah tangga dalam kurun 10 tahun, saat ini hanya terdapat 26,14 juta keluarga tani dari tahun 2003 yang berjumlah 31,17 juta keluarga tani.
Data BPS per Maret 2014 menunjukkan tingkat kemiskinan pedesaan sekitar 17 juta jiwa atau hampir 50% dari jumlah petani yang ada di Indonesia, 31,70 juta jiwa. Indeks Kebahagiaan (IK) masyarakat kota juga lebih tinggi daripada di desa, yakni 65,92 dan 64,32. Muara dan dampak dari problem tersebut adalah kemiskinan agraria pedesaan, realita kemiskinan pedesaan selalu di depan daripada kemiskinan perkotaan. Ini berarti kemuliaan rumah tangga desa penghasil pangan tidak diimbangi dengan kemuliaan ekonomi pertanian. Oleh karena itu untuk mengubah keadaaan ini, presiden terpilih harus bergerak cepat, belajar, dan tidak mengulangi kesalahan pemerintahan terdahulu yang menyebabkan pertanian Indonesia semakin terpuruk.
Kondisi sektor pertanian yang sedemikian itu membuat industri penopang sektor pertanian juga mengalami persoalan. Terbukti, sektor industri penopang pertanian seperti industri pupuk pun tidak mampu menunjukkan pertumbuhan yang meyakinkan. Realitas ini bisa dimengerti mengingat tidak ada kebijakan di sektor pertanian yang bisa memacu industri pupuk ikut maju. Logikanya, ketika pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan yang mampu membuat sektor pertanian menggeliat, maka implikasinya industri pupuk pun ikut tidak bergerak.
Mewujudkan Kedaulatan Pangan
Kedaulatan pangan menjadi isu yang seksi dalam kampanye Pilpres kemarin. Masing-masing pasangan Jokowi-Jusuf Kalla dan Prabowo-Hatta Rajasa sama-sama menjanjikan kedaulatan pangan jika menang dalam Pilpres. Oleh karena itu, ketika Pilpres sudah usai, maka publik pantas dan wajib untuk menagih langkah-langkah pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla dalam mewujudkan kedaulatan pangan.
Di atas kertas, sesungguhnya keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai negeri yang berdaulat pangan bukanlah sesuatu yang berlebihan. Apalagi dalam sejarahnya, bangsa ini pernah menggapainya. Sederhana saja, di masa orde baru lalu, Indoneisa adalah eksportir beras yang tangguh, namun kini bangsa ini telah menjelma menjadi bangsa yang selalu membutuhkan suntikan impor produk-produk pertanian, ironis bukan?
Dalam konteks inilah, ketika ada keinginan kuat dari pemerintah untuk mewujudkan kedaulatan pangan maka menjadi momentum bagi industri penopang pertanian utamanya industri pupuk untuk tumbuh dan berkembang. Artinya, ketika ada kesungguhan dari pemerintah untuk menggarap sektor pertanian, maka dengan sendirinya kondisi itu akan merangsang industri pupuk nasional untuk meningkatkan produksinya. Tanpa ada kesungguhan untuk memberi perhatian secara serius terhadap sektor pertanian, maka sulit rasanya industri pupuk nasional akan tumbuh kuat dan tangguh.
Namun demikian, tentu hanya berharap pada pemerintah untuk membuat kebijakan yang memihak petani juga tidak bijaksana. Di kalangan industri pupuk sendiri juga harus melakukan pembenahan baik dalam hal kualitas produk maupun harga jualnya. Sebab, ketika harga pupuk terlalu mahal sementara kemampuan daya beli petani minim juga akan membuat industri pupuk sulit berkembang.
Sementara di luar sana, beberapa negara tengah mempersiapkan industri pupuk yang siap menggelontor petani tanah air yang bisa jadi lebih murah dan berkualitas. Kondisi ini lagi-lagi juga butuh perhatian pemerintah agar berani membuat kebijakan di bidang industri yang memihak kepentingan industri pupuk. Misalnya memberikan kemudahan dan jaminan terhadap kebutuhan gas bagi industri pupuk tersebut. Bahkan, kebijakan subsidi pupuk yang selama ini sudah diberikan harus terus ditingkatkan dengan harapan akan menggeliatkan sektor pertanian. Bagaimanapun keberpihakan subsidi terhadap industri pupuk akan berdampak langsung kepada nasib petani di desa-desa. Inilah model subsidi yang akan mendorong produktivitas pertanian kita. Kita tentu tidak ingin pemerintah membiarkan industri pupuk nasional kita bertarung sendirian untuk dapat bertahan hidup.
Begitu beratnya dalam pengembangan industri pupuk ini, bahkan, sempat berkembang wacana bahwa pemerintah akan menutup industri pupuk badan usaha milik negara dan memilih mengimpor pupuk urea. Kalau kebijakan itu benar-benar dijalankan, maka industri pupuk BUMN akan berada dalam ancaman. Petani memang akan mendapat harga pupuk murah. Anggaran subsidi bisa dihemat, tetapi itu sesaat. Namun, buah pahit justru akan dialami saat ini. Petani bisa membeli pupuk dengan harga 500 dollar AS per ton, bahkan bisa 700 dollar AS. Itu pun kalau ada barangnya. Harga pupuk yang terlampau mahal itu tidak akan sanggup dibeli petani. Untuk menyiasati itu, petani bakal mengurangi penggunaan pupuk atau tidak mau menggunakan pupuk sama sekali. Produksi pangan, seperti beras, jagung, dan kedelai, bakal terganggu.
Berkaca dari pengalaman itu, industri pupuk ternyata menentukan bagi kelangsungan produksi pangan nasional. Namun patut digarisbawahi, bahwa subsidi pupuk adalah bagian dari proses dalam memperkuat industri pupuk nasional. Kebijakan ini bisa saja dihentikan ketika secara nyata industri pupuk nasional kita sudah tangguh dan sehat sehingga siap bersaing dengan industri-industri asing. Ingat, tidak lama lagi, di dunia bakal beroperasi 60 pabrik urea baru. Sebanyak 18 unit di antaranya berada di China. Kapasitas pabrik urea sejagat pun akan melonjak, dari 182 juta ton menjadi 226 juta ton pada 2016. Yang menarik (baca : mencemaskan) adalah banyak di antara pabrik itu yang berorientasi ekspor. Contohnya Pakistan. Tadinya tetangga India itu terbilang importir besar urea tapi sekarang sudah mempunyai bahan baku dalam jumlah yang memadai. Tak hanya menjadi swasembada, tapi Pakistan juga bakal jadi eksportir kalau mereka punya cukup gas. Kondisi mirip terjadi di Vietnam yang kini tengah bersemangat mengembangkan pabrik pupuk. Dan bila tidak ada kendala teknis, Vietnam akan jadi eksportir.
Peran PT Petrokimia Gresik
PT Petrokimia Gresik (PKG) yang kini merupakan anak perusahaan dari PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC) memproduksi dan memasarkan pupuk urea, ZA, SP-36/18, Phonska, DAP, NPK, ZK dan industri kimia lainnya serta pupuk organik. Dengan demikian, Petrokimia memiliki peran signifikan dalam mewujudkan kedaulatan pangan khususnya dengan produksi pupuk yang berperan dalam meningkatkan produktivitas pertanian.
Diluar Petrokimia, anak perusahaan lain juga memproduksi pupuk. Misalnya saja seperti PT Pupuk Kujang (PKC), memproduksi dan memasarkan pupuk urea, NPK, organik dan industri kimia lainnya. PT Pupuk Kaltim (PKT), memproduksi dan memasarkan pupuk urea, NPK, organik dan industri kimia lainnya. PT Pupuk Iskandar Muda (PIM), memproduksi dan memasarkan pupuk urea dan industri kimia lainnya. PT Pupuk Sriwidjaja Palembang memproduksi dan memasarkan pupuk urea dan industri kimia lainnya serta pupuk organik. Namun demikian dibandingkan dengan anak perusahaan lainnya, Petrokimia menjadi anak perusahaan yang terbesar kapasitas produksi pupuknya. Dengan demikian, Petrokimia memiliki kekuatan untuk ikut mengendalikan pasokan pupuk nasional.
Dalam mengemban tugas bagi ketahanan pangan nasional, PT Petrokimia Gresik dituntut untuk meningkatkan daya saingnya. Dengan demikian langkah melakukan revitalisasi pabrik lama ataupun dengan membangun pabrik baru sudah menjadi sebuah keniscayaan bagi Petrokimia. Revitalisasi pabrik lama dan pembangunan pabrik baru itu merespons perkembangan industri dunia yang makin efisien dan kompetitif. Kalau industri pupuk tidak efisien, maka produk asing itu dengan mudah akan masuk. Sekali produk asing itu masuk, dan kemudian menjalar, akhirnya kita nggak ada kedaulatan. Akhirnya, pangan kita akan ditentukan oleh suplai dari orang. Sementara pendirian pabrik pupuk baru di Kaltim dan Jatim itu berkapasitas lebih besar dan lebih hemat energi. Pembangunan pabrik di Jawa juga diharapkan memangkas pengeluaran sebanyak US$60 juta/tahun yang selama ini untuk mentransportasikan pupuk dari Sumatera dan Kalimantan ke Pulau Jawa.
Berkaca pada paparan di atas, maka perlu dilakukan langkah-langkah serius agar PT Petrokimia Gresik bukan saja mampu menjadi penopang utama untuk mewujudkan kedaulatan pangan nasional, tetapi juga mampu berbicara banyak di pasaran pupuk di level dunia.
Pertama, bahwa adanya permintaan pupuk kian bertambah, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, maka mau tidak mau PT Petrokimia Gresik harus melipatgandakan kapasitas produksinya. Oleh sebab itu tepat kiranya kalau langkah ekspansi dalam bentuk pembangunan sebuah pabrik baru disiapkan. Tekad PT Petrokimia untuk menambah total jumlah produksi pupuk dari kisaran 4,39 juta ton per tahun menjadi sekitar 5,32 juta ton tentu merupakan kabar baik. Ditargetkan pada tahun 2017 nanti kapasitas produksi bisa naik signifikan dari 6 juta ton menjadi 8 juta ton.
Hasil produksi pupuk yang akan dipacu produksinya adalah meliputi pupuk jenis K2SO4, ZA, urea dan NPK. Sedangkan untuk produk non pupuk yang akan digenjot kuantitas produksinya adalah meliputi amonia, cement retarder, asam sulfat, dan asam fosfat. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa konsolidasi dan membangun pabrik baru di lokasi yang dekat dengan sumber gas baru. Strategi ini dimaksudkan agar dapat lebih mengoptimalkan investasi serta lebih menjamin pasokan gas sebagai feed stock pabrik pupuk tersebut untuk memastikan program revitalisasi pabrik pupuk Indonesia berhasil dengan baik.
Kedua, PT Petrokimia Gresik dituntut untuk mengembangkan produk-produk baru sesuai dengan kebutuhan dan selera pasar. Misalnya saat ini tengah berkembang green technology atau teknologi yang ramah lingkungan, maka dengan sendirinya Petrokomia juga harus memproduksi bahan-bahan yang ramah lingkungan. Dengan luas lahan pertanian dan perkebunan di Indonesia yang begitu besar didukung dengan pengalaman Petrokimia selama lebih dari 20 tahun di Industri Agrokimia, tentu Petrokimia harus berperan serta dan memberikan yang terbaik dengan produk-produk yang berkualitas kepada para petani dan pelaku usaha yang bergerak di bidang pertanian dan perkebunan untuk menyelamatkan hasil panen nya serta membantu pemerintah menciptatakan swasembada pangan di Indonesia. Diproduksinya Bio Pestisida dan Bio Fertillizer untuk mendukung gerakan Go Green di Indonesia tentu merupakan langkah cerdas yang dilakukan Petrokimia.
Ketiga, bahwa Petrokimia dituntut terus melakukan inovasi dan diversifikasi produk. Beberapa waktu lalu, Petrokimia meluncurkan tiga produk inovasi baru sejalan dengan upaya mendukung ketahanan pangan nasional dan memenuhi kebutuhan pasar yang semakin berkembang. Peluncuran berbagai produk inovasi tersebut merupakan bentuk diversifikasi bidang usaha yang sudah lama dikembangkan oleh PKG. Pengembangan produk inovasi ini bertujuan agar usaha PKG bisa mencakup seluruh sub sistem sektor pertanian. Adapun tiga produk inovasi baru yang diluncurkan yakni Petro Biofeed, Petro Chick dan benih jagung hibrida Petro Hi-Corn. Petro Biofeed dan Petro Chick merupakan probiotik untuk sapi dan unggas yang mengandung penghasil zat anti-mikroba pathogen, penyeimbang mikroflora rumen, dan meningkatkan napsu makan serta kemampuan mencerna protein sehingga dapat mengurangi bau pada kotoran. Sedangkan Petro Hi-Corn (varietas Bima 14 Batara) merupakan benih unggul yang lebih tahan terhadap penyakit dan memiliki potensi produksi pipilan kering 12,9 ton/ha. Meski mengeluarkan banyak produk inovatif, PKG tetap tidak akan meninggalkan produksi pupuk sebagai core bisnisnya selama ini. Peluncuran produk-produk inovasi tersebut tidak hanya untuk mendukung kinerja perusahaan tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan pasar yang semakin berkembang.
Selanjutnya, peresmian bio center plant dan ground breaking unit produksi enzim di PT Petrosida Gresik yang pertama kali di Indonesia ini dilakukan Menristek Gusti Muhammad Hatta beberapa waktu lalu sesungguhnya membuktikan Petrokimia serius untuk mengembangkan risetnya agar bisa menghasilkan produk yang berkualitas dan menjawab kebutuhan zaman. Kerjasama kemitraan dalam bentuk konsorsium dilakukan oleh BPPT dengan PT Petrosida Gresik dan perguruan tinggi Universitas Diponegoro (Undip) untuk mengembangkan teknologi enzim dan aplikasinya telah berhasil merintis suatu unit produksi enzim yang merupakan industri enzim komersial pertama di Indonesia. Dengan adanya produksi enzim ini kita tidak tergantung pada luar negeri. Ini karya anak bangsa sendiri. Dampaknya bisa mengurangi devisa impor Rp 187,5 miliar per tahun sebab impor enzim sebanyak 2.500 ton per tahun. Dengan produksi dalam negeri yang ditargetkan akan selesai pada awal 2015.
Keempat, bahwa keberadaan pupuk bersubsidi sungguh dapat membantu petani untuk meningkatkan produksi tanaman. Selain itu, industri pupuk berkembang. Namun sayangnya, produsen pupuk kurang memanfaatkan peluang pasar yang sudah terbentuk dari program pupuk bersubsidi ini. Sebenarnya, bagi produsen yang jeli melihat pasar, pupuk bersubsidi merupakan peluang yang sangat baik untuk memasarkan produk pupuk. Tapi ternyata, tak satu pun produsen yang jeli memanfaatkan peluang itu. Produsen terbuai dengan enaknya memasok pupuk yang ditugaskan untuk menyalurkan pupuk bersubsidi. Pupuk bersubsidi ini langkah awal bagi produsen untuk menggarap pasar ditingkat petani. Seharusnya, produsen jangan sebatas mensuplai pupuk ke petani saja. Mereka mestinya, memantau sampai sejauh mana manfaat pupuknya terhadap produksi. Padahal, mestinya produsen punya pandangan jauh ke depan. Setelah program ini ditiadakan, petani tetap akan pakai produk mereka. Untuk itu semestinya mereka juga mengawal di tingkat petani, sehingga diketahui keunggulan dan kelemahan produknya. [wahyu kuncoro sn]
http://harianbhirawa.co.id/2014/09/menopang-kedaulatan-pangan-menantang-pasar-global-2/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar