Kamis, 25 September 2014

Sawah Dikuasai Pemodal Besar

Kamis, 25 September 2014

Luas Lahan Petani Rata-rata Hanya 0,3 Hektar

CIREBON, KOMPAS — Petani di Kabupaten Cirebon dan Indramayu, Jawa Barat, rata-rata hanya memiliki 0,3 hektar lahan. Sebagian besar lahan produktif di kawasan itu milik pemodal besar atau tanah bengkok. Petani umumnya menyewa tanah milik pemodal besar untuk mereka tanami.
”Harga sewanya bervariasi di setiap tempat. Pada daerah yang airnya bagus atau saluran irigasinya terjaga, maka harganya akan lebih tinggi. Sebagai gambaran, di daerah yang satu kali panen, harga sewa sawah bisa Rp 5 juta per hektar untuk satu kali musim,” kata Tasrip Abubakar, Wakil Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kabupaten Cirebon, Rabu (24/9), di Cirebon.

Selain dimiliki pemodal besar, lahan-lahan produktif di Cirebon dan Indramayu dikuasai oleh pengurus desa karena merupakan tanah bengkok. Pengajar Ilmu Ekonomi di Institut Agama Islam Negeri Syekh Nur Jati, Cirebon, Agus Alwafier, mengatakan, ia pernah menelusuri hingga ke kampung-kampung dan mendapati seorang kuwu atau kepala desa menguasai puluhan hektar sawah sebagai tanah bengkok.

”Di Indramayu, fenomena ini paling banyak ditemui. Posisi kuwu amat menjanjikan karena luasnya tanah bengkok yang dijanjikan. Jumlahnya yang luas dan tidak jarang disalahgunakan. Di sisi lain, petani kecil masih banyak yang tidak memiliki lahan garapan. Para petani pun menjadi petani penyewa dengan sistem bagi hasil,” ujarnya.

Hal senada dikemukakan sejumlah petani yang tergabung dalam Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia Kabupaten Indramayu.

Karsinah (80), petani dari Desa Segeran Kidul, Kecamatan Juntinyuat, misalnya, menyewa lahan seluas 2 hektar di depan rumahnya yang kini dikelola keluarganya. ”Umumnya petani di sini menyewa. Memang ada yang punya tanah sendiri, tetapi itu umumnya bos beras (petani besar),” ujarnya.

Karena tidak mempunyai uang untuk menyewa sawah, Amin Jalalen (48), petani dari Desa Kalensari, Kecamatan Widasari, Indramayu, memilih mengelola lahan telantar di Cikamurang. ”Saya khawatir setelah tanah itu menjadi lahan produktif, negara lalu mengambilnya dari saya tanpa ganti rugi. Bahkan, negara bisa menyewakan atau menjualnya kepada pemilik modal. Selanjutnya, kami yang menyewa lahan dari mereka,” kata Amin.

Ia berharap pemerintah segera mewujudkan Undang-Undang Reforma Agraria yang memberi kesempatan petani seperti dirinya bisa mengelola lahan untuk hidup sehari-hari.

Berpihak kepada petani
Kemarin, sejumlah kelompok masyarakat tani dan berbagai elemen masyarakat yang peduli petani berunjuk rasa di sejumlah daerah. Mereka menuntut pemerintah berpihak kepada petani. Unjuk rasa ini dalam rangka memperingati Hari Agraria Nasional atau Hari Tani Nasional yang jatuh pada 24 September.

Di Palembang, misalnya, sekitar 800 orang dari kelompok masyarakat tani di Sumatera Selatan menuntut agar pemerintah menyelesaikan konflik lahan, serta melindungi lahan garapan dan harga komoditas pertanian.

Sekretaris Jenderal Serikat Petani Sriwijaya, Anwar Sadat, mengatakan, ada konflik lahan 23 desa di empat kabupaten di Sumsel dengan perusahaan perkebunan yang harus diselesaikan pemerintah. Luas lahan yang dalam sengketa itu sekitar 20.000 hektar.

Di Bandar Lampung, sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Lampung menuntut agar perampasan tanah lahan pertanian bagi perkebunan besar, taman nasional, pertambangan dan infrastruktur dihentikan.

Di Solo, Jawa Tengah, sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Mahasiswa Penyelamat Agraria menuntut pemerintah fokus membangun sektor pertanian. (REK/DIA/GER/KOR/HEI/RWN/IRE/BAY/COK)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/140925kompas/#/22/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar