Jumat, 24 Oktober 2014

Darurat Sektor Pertanian

Jumat, 24 Oktober 2014

Apresiasi masyarakat dalam pesta penyambutan presiden baru yang gegap gempita menjadi modal besar bangsa untuk mempercepat pembangunan nasional. Pertarungan politik antara legislatif dan eksekutif sebagai implikasi hasil Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 berisiko besar memperlambat laju pembangunan nasional. Sebab untuk menyelaraskan gerak langkah pembangunan bangsa dengan negara maju lainnya, Indonesia harus lebih dulu menyatukan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Trias politika ini telah lama menjadi dasar politik nasional yang akan mewarnai proses “reunifi kasi” berbagai kelompok masyarakat, seperti kalangan pers, lembaga pendidikan, LSM, korporasi, petani, dan pedagang. Kemampuan Jokowi-JK diharapkan dapat membawa berbagai perubahan positif pada sektor-sektor kehidupan yang selama ini masih dipandang sebagai kelas kedua, atau bahkan kelas ketiga. Di antaranya, pemerintah harus lebih fokus dalam membangun pertanian karena sektor agraris selama ini menjadi tulang punggung (backbone) bagi penyangga pangan.

Buktinya, jutaan penduduk berprofesi sebagai petani maupun buruh tani. Kebutuhan beras nasional untuk mencukupi pangan sebanyak 240 juta penduduk Indonesia juga masih pas-pasan. Ketidakcukupan suplai dan kebutuhan beras nasional sering kali menjadi pembenar penguasa untuk memberlakukan impor sebagai langkah sangat dilematis bagi masa depan pertanian. Maka perlu diupayakan penggenjotan produksi beras nasional. Salah satunya dengan intensifi kasi lahan di Jawa dan ekstensifi kasi di pulau lain. Minimnya minat generasi muda menjadi petani yang mulai menggejala sejak 16 tahun silam menyebabkan ketersendatan regenerasi petani.

Saat ini, para petani sudah tidak produktif karena memasuki usia senja. Rata- rata usia mereka sudah berada di atas 50 tahun. Kondisi demikian jelas sangat membahayakan masa depan pertanian nasional. Apalagi, perguruan tinggi yang memiliki fakultas pertanian sangat sedikit. Orang-orang tua tersebut tak dapat lagi diharapkan dalam waktu lebih lama lagi untuk mengolah tanah karena sudah semakin renta.

Jika situasi demikian tidak disadari pemerintah, akan ketiadaan tenaga pertanian. Jadi, sekarang dapat dikatakan sebagai darurat pertanian. Harus ada program khusus menggalakkan pertanian agar diminati kaum muda. Generasi muda sekarang tidak tertarik mengolah tanah, ini harus diubah sehingga mereka senang bertani. Motivasi Pemerintahan Jokowi-JK harus mampu memotivasi generasi muda agar terjun ke dunia petani, seperti insentif untuk membuka usaha di bidang pertanian.

Ketidakseriusan pemerintahan Orde Reformasi terhitung sejak dipimpin BJ Habibie, Gus Dur, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono dalam membangun budaya pertanian mengakibatkan “jebloknya” sektor ini. Pertanian harus dijadikan isu untuk dikaji secara akademis (ilmiah) dan empirik (sosial) agar meningkatkan perhatian publik untuk sektor ini. Dibutuhkan pemimpin di lingkungan kementerian pertanian dan kehutanan yang benar-benar memiliki jejak rekam andal. Kesalahan Orde Reformasi, menempatkan para menteri yang sama sekali tidak berlatar belakang bidang pertanian (profesional).

Mereka hanya diangkat berdasarkan pada rekomendasi partai politik. Keberanian Jokowi-JK menempatkan sosok-sosok yang profesional, dari latar belakang pendidikan pertanian-kehutanan sangat penting. Bagian lain yang perlu mendapat perhatian khusus adalah sektor kelautan sebagaimana telah menjadi program utama kampanye Jokowi-JK. Sektor ini cukup strategis untuk disatukan dengan pembangunan sektor pertanian. Pembangunan tol laut akan memaksimalkan fungsi laut sebagai sarana produktif. Sinergi pembangunan darat (pertanian) dan lautan (melalui program tol laut) akan menjadi andalan di masa depan guna memenuhi berbagai kebutuhan masyrakat. Sektor pertambangan, minyak, energi, dan gas yang sangat potensial menjadi “lahan basah” bagi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) harus benar-benar dikendalikan.

Sebab hal itu sebagai potensi luar biasa sumber daya alam dan energi. Kesalahan manajemen atau pengelolaan sektor pertambangan, minyak bumi, energi, dan gas berdampak sistemik pada siklus kehidupan ekonomi. Lonjakan harga bahan bakar minyak (BBM), gas, dan listrik selama Orde Reformasi, sangat berdampak buruk bagi kehidupan penduduk miskin. Data BPS Maret 2014, jumlah penduduk miskin masih di atas 28 juta jiwa, sebuah angka yang sangat tinggi. Makanya, rezim baru harus menempatkan para pemimpin di lingkungan kementerian yang menangani pertambangan, minyak bumi, gas, listrik, dan energi harus orangorang yang berkomitmen tinggi melayani kepentingan publik. BUMN ini harus bisa dikelola untuk menyejahterakan rakyat dan memberikan keuntungan fi nansial bagi kas negara.

Jangan sampai pucuk-pucuknya hanya menjadikan BUMN sebagai pemain yang menggerogoti keuangan negara. BUMN yang merugi harus perlu dievaluasi dan disinergisasikan dengan badan usaha lainnya, termasuk milik daerah (BUMD). Lingkungan lain yang perlu mendapat perhatian utama adalah sumber daya manusia dan teknologi. Sektor ini menjadi sangat vital dalam upaya meningkatkan kompetensi penduduk untuk berkompetisi dengan negara lain. Kompetisi di era globalisasi yang bersifat terbuka dan cenderung liberal- kapitalistis menuntut sumber daya manusia sangat berkualitas, terampil, dan profesional. Pengelolaan berbagai lembaga pendidikan dari TK hingga PT secara profesional adalah kata kunci yang tidak bisa dikesampingkan.

Dengan meningkatkan mutu pendidikan warga, secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak terhadap mutu kesejahteraan dan kualitas hidup bangsa. Publik sangat berharap duet Jokowi-JK menjadi pembuka “jalan emas” menuju negara maju, beradab, dan berkeadilan sosial.

Oleh Supadiyanto

Penulis lulusan pascasarjana Undip, dosen Akindo dan AKRB Yogyakarta.

http://www.koran-jakarta.com/?22712-darurat-sektor-pertanian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar