Minggu, 12 Oktober 2014

VCO Hasil Petani Minahasa

Sabtu,11 Oktober 2014


SEJAK berabad silam, kelapa menjadi kekuatan ekonomi masyarakat di Minahasa, Sulawesi Utara. Perekonomian digerakkan oleh perputaran niaga kopra hingga bungkil kelapa. Oleh Raymond Legi (63), buah kelapa diolah menjadi minyak kelapa murni (”virgin coconut oil”/VCO).
Proses pembuatan minyak kelapa murni bagi Raymond dan istrinya, Saerih, yang berasal dari Indramayu, Jawa Barat, justru menjadi sebuah gerakan untuk menyadarkan masyarakat di daerah Minahasa betapa pentingnya inovasi. Gerakan ini dimulai dengan menggerakkan petani kelapa di daerah Minahasa Selatan, Sulut.

Tak hanya menggerakkan petani kelapa, pasangan suami-istri ini juga gencar mengampanyekan khasiat minyak kelapa murni. Setiap diberi kesempatan memberikan penyuluhan, mereka menyampaikan manfaat minyak kelapa murni yang kandungannya dapat mencegah kanker, kolesterol, dan meningkatkan daya tahan tubuh tersebut.

”Minahasa terkenal sebagai daerah nyiur melambai karena dipenuhi tanaman kelapa. Namun, nyatanya kehidupan petani kelapa belum sepenuhnya sejahtera. Ini karena tidak ada nilai tambah dari produksi mereka,” tutur Raymond saat ditemui Kompas di rumahnya di Kecamatan Tumpaan, Minahasa Selatan, akhir Agustus lalu.

Selama puluhan tahun, petani kelapa di Minahasa hanya berkutat pada pembuatan kopra atau menjual buah kelapa langsung ke pabrik pembuatan kopra yang beroperasi di wilayah Amurang. Petani sering tidak punya posisi tawar ketika harga ditekan oleh pabrik pengolahan kopra. Harga kopra rata-rata Rp 3.000-Rp 5.000 per kilogram ketika disetor ke pabrik kopra. Padahal, jika diolah menjadi VCO, keuntungan yang diperoleh petani jauh lebih besar.

Kondisi ini makin mendorong Raymond, sarjana pertanian dari Universitas Siliwangi, Tasikmalaya, Jawa Barat, memutuskan kembali ke tanah kelahirannya pada 1999. Sebelum pulang kampung, dia adalah manajer di sebuah lapangan golf di Kota Bandung.

Perhatiannya terhadap kelapa baru muncul saat diminta mengurus perkebunan kelapa seluas 187 hektar milik adiknya yang diserang hama. Dari situlah dia menyadari pengolahan kelapa di wilayah Minahasa belum baik. Bekerja sama dengan Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Minsel, dia membagikan ilmu teknologi pertanian kepada petani kelapa di Minahasa.

Membuat minyak murni
Medio 2002, dia dikirim Dinas Pertanian Minsel untuk mengikuti seminar mengenai pembuatan VCO di Yogyakarta. Kesempatan itu digunakan untuk menimba ilmu dari Prof Dr AH Bambang Setiaji, peneliti dan pelopor VCO di Indonesia.

Raymond pun langsung tertarik dengan minyak hasil pemurnian buah kelapa itu dan terus belajar melalui literatur yang diperolehnya. Awal 2004, dia mulai menerapkan pembuatan VCO secara sederhana di rumahnya sendiri dengan menggunakan kelapa dari kebunnya sendiri. Saat itu masih menggunakan alat pemerasan santan manual. ”Awalnya saya buat dari lima hingga 10 kelapa. Gagal-gagal terus. Namun, saya enggak menyerah,” katanya.

Setelah melalui percobaan-percobaan hingga sekitar 200 kelapa, pada 2006, Raymond akhirnya berhasil menjadi orang pertama di Amurang yang memproduksi VCO. Dia pun mendirikan UD Qiara untuk menangani produksi dan pemasaran. VCO yang diproduksinya diberi label Obedsay.

Awalnya, tidak banyak masyarakat yang menaruh minat pada VCO, tetapi Raymond tidak menyerah. Dia pun terus meningkatkan kualitas VCO. Awalnya, Raymond dibantu istri dan tiga kerabatnya mengolah 500 kelapa setiap tiga hari dengan mengoperasikan tiga mesin.

Untuk mendapatkan 1 liter VCO dibutuhkan 10-14 kelapa. Hasil 1 liter VCO setara dengan Rp 25.000. Jika kelapa itu diolah menjadi kopra hanya menghasilkan 2,5 kilogram kopra. ”Dari sisi ekonomi, membuat VCO jelas lebih menguntungkan walau proses pembuatannya lebih capek,” ungkap Raymond.

Untuk meningkatkan produksi minyak kelapa murni, dia membentuk jejaring usaha dengan melibatkan ratusan petani kelapa yang sebelumnya dilatih Raymond. Kebetulan, pada 2008, pemerintah memberikan bantuan belasan mesin pemeras santan kelapa (mesin pres) kepada 13 kelompok tani di Kecamatan Tumpaan. Kelompok-kelompok tani itu kemudian membentuk Koperasi Produsen Narwastu.

Jaringan pemasaran
Namun, ketika petani memulai proses pembuatan VCO, mereka terkendala dalam memasarkan produk tersebut. Raymond pun berupaya mencari pasar VCO ke Pulau Jawa. Ia memanfaatkan jaringan pemasaran kosmetik yang menjadi bisnis ibunya di Bandung. Belakangan, minyak kelapa murni dapat diterima toko-toko kosmetik di Bandung dan Jakarta. Selain aktif ikut pameran di Jawa dan Sulawesi, dia juga mendekati pedagang besar yang memiliki jaringan ke sejumlah toko kesehatan dan apotek di Manado. VCO buatan Raymond juga dikirim ke Korea Selatan melalui pedagang perantara.

Saat ini dalam sebulan, UD Qiara rata-rata mampu memproduksi hingga 1.700 botol VCO dengan omzet minimal Rp 60 juta. Untuk sebotol VCO ukuran 60 mililiter (ml) dihargai Rp 20.000, ukuran 125 ml Rp 35.000, dan ukuran 250 ml Rp Rp 60.000.

Raymond kini menggandeng sejumlah kelompok tani di Amurang dan bersiap mendirikan pabrik VCO di lahan seluas 600 meter persegi.

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/141011kompas/#/20/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar