Jumat, 18 September 2015

Pengelolaan Pangan Mencemaskan

Jumat,18 September 2015

Menarik mencermati data harga komoditas pangan selama 20 bulan terakhir ini. Tahun 2014, harga pangan relatif stabil kecuali untuk cabai dan bawang merah. Selisih harga beras medium rata-rata nasional per kilogram antara yang terendah (Januari 2014) dan tertinggi (Desember 2014) hanya terpaut Rp 567.

Pada tahun tersebut, produksi padi Indonesia menurun 0,63 persen dan Indonesia mengimpor 1,225 juta ton beras. Harga daging sapi juga relatif stabil dengan perbedaan harga terendah (Maret 2014) dan tertinggi (Desember 2014) sebesar Rp 2.890. Hal yang sama juga terjadi pada daging ayam broiler (Kementerian Perdagangan, 2014 dan 2015).

Drama pangan dimulai pada Januari 2015. Hanya dalam tempo relatif singkat, harga beras medium melonjak menjadi Rp 10.375 pada bulan Maret 2015 dari Rp 9.645 pada bulan Januari. Bahkan, di Jakarta, harga beras mencapai Rp 11.217 per kg (Info Pangan DKI, 2015). Kenaikan harga sempat tidak terkendali hingga 30 persen baik untuk beras medium dan premium. Harga kemudian turun karena tertolong oleh panen raya. Mulai Mei, harga meningkat perlahan dan saat ini sudah mendekati puncak harga pada bulan Maret 2015. Diperkirakan harga beras pada bulan September akan melampaui bulan Maret dan terus meningkat hingga akhir tahun ini.

Gejolak harga beras ini sungguh ironis di tengah pernyataan berulang kali Menteri Pertanian bahwa Indonesia pada tahun 2015 ini akan menghentikan impor beras karena terjadi lonjakan produksi padi fantastis 6,64 persen dan surplus 4,7 juta ton gabah kering giling dibandingkan tahun sebelumnya.

Drama beras belum selesai, muncul gejolak harga bawang merah. Harga bawang merah yang turun sedikit pada bulan Februari tiba-tiba melonjak tajam dan mencapai puncaknya pada Juni 2015 sebesar Rp 32.996 per kg atau naik 52 persen. Tidak menunggu waktu lama, dalam tempo dua bulan, harga bawang merah menukik tajam ke bawah dan saat ini lebih rendah dibandingkan harga terendah bulan Februari 2015.

Petani-petani di sentra bawang merah sangat terpuruk karena harga tiba-tiba jatuh menjadi Rp 5.000, bahkan Rp 4.000 per kg, padahal ongkos produksi saat ini mencapai Rp 7.000 per kg. Selain bawang merah, petani tomat juga mengalami penderitaan akibat harga tomat yang jatuh menjadi hanya Rp 200-Rp 400 per kg di beberapa sentra produksi.

Belum selesai dengan beras dan hortikultura, harga daging sapi dan daging ayam ikut berulah. Untuk daging sapi, gejala kenaikan harga sudah tampak sejak Mei 2015, yang naik terus tiap bulan dan mencapai puncaknya pada Agustus 2015.

Di Jakarta, lonjakan tertinggi terjadi pada bulan Juli, yaitu 14,8 persen, dibandingkan bulan sebelumnya. Harga daging sapi rata-rata bulan Agustus 2015 sudah mencapai Rp 115.130 per kg, padahal dua bulan sebelumnya Rp 99.382. Drama daging sapi dilengkapi dengan mogok berjualan para penjual daging sapi di beberapa kota besar dan harga sempat menyentuh Rp 140.000 per kg.

Setali tiga uang dengan harga daging sapi adalah harga daging ayam broiler. Secara nasional, harga daging ayam broiler mulai menanjak naik dari harga terendahnya pada Maret 2015, yaitu Rp 26.817 per kg. Harga melonjak terus pada bulan-bulan berikutnya dan mencapai Rp 33.523 per kg pada Agustus. Di Jakarta, harganya bahkan mencapai Rp 35.400 dan sempat melonjak di atas Rp 40.000 per kg, yang diikuti mogok massal penjual daging ayam di sejumlah kota besar.

Spekulan dan kebijakan pemerintah

Pergerakan harga pangan yang mengkhawatirkan ini menyebabkan masyarakat umum dan petani kecil sama-sama menderita. Nilai tukar petani (NTP) yang merupakan salah satu indikator kesejahteraan petani justru turun tiga bulan berturut-turut pada puncak musim panen, yaitu Maret, April, dan Mei 2015. Ketika panen raya sudah berakhir dan gabah serta beras tidak lagi di tangan mereka, harga melonjak dan ikut mengerek NTP ke atas. Sebagaimana konsumen pada umumnya, petani merupakan net consumer pangan. Saat ini, harga hampir semua pangan pokok stabil tinggi dan cenderung terus menguat hingga akhir tahun, lampu merah bagi masyarakat pada umumnya dan pemerintah pada khususnya.

Menyikapi hal ini, para pejabat selalu menyatakan bahwa gejolak harga pangan tersebut disebabkan ulah spekulan atau mafia pangan. Dalam wacana akademis, spekulan pangan tidak mengarah pada kartel dan upaya menahan stok, tetapi lebih pada spekulasi finansial (Bar-Yam and Lindsay, 2012). Sekitar 40 persen volatilitas harga pangan dalam lima tahun terakhir jika dirunut berakhir di institusi finansial.

Jika demikian, lalu apa penyebab gejolak harga pangan yang mengkhawatirkan ini? Krisis beras pada awal tahun disebabkan stok beras nasional berada dalam posisi terendah selama tiga tahun terakhir ini yang lupa diantisipasi pemerintah. Awal Januari 2015, stok beras nasional hanya 5,5 juta metrik ton, turun dari 7,4 juta metrik ton dua tahun sebelumnya dan 6,48 juta metrik ton setahun sebelumnya (DA Santosa, "Waspada Pangan 2015", Kompas, 10/3). Harga beras yang terus meningkat selama empat bulan terakhir ini lebih disebabkan gangguan produksi dan stok yang tidak memadai, bukan ulah spekulan. Kajian Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) di banyak tempat mengarah pada hal tersebut sehingga produksi tahun ini kemungkinan sama atau bahkan lebih rendah dibandingkan tahun 2014.

Bagaimana dengan daging sapi dan daging ayam? Kenaikan harga daging sapi dan ayam sebenarnya sudah dimulai sejak April 2015. Kenaikan harga daging sapi menyiratkan kelangkaan stok. Justru pada kondisi demikian pemerintah memutuskan memotong kuota impor dari 250.000 ekor menjadi hanya 50.000 ekor pada kuartal III (Juli-September 2015). Akhirnya, harga daging sapi melonjak tidak terkendali dan bertahan tinggi hingga saat ini.

Sejak April 2015, harga jagung terus meningkat, yang menyiratkan gangguan produksi jagung nasional. Ketika produksi jagung mengalami gangguan, pemerintah justru mengambil keputusan mendadak menghentikan kekurangan impor jagung (komponen terbesar pakan ayam) sebesar 1,35 juta ton dengan asumsi seolah-olah akan terjadi peningkatan produksi jagung nasional 1,66 juta ton pada 2015.

Dengan demikian, asumsi yang dibangun pemerintah bahwa penyebab gejolak harga daging sapi dan daging ayam adalah ulah spekulan sangat spekulatif, menyederhanakan persoalan sekaligus upaya melepas tanggung jawab dan menghindar dari kesalahan yang dibuat pemerintah sendiri.

Upaya mengatasi

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pemerintah dalam mengatasi krisis pangan yang akan terjadi. Pertama, desain dan implementasi kebijakan harus betul-betul dilandaskan pada fakta dan data yang akurat. Akurasi juga meliputi peramalan produksi, informasi pasar, dan dampak setiap kebijakan terhadap banyak pihak dan kelompok di masyarakat. Penetapan kebijakan yang sangat mendadak, apalagi tidak disertai dengan data yang akurat, akan mendistorsi pasar dan merusak sistem yang ada.

Kedua, meningkatkan tata kelola stok pangan publik. Tata kelola yang buruk di lembaga yang mengelola stok pangan nasional berkontribusi terhadap volatilitas harga pangan. Negara harus mampu membuat lembaga pangan dengan pengelolaan yang independen dan bebas dari berbagai kepentingan. Lembaga tersebut harus mampu mengelola stok pangan nasional, meliputi waktu dan kuantitas pelepasan stok ataupun pembelian untuk meningkatkan stok.

Ketiga, kerja sama antara sektor publik/pemerintah dan swasta perlu ditingkatkan. Perilaku yang menciptakan ketidakpercayaan dan konflik pemerintah versus swasta justru menyebabkan situasi semakin memburuk dan berkontribusi nyata terhadap gejolak harga pangan (Pinstrup-Andersen, 2015). Jika konflik tersebut terus-menerus terjadi sebagaimana dipertontonkan di masyarakat akhir-akhir ini, stabilisasi harga pangan hanyalah sebuah ilusi.

Keempat, peningkatan kesejahteraan petani kecil dan investasi infrastruktur di pedesaan harus menjadi sasaran besar pembangunan pertanian dan pangan. Kesejahteraan petani yang meningkat akan meningkatkan kegairahan dalam berusaha tani. Peningkatan produksi hanyalah reward dari upaya peningkatan kesejahteraan petani.

Terakhir, semoga dalam situasi pelemahan rupiah dan perekonomian seperti saat ini, pejabat pemerintah lebih bijak dalam mengeluarkan pernyataan ataupun kebijakan dan jauh dari politik pencitraan yang dikemas dalam data dan angka bermasalah. Kita sama-sama berharap bahwa gambaran suram bencana pangan yang menghadang pada akhir tahun dan berlanjut pada tahun 2016 akan berakhir menjadi ilusi belaka.

DWI ANDREAS SANTOSAGURU BESAR IPB; KETUA UMUM AB2TI; MANTAN ANGGOTA POKJA TIM TRANSISI JOKO WIDODO-JUSUF KALLA

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150918kompas/#/8/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar