Kamis, 22 Oktober 2015

Doa Syukur untuk 12 Ton Per Hektar

Kamis, 22 Oktober 2015
Suharyono, Kepala Dusun Sumberan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, memimpin doa dalam upacara wiwit, Rabu (14/10).

Suharyono, Kepala Dusun Sumberan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, memimpin doa dalam upacara wiwit, Rabu (14/10). KOMPAS/THOMAS PUDJO WIDYANTO

Masyarakat Dusun Sumberan, Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, terkesima sekaligus berbahagia. Hasil panen terakhir padi musim kemarau ini mencapai 12 ton gabah kering panen per hektar atau setara 8 ton beras. Itu sungguh angka fantastis untuk warga dusun yang tinggal di kawasan Sungai Boyong yang berhulu di Gunung Merapi tersebut.

Karena itu, terkait dengan peristiwa yang baru pertama kali terjadi ini, Rabu (14/10) petang, warga menggelar acara doa syukur berupa upacara wiwit, yakni upacara tradisi doa syukur atas kelimpahan panen padi.

"Namun, makna wiwit dalam upacara tahun ini maknanya lebih luas lagi. Wiwit, yang berarti awal atau permulaan, merupakan spirit doa sebagai permulaan kesadaran kami untuk melakukan penanaman padi yang lebih terpola," kata Indra yang menjadi motor penggerak berbagai kegiatan dusun itu.

Seluruh warga aktif ikut melaksanakan upacara wiwit. Upacara diawali dengan mengiringkan sesajen berupa ingkung ayam, bunga-bunga, nasi tumpeng dan sebakul padi, serta gunungan yang dibentuk dari sayur, buah, dan tanaman yang tumbuh di Dusun Sumberan. Sesajen ini diiringi prajurit Wirokromo, leluhur dusun itu, menuju tempat ritual di tepian sawah.

Suharyono, Kepala Dusun Sumberan, memimpin kirab mengiringi sesajen sekaligus rais yang memimpin doa. Bau dupa, yang dinyalakan rais yang bersimpuh di tengah pematang sawah, memberikan suasana mistis di persawahan. Dewi Sri, Dewi Padi, sebagaimana doa-doa rais, diharapkan hadir untuk senantiasa memberikan kesuburannya di wilayah Dusun Sumberan.

Pupuk organik

Menurut Indra, keberhasilan peningkatan produksi padi yang mengejutkan itu lebih karena gerakan dan kesadaran masyarakat dusun untuk membangun pertanian lebih baik. Totok Hedi Santosa, aktivis budaya yang juga anggota DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta, menyatakan, masyarakat telah mampu mempersatukan antara ilmu pertanian yang diperoleh dan kesadaran jiwa (local wisdom).

Kondisi itu, menurut Hedi, yang diangkat menjadi penashat untuk kegiatan budaya dan pertanian di Dusun Sumberan, memunculkan peradaban atau perangai baru dalam mengelola pertanian.

Sejak beberapa bulan lalu, menurut Indra, warga Dusun Sumberan dibina untuk membuat pupuk organik berbahan kotoran ternak, terutama sapi. "Pupuk yang kami buat itu digunakan untuk memupuk padi tanaman terakhir ini. Ternyata hasilnya luar biasa, 12 ton per hektar," kata Indra yang juga dosen Sekolah Tinggi Pertanian dan Perkebunan Yogyakarta.

Indra cukup yakin bahwa peningkatan produksi yang menggembirakan itu lebih disebabkan pengaruh pupuk organik. "Dibandingkan dengan yang dulu, sama-sama pada musim kemarau, produksi tidak sebagus ini. Bahkan, pada panen musim hujan pun belum pernah mencapai 12 ton," katanya.

Indra mengungkapkan, panen kali ini dijadikan sebagai momentum titik balik dalam dunia pertanian di Sumberan. Musim hujan mendatang, misalnya, akan dilakukan penanaman padi serentak. Ini tradisi baru karena sebelumnya petani semaunya sendiri menentukan kapan menanam padi dan jenis padi yang ditanam.

Dari luas 30 hektar sawah di Dusun Sumberan, pemilik sawah di lahan seluas 22 hektar menyatakan sepakat menanam padi dengan jenis bibit yang sama secara serentak. "Ini lebih menguntungkan hasilnya daripada yang tidak menanam serentak. Gerakan serentak di Sumberan ini memang kecil. Namun, kalau dusundusun lain menerapkan pola tanam seperti ini pasti swasembada beras benar akan terbukti," kata Suharyono.

Menurut Indra, memang harus ada pionir-pionir untuk menggerakkan kesadaran masyarakat di dusun. Dusun Sumberan bisa memperbaiki kegiatan karena ada sedikit upaya dari Romo Tan yang bermukim di dusun itu.

"Dari kebudayaan, menurut konsep Romo Tan, masyarakat bisa digerakkan. Maka, untuk pusat kegiatan dusun, Romo Tan membangun rumah Jawa berbentuk joglo sembilan tahun lalu," kata Indra.

Joglo itu lantas menjadi pusat kegiatan kesenian, seperti tari dan latihan gamelan Jawa. Rapat-rapat dusun pun diselenggarakan di joglo. Dari kegiatan di rumah joglo itulah, pelan-pelan muncul kesadaran masyarakat untuk membangun harkat hidup mereka.

Kegiatan budaya atau kesenian dapat merangkul masyarakat untuk berkumpul, bukan hanya bicara soal kesenian, melainkan juga pertanian.

"Di dusun ini ada tujuh sumber air yang tak terawat. Ini akan dihidupkan masyarakat dengan menghijaukan lingkungan. Setiap tahun akan diselenggarakan upacara penyelamatan sumber air. Dengan kegiatan budaya semacam itu, lingkungan akan terselamatkan. Lewat budaya, hati masyarakat kita ketuk kesadarannya," kata Indra. (THOMAS PUDJO WIDIJANTO)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/151022kompas/#/22/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar