Selasa, 19 Agustus 2014

Kegagalan Kebijakan Pangan

Senin, 18 Agustus 2014

Badan Pusat Statistik (BPS) melansir data impor yang sangat mengejutkan. Dalam kurun 10 tahun, impor produk pertanian Indonesia melonjak hingga empat kali lipat. Tahun 2003, impor produk pertanian US$ 3,34 miliar, namun pada 2013 sudah menyentuh US$ 14,9 miliar.

Deputi Bidang Statistik Produksi BPS, Adi Lumaksono mengatakan, negara mengeluarkan banyak uang untuk mengimpor produk-produk pertanian dari luar negeri. “Hal ini tentu memprihatinkan. Banyak mata uang dolar yang dikeluarkan untuk membeli produk pertanian dalam negeri," ucap Adi, pekan lalu.

Ketua Serikat Petani Seluruh Indonesia (SPI), Henry Saragih menyatakan, lonjakan drastis impor menjadi warisan masalah kebijakan pangan yang sangat buruk bagi pemerintahan baru. Ia menegaskan, sebagai negara pertanian, seharusnya pemerintah membuat kebijakan yang berpihak ke pertanian, bukan justru mengabaikannya.

“Namun yang terjadi, pemerintah sekarang mewariskan begitu banyak masalah pangan, mulai konflik agraria, penyusutan tenaga kerja pertanian, sampai menurunnya kesejahteraan petani. Ini bentuk kegagalan kebijakan pangan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY),” tutur Henry.

Ia menekankan, pemerintah dalam 10 tahun terakhir sangat mengagungkan kehebatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Nyatanya, dalam pertumbuhan itu ada banyak ketidakadilan, kemiskinan, dan kesenjangan pendapatan yang semakin tinggi.

Apalagi, pertanian tidak lagi dianggap sebagai sumber kesejahteraan bagi rakyat. Lapangan pekerjaan di bidang pertanian semakin menurun. Pertanian yang berkembang justru bukan tanaman pangan, melainkan pertanian untuk kebutuhan ekspor. “Pemerintah mengorbankan pertanian dengan melaksanakan sistem ekonomi pasar,” ujar Henry.

Impor Beras
Kebijakan pemerintah terbaru adalah memberikan kuota impor beras kepada Bulog sebanyak 500.000 ton. Impor tersebut  akan dipergunakan pemerintah untuk memenuhi stok cadangan beras nasional. Dari kuota tersebut, Perum Bulog telah merealisasikan impor dari Vietnam 50.000 ton, untuk menjaga stabilitas harga beras di dalam negeri yang mulai naik.

Berdasarkan data, Perum Bulog mendapatkan alokasi 500.000 ton, terdiri atas beras medium dengan tingkat pecah 25 persen sebanyak 300.000 ton dan beras premium dengan tingkat pecah 5 persen sebanyak 200.000 ton.

Impor diberikan karena berdasarkan data BPS, selama semester I/2014 diperkirakan 69,87 juta ton GKG atau menurun 1,41 juta ton atau 1,98 persen dibandingkan pada 2013. Penurunan produksi tersebut diperkirakan terjadi karena penurunan luas panen seluas 265.310 hektare atau 1,92 persen dan produktivitas 0,03 kuintal per hektare atau 0,06 persen.

Direktur Utama Perum Bulog, Sutarto Alimoeso sebelumnya menyatakan, stok beras Bulog hingga Juni 2014 mencapai 1,9  juta ton. Ini lebih rendah dari stok yang seharusnya 2 juta ton. Ketahanan stok ini cukup untuk sekitar tujuh bulan ke depan. Menurutnya, posisi stok ini cukup serius memengaruhi harga beras di dalam negeri.

"Posisi ini mirip 2010, harga menjadi tidak stabil. Berdasarkan kondisi ini, tampaknya memang harus impor," ujar Sutarto.

Menurut Henry, rujukan data untuk impor masih perlu diperdebatkan sebab sering kali terjadi benturan perbedaan data antara Kementerian Pertanian (Kementan) dengan BPS.  Hal ini dikatakannya menjadi prioritas yang harus diambil pemerintah mendatang untuk mengaudit data pertanian.

“Konsumsi sebenarnya berapa, luas lahan produksi. Ini harus dikerjakan pemerintah baru agar bisa mengambil kebijakan yang lebih baik,” tutur Henry.

Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Winarno Tohir mengungkapkan, pihaknya tidak heran dengan data impor yang dilansir BPK. Pemerintah begitu mudah mengeluarkan kebijakan imor setiap kali ada ancaman inflasi.

“Argumen inflasi dipakai sebagai senjata untuk impor. Akibatnya, inflasi pangan dimanfaatkan pelaku usaha untuk mengimpor sebanyak-banyaknya prouk pertanian,” ucap Winarno.

Keinginan mengimpor dengan meningkatkan produktivitas sudah tidak sama. Petani mundur karena tidak mampu bersaing dengan impor,  terutama dalam harga. Sektor pertanian tergerus karena modal, akses kredit, teknologi yang terbatas, serta musim yang bersifat anomali. “Pertanian bukan lagi sumber kesejahteraan bagi petani,” katanya.

Ia mengingatkan, jika pemerintah membiarkan kondisi ini, pertanian akan lenyap. Winarno menyebutkan. tanda-tanda semakin hilangnya pertanian makin nyata, terlihat  dari pengenaan PPN untuk produk-produk pertanian. “Bagaimana mungkin produk pertanian segar, seperti tomat, wortel, sayur-sayuran dikenai PPN? Saya tidak habis pikir,” tutur Winarno.

Data BPS memaparkan, lonjakan impor tersebut karena tidak sebandingnya produktivitas dibandingkan kebutuhan konsumsi. Ironisnya, luas lahan pertanian menurun hingga 5 juta hektar lebih, menurun 16,32 persen dari 2003. Tercatat seluas 31,2 juta hektare pada 2003 menjadi 26 juta hektare pada 2013.

Upaya peningkatan produktivitas pertanian di dalam negeri juga tidak diimbangi pola konsumsi masyarakat yang semakin cenderung impor. “Pemerintah seharusnya gencar mempromosikan produk pertanian dalam negeri, baik di toko-toko ritel maupun lainnya. Jadi, selera masyarakat akan kembali beralih mengonsumsi produk pertanian dalam negeri,” ujar Bustanul.

Adalah menjadi tantangan, mengembalikan kepercayaan petani untuk kembali yakin pertanian adalah sumber kesejahteraan. Untuk ini, diperlukan kebijakan yang mengembalikan kedaulatan pangan. Mau impor selamanya?


Sumber : Sinar Harapan
http://sinarharapan.co/news/read/140818122/kegagalan-kebijakan-pangan-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar