Jumat, 15 Agustus 2014

Swasembada Pangan Sebatas Wacana

Kamis, 14 Agustus 2014

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Oktober 2012 mencanangkan kebijakan swasembada produksi pangan lima komoditas, yakni beras, gula, jagung, kedelai, dan daging sapi. Hingga menjelang masa kepemimpinannya habis kebijakan tersebut masih sebatas wacana.

Badan Pusat Statistik mencatat pada 2003 impor produk pertanian mencapai US$3,34 miliar (sekitar Rp39,3 triliun).Pada 2013, nilai impor produk pertanian sudah mencapai US$14,9 miliar (sekitar Rp175,29 triliun), naik empat kali lipat.

Sasmito Hadi Wibowo, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, mengatakan melonjaknya nilai impor tersebut diakibatkan tingkat konsumsi masyarakat Indonesia yang naik, diiringi dengan semakin banyaknya turis mancanegara yang datang ke tanah air.

Di sisi lain, produksi dalam negeri yang hanya tumbuh normal. Salah satu yang mendorong lonjakan tersebut adalah sayuran.

Melihat data BPS, nilai impor sayuran pada 2013 sebesar US$640,76 juta. Nilai ini naik 27,24% dibanding tahun sebelumnya yang sebesar US$503,59 juta.

Program swasembada pangan itu awalnya mensyaratkan pembuatan undang-undang dan peraturan pemerintah yang berpihak kepada petani dan lahan pertanian. Yang kedua pengadaan infrastruktur tanaman pangan seperti pengadaan daerah irigasi dan jaringan irigasi pencetakan lahan tanaman pangan khususnya padi, jagung, gandum, kedelai, serta akses jalan ekonomi menuju ke lahan tersebut.

Yang ketiga, penyuluhan dan pengembangan terus menerus untuk meningkatkan produksi, baik pengembangan bibir, obat-obatan, teknologi maupun sumber daya manusia petani. Yang keempat, melakukan diversifikasi pangan, agar masyarakat tidak dipaksakan untuk bertumpu pada satu makanan pokok saja seperti nasi.

Mengapa Gagal?

Dalam prakteknya, sudah tiga tahun program tersebut dijalankan tidak menunjukkan hasil yang memuaskan.

Deputi Bidang Statistik Produksi BPS, Adi Lumaksono, mengatakan ada beberapa penyebab mengapa swasembada pangan tersebut belum tercapai.

“Salah satunya seperti soal pendistribusian. Contohnya kasus daging sapi, di mana sebenarnya Indonesia memiliki sentra penghasil sapi yang ada di Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Tetapi tidak didukung dengan angkutan ternak yang memadai. Karena tidak mau ambil pusing, pemerintah cari cara mudahnya ya dengan impor,” katanya.

Penyebab lainnya adalah pemahaman tentang diversifikasi pangan. Masyarakat yang ada di kawasan timur Indonesia yang pada umumnya mengkonsumsi sagu malah didorong untuk makan beras.

Selanjutnya, terkait masalah daya saing, impor produk pertanian subsektor hortikultura dari Thailand yang cukup besar. Hal inilah yang membuat konsumsi pangan di Indonesia terus meningkat, sehingga kebijakan swasembada pangan ini menjadi ambigu di kalangan masyarakat.

Beberapa upaya telah dilakukan pemerintah untuk menekan impor, namun upaya-upaya tersebut justru semakin menekan petani bukan melindungi petani.

Salah satu contoh pemerintah mencoba memperbaiki struktur pajak di Indonesia lebih diperketat. Namun struktur pajak di Indonesia belum mampu menjadi instrumen untuk terciptanya ketahanan pangan nasional. Sebaliknya, pajak tersebut justru memberikan keluasaan bagi masuknya produk pangan impor sehingga melemahkan daya saing produk pangan dalam negeri.

Kebijakan Baru

Pemerintahan baru diharap mampu mengatur kebijakan-kebijakan baru untuk mengatasi konsumsi pangan masyarakat yang terus meningkat dan meningkatkan produksi pangan lokal.

“Terutama menteri pertanian nanti harus bisa mengendalikan dan meningkatkan produksi dalam negeri untuk menopang konsumsi masyarakat. Selain itu juga mengurangi ketergantungan impor,” kata Sasmito.

http://www.geotimes.co.id/politika/politika-news/kebijakan/8073-swasembada-pangan-sebatas-wacana.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar