Sabtu, 9 Agustus 2014
Penggunaan Pestisida Sudah Melampaui Batas
BANJARNEGARA, KOMPAS — Sekitar 90 persen petani sayuran di Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, terpapar racun pestisida. Dampak paparan racun pembasmi hama itu sangat serius karena dapat memicu karsinogenisitas, yaitu kemampuan menghasilkan kanker, kerusakan hati, gangguan reproduksi, dan kerusakan saraf.
Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara Siti Haryati, Jumat (8/8), mengatakan, hasil pemeriksaan terhadap petani sayur di Kecamatan Batur, Dataran Tinggi Dieng, beberapa waktu lalu, menyebutkan, dari 217 petani sayur, hanya 15 orang (6,9 persen) dinyatakan normal. Selebihnya menderita keracunan berat 5 orang (2,3 persen), keracunan sedang 120 orang (55,3 persen), dan keracunan ringan 77 orang (35,5 persen).
Keadaan ini diyakini mencerminkan kondisi petani Dieng keseluruhannya, sekitar 1.500 orang. ”Ini memprihatinkan. Penggunaan pestisida sudah kelewat batas dan membahayakan petani pengguna. Efek keracunan tergantung dari formulanya dan akan muncul jika penggunaannya dalam waktu lama,” kata Siti.
Pestisida itu masuk ke tubuh petani dengan berbagai cara, seperti pernapasan, kulit, hidung, dan mulut. Jika di lambung masih bisa dikeluarkan, tetapi kalau masuk ke darah akan membentuk ikatan di dalamnya.
Sulthoni (38), petani kentang di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, menuturkan, petani menyemprot pestisida secara berlebihan karena khawatir pestisida dan pupuk kimia yang diberikan melalui penyemprotan akan hilang terbawa air hujan. Dia mencontohkan, saat musim kemarau, penyemprotan bahan kimia, baik anti hama maupun obat penyubur, dilakukan seminggu sekali. Namun, ketika hujan datang, penyemprotan dilakukan 4-5 kali seminggu.
Masih diremehkan
Sulthoni mengatakan, untuk tanaman kentang seluas 3,5 hektar miliknya berusia 40 hari dibutuhkan sekitar 1.000 liter pestisida untuk sekali semprot. Padahal, pada akhir 1990-an, takarannya hanya 500-600 liter. ”Tanahnya sudah tidak mampu dengan dosis yang dulu. Hasilnya jelek. Kalau ditambah, baru produksinya lumayan,” katanya.
Berdasarkan pantauan Kompas, dalam penyemprotan, petani tidak memperhatikan bahaya bahan kimia pada tubuh jika sampai terisap. Mereka tak menggunakan pelindung hidung atau masker.
Eko Witarso (45), petani di Desa Karangtengah, Batur, mengatakan, petani kentang sebenarnya sudah tahu jika pestisida berbahaya bagi kesehatan. ”Keracunan itu hampir semua petani pernah mengalami. Mual-mual, muntah, pusing, dan mata berkunang-kunang. Tetapi bagaimana lagi. Kalau enggak begitu, enggak panen,” kata petani yang sudah menanam kentang selama 20 tahun.
Eko bahkan sempat dirawat di puskesmas setempat karena keracunan pestisida. Namun, dia tak kapok. ”Sekarang kalau ingat pakai masker. Semua petani pasti ada flek (paru-paru) atau gangguan pernapasan,” ujarnya.
Mudasir, Ketua Kelompok Tani Dieng Perkasa yang aktif menyosialisasikan pertanian organik, mengatakan, akibat pola penanaman yang tidak memperhatikan kaidah konservasi, termasuk penggunaan pestisida berlebih, produksi kentang di Dieng terus menurun. Pada akhir 1990- an masih 30 ton per hektar, tetapi kini maksimal 12-14 ton per hektar. Bibit 1 kg kentang yang dulu bisa dipanen 20 kg kini 6-7 kg.
Kini 7.758 hektar dari total 10.000 hektar lahan di Dieng kritis. Rinciannya, 4.000 hektar di Wonosobo dan sekitar 3.700 hektar di Banjarnegara. Erosi tanah seluruh kawasan pertanian di Dieng 4,5 juta ton per tahun.
Kentang dari Dieng, misalnya, kian sedikit lolos ekspor karena ditolak akibat kandungan pestisidanya terlalu tinggi.
Mengutip data Organisasi Buruh Internasional, Sekretaris Daerah Banjarnegara Fahrudin Slamet Susiadi mengatakan, 14 persen pekerja di sektor pertanian di seluruh dunia terkena bahaya pestisida dan 10 persen di antaranya terpapar bahaya yang fatal. ”Ini termasuk petani kentang di Dieng yang sangat tergantung dari pestisida kimia dalam mengolah lahannya,” ujarnya. (GRE)
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/140809kompas/#/22/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar