Rabu, 27 Agustus 2014

Konsumsi & Impor Beras RI Tentukan Cadangan Dunia

Rabu, 27 Agustus 2014

JAKARTA – Kenaikan konsumsi dan impor beras Indonesia dinilai sudah sangat mengkhawatirkan. Bahkan, akibat kebergantungan yang tinggi terhadap impor beras, Indonesia kini menjadi importir terbesar yang menentukan posisi pasokan beras dunia. Tahun ini, volume impor beras Indonesia diperkirakan antara 500 ribu–1,5 juta ton. Dan, pada pertengahan bulan ini, Badan Urusan Logistik (Bulog) telah mendatangkan 50 ribu ton beras dari Vietnam.

Fenomena ini menyebabkan Indonesia sulit keluar dari jebakan impor pangan karena program diversifikasi pangan yang seharusnya diarahkan kepada jagung, ketela, dan sorgum gagal akibat diabaikan pemerintah. Diversifikasi pangan justru mengarah pada terigu. Rata-rata impor pangan Indonesia kini mencapai 110 triliun rupiah per tahun.

Akibatnya, kebergantungan pada impor pangan menyebabkan rakyat Indonesia menjadi celaka dua kali, yakni bukan saja menjadi importir terbesar beras dunia, tetapi juga menjadi importir terbesar terigu. Kenyataan ini sangat berbahaya bagi perkembangan pertanian nasional karena terigu yang tidak bisa diproduksi di Indonesia telah menjadi makanan pokok.

Demikian diungkapkan Guru Besar Sosial Ekonomi Pertanian UGM, Yogyakarta, Dwidjono Hadi Darwanto, ketika dihubungi, Selasa (2/8). Dia memaparkan bahwa pola fluktuasi ketersediaan beras dunia hampir mirip dengan fluktuasi kebutuhan impor Indonesia.

“Impor Indonesia, menurut penelitian yang saya lakukan, berkontribusi 30 persen terhadap fluktuasi harga dunia. Jadi, bukan pasokan kita yang memengaruhi fluktuasi ketersediaan dan harga beras dunia, tapi permintaan kita. Jadi, impor Indonesia sangat menentukan ketersediaan dunia. Misalnya, Indonesia bilang akan impor tahun depan, harga di pasaran dunia langsung naik,” jelas Dwidjono.

Kondisi seperti itu, menurut Dwidjono, sangat mengkhawatirkan karena pasokan beras Indonesia sangat bergantung pada stok dunia yang tipis. Untuk itu, seharusnya pemerintah berpikir bagaimana meningkatkan produksi nasional, bukan malah terus memfasilitasi impor.

“Yang pertama yang bisa ditempuh adalah peningkatan sarana-prasarana. Sekitar 14 persen faktor produktivitas ditentukan oleh ketersediaan irigasi. Padahal, irigasi kita lebih dari 56 persen rusak. Dan beberapa tahun ini tidak ada perbaikan.”

Sementara itu, di sisi petani, lanjut Dwidjono, untuk saluran tersier yang langsung ke lahan petani juga rusak parah. Padahal, pemerintah telah menyerahkan perawatannya kepada petani sehingga hal ini makin memberatkan petani. “Bagaimana petani bisa maju kalau beban makin berat,” tegas dia.

Selanjutnya, teknologi petani juga tidak pernah diperhatikan pemerintah. Petani bisa memproduksi pupuk organik, tetapi pemerintah justru memberikan subsidi kepada pabrikan pupuk organik. Padahal, kebutuhan pupuk organik di masing-masing daerah berbeda sesuai dengan kondisi tanahnya masing-masing.

“Tetapi dengan satu pabrikan yang disubsidi pemerintah, semua daerah diberi pupuk yang sama,” ujar Dwdjono.

Angka ramalan satu (Aram I) produksi padi 2014 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal Juli 2014 menyebutkan produksi padi pada 2014 diperkirakan 69,87 juta ton, atau turun 1,41 juta ton (1,98 persen) dibanding produksi pada 2013.

Anjloknya produksi diperkirakan karena penurunan luas panen dan produktivitas masing-masing sebesar 265,31 ribu hektare (1,92 persen) dan 0,03 kuintal per hektare (0,06 persen).

Aram I juga memberi konfirmasi target ambisius pemerintah untuk mewujudkan surplus beras 10 juta ton pada tahun ini mustahil tercapai. Soalnya, berdasarkan hitung-hitungan pemerintah, surplus beras 10 juta ton hanya bisa direngkuh bila produksi padi mencapai 76,57 juta ton.

Kurang Komitmen

Sementara itu, pengamat ekonomi pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Rina Oktaviani, menambahkan pemerintah saat ini kurang memiliki komitmen politik yang tinggi bagi peningkatan usaha pertanian. Akibatnya, petani tidak dapat berkembang. Padahal, semua konsep pengembangan pertanian sebenarnya sudah ada, tinggal bagaimana komitmen untuk mengimplementasikan. Itu masih sulit ditemukan,” jelas dia.

Menurut Rina, sesungguhnya konsep strategis pertahanan nasional itu bukan semata terlihat dari modernisasi alat utama sistem persenjataan, tapi bagaimana sebuah bangsa bisa makan sendiri, bukan bergantung pada bangsa lain. “Memang tidak ada negara yang tidak impor pangan. Tapi, kalau sudah lebih dari 40 persen, itu sangat berbahaya,” ungkap dia.

Sementara itu, janji presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) untuk mencetak sawah 1 juta hektare per tahun diharapkan jangan hanya sebatas wacana yang bagus, tapi tidak menjadi kenyataan.

Apalagi, kabar yang beredar menyebutkan bahwa Kementerian Kehutanan akan mengalihkan 10 juta hektare kawasan hutan menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI). Luas HTI ini hampir sama dengan luas gabungan 3 provinsi, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur atau sedikit lebih luas dari Provinsi Papua Barat. Realisasi kebijakan yang seketika dinilai sulit dilaksanakan sehingga aturan itu disinyalir hanya sebagai bagi-bagi jatah di masa transisi pemerintahan. YK/ers/WP

http://www.koran-jakarta.com/?18868-konsumsi-impor-beras-ri-tentukan-cadangan-dunia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar