Jumat, 29 Agustus 2014

SUBSIDI BBM KEBIJAKAN POPULER

Jumat, 29 Agustus 2014

SIAPA bilang keputusan menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi adalah kebijakan tak populer. Langkah rasional menjadi langkah populer jika ditujukan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat. Yang penting, presiden sendiri yang mengumumkan dan menjelaskan secara jujur dan gamblang mengenai program yang menyejahterakan rakyat itu.

Selama ini anggapan yang jamak bahwa menaikkan harga BBM bersubsidi adalah kebijakan tak populer. Sebab, langkah ini akan memicu gejolak sosial, menaikkan angka kemiskinan, dan biaya hidup meningkat alias inflasi. Dijamin langkah ini menjadi komoditas politik paling empuk.

Paradigma tersebut akhirnya menjadi bayangan ketakutan para pemimpin. Ketakutan ini sejujurnya beralasan sepanjang realokasi anggaran subsidi BBM tidak benar-benar tertuju ke jantung-jantung beban rakyat, seperti kesehatan, pendidikan, kemiskinan, transportasi, dan infrastruktur dasar.

Paradigma ”kenaikan harga BBM bersubsidi tak populer” menyebabkan solusi persoalan subsidi BBM yang sudah jelas dan final dari nalar ekonomi selalu tersesat di lorong politik. Alhasil, persoalan menjadi berlarut-larut hingga menyebabkan komplikasi perekonomian yang luas dan dalam.

Paparan soal komplikasi tersebut sudah terlalu banyak dikemukakan. Intinya, besarnya subsidi BBM merugikan perekonomian Indonesia, merugikan rakyat.

Pemangku kepentingan juga sudah paham solusi mengatasi subsidi, yakni dengan menaikkan harga BBM bersubsidi. Kini saatnya mengambil tindakan, bukan lagi berwacana atau membuat rekomendasi. Ketakutan mengambil solusi semata-mata dikonstruksi oleh paradigma lawas tersebut.

Karena itu, obat generiknya adalah mendekonstruksi paradigma ”tidak populer itu”, terutama mulai dari presiden. Paradigma baru itu adalah menaikkan harga BBM bersubsidi adalah langkah populer. Sebab, menaikkan harga BBM bersubsidi akan menciptakan ruang fiskal yang bisa membiayai berbagai program populer. Setiap kenaikan harga BBM subsidi Rp 1.000 per liter akan memberikan tambahan ruang fiskal Rp 48 triliun.

Tidak disangkal bahwa setiap kenaikan harga BBM subsidi Rp 1.000 per liter juga akan menambah inflasi 1,2 persen. Namun, masyarakat miskin yang akan paling merasakan dampak inflasi bisa diberi insentif berupa bantuan langsung tunai selama tiga bulan sebagaimana terjadi selama ini. Pemerintah bersama Bank Indonesia juga bisa ketat mengendalikan inflasi agar tidak liar.

Katakan, presiden menaikkan harga BBM subsidi Rp 2.000 per liter. Jika ditambah dengan realokasi belanja kementerian dan lembaga negara yang masih boros serta peningkatan penerimaan negara, tak mustahil akan ada tambahan ruang fiskal sedikitnya Rp 200 triliun. Dana tambahan itu bisa untuk membuat berbagai program populer.

Apakah membangun puskesmas tak populer? Apakah membangun pelabuhan dan bandar udara tak populer? Apakah mengalokasikan dana desa separuh dari amanat undang-undang pada 2015 tak populer? Apakah membangun rumah rakyat tak populer. Apakah memberikan subsidi langsung kepada petani dan nelayan tak populer?

(FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/140829kompas/#/21/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar