Jumat, 17 April 2015

Impor Gula Tanpa Kendali Hambat Swasembada

Jumat, 17 April 2015

JAKARTA - Kebijakan impor gula rafinasi tanpa kendali saat panen tebu di Tanah Air dinilai bakal menjegal upaya swasembada pangan yang dicita-citakan pemerintah dan melanggengkan kebergantungan pada pangan impor yang berpotensi mengancam ketahanan nasional. Merembesnya gula impor ke pasar rumah tangga membuat harga jatuh sehingga merugikan petani, sekaligus meredupkan semangat mereka untuk bercocok tanam.

Demikian dikemukakan oleh Ekonom Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Suharto, saat dihubungi, Kamis (16/4). Suharto menyoroti keputusan pemerintah mengimpor gula rafinasi hingga sekitar 1 juta ton baru-baru ini, di saat petani tebu saat ini memasuki musim panen raya.

“PR (pekerjaan rumah) pemerintah justru harus membuat produksi gula di Tanah Air meningkat, menambah petani tebu, menambah luas lahan. Itu bisa dilakukan kalau petani semangat, petani untung, tidak dibuat rugi terus oleh impor. Masa 300 juta penduduk mengandalkan makanan dari impor? Ini bahaya sekali ini,” kata Suharto.

Hal senada dikemukakan Ketua Asosiasai Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Sumitro Samadikoen yang dihubungi secara terpisah. Sumitro mengungkapkan ada upaya sistematis untuk mengendurkan semangat petani tebu melalui penurunan pendapatan akibat jatuhnya harga di pasar. Hal ini terjadi karena pemerintah menetapkan harga patokan tidak membandingkan dengan komoditas lainnya. “Akibatnya harga gula rendah sehingga membuat para petani enggan menanam tebu,” ujar dia.

Sebelumnya dikabarkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta untuk melakukan upaya pencegahan dan penindakan atas potensi tindak pidana korupsi pada impor gula mentah atau rafinasi sebanyak 1 juta ton di saat musim panen tebu tiba.

Langkah KPK itu merupakan amanat undang-undang, guna melindungi kejahatan terhadap petani, sekaligus kejahatan ekonomi tersebut.  Pasalnya, impor gula secara masif tersebut membuat harga gula jatuh sehingga merugikan dan memiskinkan jutaan petani, dan sebaliknya hanya menguntungkan segelintir importir dan pemburu rente yang berkolusi dengan oknum pejabat untuk mendapatkan kuota impor gula rafinasi tersebut.

Semestinya, pemerintah berpihak kepada kepentingan petani, dengan membeli seluruh gula petani Indonesia lebih dahulu dengan harga yang terbentuk sebelum impor dilaksanakan. Selain itu, petani pun berhak menuntut menteri yang memberikan izin impor gula dan menuntut pertanggungjawaban secara hukum jika pada kenyataannya gula rafinasi tersebut merembes ke pasar rumah tangga.

“Kebijakan impor pangan di saat musim panen adalah kejahatan terhadap petani. Kebijakan itu melawan visi Nawa Cita Presiden Joko Widodo. Sayangnya keputusan impor itu justru melibatkan elit istana,” kata pengamat pertanian HS Dillon. (Koran Jakarta, 16/4)

Terkait dengan harga gula, berdasarkan perhitungan APTRI, harga gula seharusnya mencapai 1,5 kali harga beras. Karena kuantum produksi beras dibanding luas lahannya mencapai 1,5 kali dari kuantum produksi gula.

Sumitro mencontohkan jika satu hektare (ha) lahan bisa menghasilkan sekitar 5 ton gula, maka luas lahan yang sama bisa menghasilkan 7,5 ton beras. Oleh sebab itu, harga gula berbanding terbalik dengan kuantum beras. Makanya, jika harga gula berada di bawah harga beras, tidak ada lagi petani yang mau menanam tebu. Sementara itu kebutuhan gula juga terbilang kecil, sekitar sepersepuluh dari kebutuhan beras. Sehingga seharusnya kenaikan harga antara 1.000 hingga 2.000 rupiah per kg tidak berpengaruh terhadap konsumen.

“Itu bukan harga yang mahal, tetapi menjadi perlindungan kepada petani tebu agar bisa setara dengan petani komoditas lainnya. Kecuali jika rendemen tadinya 7 persen menjadi 10 persen,” kata Sumitro.

Dia berharap pemerintah menaikkan harga patokan petani  (HPP) gula menjadi 11.765 rupiah kg dengan tingkat rendemen maksimal 7 persen. Peningkatan HPP tersebut bertujuan untuk mengamankan harga. “Yang jelas HPP kita ini masih diperlukan sebagai pelindung agar pendapatan petani ini terjaga. Kalau nanti petani rugi terus, nggak akan nanam tebu lagi. Untuk itu HPP merupakan suatu komponen yang saat ini harus menjadi perhatian pemerintah kita,” ujar Sumitro.

Lindungi Petani

Sedangkan pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, Karyadi Mintaroem, menilai rencana petani menggugat pemerintah dalam hal ini Kementrian Perindustrian dan Perdagangan tekait impor gula rafinasi di saat masa panen tebu sudah benar. "Kalau niat pemerintah melindungi petani harusnya tidak dilakukan impor gula. Jadi, sudah sewajarnya petani menggugat karena mereka dirugikan. Pakai logika biasa saja, saat panen kok malah impor," tutur dia.

Karyadi menduga pemilihan waktu impor gula industri yang bersamaan dengan masa panen tebu mengandung tujuan tertentu. "Tentu ada udang dibalik batu. Sudah bukan rahasia pasar kita bukan dikuasai oleh produsen, tetapi mafia-mafia pedagang yang mempermainkan harga," ungkap dia.YK/SB/WP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar