Kamis, 23 April 2015

Maju Remuk, Mundur Pun Bonyok

Kamis, 23 April 2015

Nasib petani padi di negeri ini tidak pernah enak. Mereka ibarat roti tumpuk yang ditekan dari kanan-kiri. Ibaratnya nasib mereka maju babak belur, mundur pun hancur.

Mereka tidak pernah menikmati manisnya harga gabah menjelang panen, dan gurihnya harga saat terjadi lonjakan harga beras hingga Rp 11.000 per kilogram. Mereka tetap menjadi bagian dari masalah, dan cerita sedih petani gurem maupun menengah di sektor tanaman pangan negeri ini.

Simak saja berita yang dilansir oleh berbagai media cetak maupun elektronik pada Maret 2015 mengenai keresahan pemerintah yang tak mampu mengendalikan lonjakan harga beras di pasaran. Bahkan tersirat upaya keras Presiden Joko Widodo untuk menurunkan lonjakan harga beras yang menembus Rp 10.000 per kilogram, dengan melakukan operasi pasar.

Namun sayangnya saat momentum harga beras begitu 'gurih', petani tidak menikmatinya. Mereka tak lagi memiliki gabah untuk digiling menjadi beras. Komoditas itu sudah lepas dari tangan petani dan dikuasai oleh para tengkulak, pengusaha penggilingan padi, pedagang beras, para cukong di pasar induk beras, atau malah Badan Urusan Logistik (Bulog).

Begitu akhir Maret hingga pertengahan April memasuki masa panen raya, harga gabah kering sawah (GKS) atau panen (GKP) melorot dibawah harga pembelian pemerintah (HPP). Hasil panen petani seperti sudah menjadi bagian pelik masalah di republik ini. Harga GKP tak pernah mendekati patokan HPP. Harga GKP hanya berkisar Rp 3.400-Rp 3.500 per kilogram, masih dibawah HPP GKP sebesar Rp 3.700 per kilogram.

Kini pasca panen, mereka mulai memasuki musim tanam April-September. Namun mereka kembali dihantui soal kekurangan pupuk bersubsidi. Padahal harapan mereka adalah mendapatkan kemudahan sarana produksi pangan agar bisa menekan mahalnya biaya produksi. Petani tetap saja dirundung malang dan hidup dalam kepasrahan menerima nasib.

Cerita para petani

Simak saja cerita para petani di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, yang ditemui awal April lalu, mengeluhkan kekurangan pupuk bersubsidi. Kosongnya stok pupuk di tingkat pengecer mengganggu aktivitas persiapan musim tanam selanjutnya. Hal ini jika tidak ditangani segera bisa mengakibatkan keterlambatan pemupukan pada sebagian tanaman yang masih ada di sawah.

Suratman (52), petani di Desa Tirto, Kecamatan Salam, mengatakan, kelangkaan pupuk, terutama urea, sudah berlangsung selama dua minggu terakhir. "Banyak pengecer pupuk di Kecamatan Salam dan Ngluwar mengatakan, saat ini mereka sedang kehabisan stok urea," ujarnya, Jumat (10/4).

Saat ini, Suratman membutuhkan setidaknya 195 kilogram urea. Sebanyak 75 kilogram untuk 1.000 meter persegi tanaman jagung miliknya yang berusia 1,5 bulan, dan 120 kilogram untuk stok persiapan musim tanam padi yang akan dimulainya sekitar satu bulan mendatang.

Untuk kebutuhan menanam padi sengaja disiapkan sejak jauh-jauh hari. Ia mencoba membeli pupuk dari sekarang dengan harapan bisa mendapatkan pupuk secara bebas dari pengecer di mana pun, dan dalam jumlah berapa pun. "Di puncak musim tanam, biasanya volume pembelian pupuk per orang akan dibatasi. Petani hanya diperbolehkan membeli di toko di lingkup sekitar desa tempat tinggalnya saja," ujarnya.

Musim tanam diperkirakan dimulai pada awal Mei mendatang. Ketika banyak orang mulai menanam padi maka volume pembelian urea akan dibatasi 25 kilogram per petani. Padahal, untuk satu kali musim tanam kebutuhan urea per 1.000 meter persegi sawah mencapai 50-60 kilogram urea. Suratman memiliki sawah seluas 2.000 meter persegi.

Hal serupa juga diungkapkan oleh Sugeng (50), petani di Desa Mangunsuko, Kecamatan Dukun, yang memiliki 2.000 meter persegi lahan tanaman padi yang kini berumur 1,5 bulan. Kelangkaan urea, menurut Sugeng, sudah terjadi selama satu bulan terakhir. "Setiap kali datang kepada pengecer dan ingin membeli urea, saya diminta untuk memesan terlebih dahulu dan menunggu sekitar dua minggu," ujarnya.

Hal senada disampaikan Suyud (57), petani sayur. Saat ini dirinya kesulitan mencukupi kebutuhan urea untuk 2.000 meter persegi tanaman cabai miliknya. "Terkadang, jika lebih dari dua minggu menunggu dan tidak mendapatkan apa-apa, penggunaan urea saya ganti dengan KCl atau ZA."

Mulai tanam

Sementara itu, di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, kini mulai memasuki musim tanam gadu. Selain kondisi cuaca yang kondusif, para petani berharap kebutuhan pupuk bersubsidi bisa tercukupi pada musim tanam kali ini. Pantauan Kompas, pada pekan pertama bulan April, petani di wilayah Kecamatan Purwoasri, Kunjang, Plemahan, hingga Pare, mulai melakukan tanam. Sebagian petani tengah menanam benih, sebagian lainnya telah memulai tanam sejak sekitar satu pekan lalu. Sebagian petani lainnya masih menjelang panen.

Saimun (50), salah satu petani di Desa Sidomulyo, Kecamatan Purwoasri, mengatakan, pihaknya berharap semua kebutuhan petani bisa tercukupi. Pengalaman selama bertahun-tahun, saat musim tanam seperti ini pupuk menjadi barang langka di lapangan. "Saat ini sebenarnya juga cukup sulit mencari pupuk. Di toko-toko sarana pertanian sudah tidak lagi menjual pupuk. Pupuk dikirim langsung ke kelompok tani. Namun saya sendiri belum ngecek apakah di kelompok tani saya sudah tersedia pupuk," ujarnya.

Saimun memiliki lahan sekitar satu hektar. Dari luasan tersebut, ia membutuhkan sekitar 1,5 kuintal pupuk urea. Pupuk itu menurut rencana ditaburkan pekan depan, saat umur tanaman padi telah mencapai satu minggu pasca tanam. Senin pagi, Saimun tengah menanam padi jenis IR 64 dibantu beberapa perempuan buruh tani.

Kelangkaan pupuk saat musim tanam memang kerap dialami petani setempat. Ketersediaan pupuk tidak selalu selaras dengan kebutuhan petani. Saimun mencontohkan, biasanya petani membutuhkan pupuk jenis urea, tetapi pasokan yang tersedia jenis pupuk lain, seperti ZA. Begitu pula sebaliknya.

"Harga terakhir pupuk urea Rp 90.000 per zak ukuran 50 kilogram. Harga terbaru saya kurang tahu karena harga bahan bakar minyak baru saja naik. Kalaupun harga pupuk naik di atas Rp 100.000, petani tetap beli, karena tidak ada pilihan. Yang penting barang ada," katanya.

Hermanto, salah satu petani dari Balongjeruk, Kecamatan Kunjang, mengatakan, petani begitu bergantung pada pupuk industri. Mereka jarang menggunakan pupuk organik. Akibatnya, saat distribusi pupuk tidak lancar, petani mengalami kesulitan. "Ya bagaimana lagi, tanpa pupuk kimia produksi padi juga tidak bisa bagus. Pupuk kandang terkadang saja dipakai untuk tanaman tertentu, seperti palawija," ujarnya.

Kondisi luar Jawa

Sementara itu, Ketua Kelompok Tani Sumber Makmur Djarkasi, Senin (6/4), di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, mengatakan, sejumlah kios menjual pupuk dengan harga mahal biasanya terjadi saat bulan Juni atau Juli. Petani tidak bisa membeli sekaligus semua jatah pupuk bersubsidi yang disalurkan kios karena keterbatasan dana.

"Dari jatah satu ton misalnya, kami baru bisa membeli separuhnya di awal musim tanam. Sisa jatah kami itulah yang kadang dijual ke tempat lain atau dijual eceran dengan harga lebih mahal oleh kios pengecer," papar Djarkasi yang memimpin 35 anggota petani dalam kelompok taninya.

Dalam satu tahun musim tanam, kelompok tani Sumber Makmur telah mengajukan permohonan kebutuhan pupuk seperti phonska, urea, KCL, dan SP-36 sebanyak 54 ton dalam RDKK. Harga normal yang dibayarkan petani, lanjut Djarkasi, untuk satu zak phonska (per zak 50 kilogram) Rp 125.000, urea Rp 95.000 per zak, KCL 350.000 per zak, dan SP-36 Rp 140.000 per zak.

Hal serupa disampaikan Rudi Kuswanto, petani cabai di Jalan Tjilik Riwut Km 16, Palangkaraya. Rudi lebih memilih menggunakan pupuk non-subsidi karena persediaannya selalu ada dan tidak harus berebutan dengan petani yang lain.

Sementara itu dari Nusa Tenggara Timur juga dilaporkan hal yang sama. Hambatan pengolahan persawahan Mbay di Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, tidak hanya karena keterbatasan traktor tangan.

Kendala lainnya dari ketersediaan pupuk bersubsidi yang terbatas, yakni hanya 1.874 ton atau sekitar 25 persen dari total kebutuhan sebanyak 7.507 ton sebagaimana tertera dalam RDKK. Pupuk bersubsidi kurang sebanyak 5.632.832 kilogram.

Padahal, persawahan di Mbay dengan areal fungsional seluas 3.200 hektar adalah sentra utama beras bagi Nagekeo bahkan NTT. Kawasan Mbay yang juga merukan ibu kota kabupaten, terletak di pesisir utara Nagekeo.

(REGINA RUMORINI/DEFRI WERDIAONO/FRANS SARONG)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150423kompas/#/24/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar