Senin, 13 April 2015

Kedaulatan Pangan Vs MEA

Senin, 13 April 2015

UANG tak pernah mengenal nasionalisme. Meski sudah ada jargon ’’bangga menggunakan produk dalam negeri’’, bila harganya lebih mahal, tentu produk luar negerilah yang dipilih, tak terkecuali beras. Inilah tantangan yang dihadapi program kedaulatan pangan yang dicanangkan Presiden Joko Widodo. Terlebih lagi  bila dikaitkan dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), atau biasa disebut pasar bebas ASEAN, yang diberlakukan mulai tahun ini.

Salah satu dampak MEA adalah kemasifan serbuan komoditas pangan dari luar negeri karena nihilnya bea masuk. Bila kita tidak meningkatkan produktivitas dan inovasi produk pangan, Indonesia akan terus terjajah secara ekonomi, dan bahkan obsesi berdaulat dalam bidang pangan pun hanya menjadi impian.

Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengklaim biaya produksi beras di dalam negeri mencapai Rp 7.500/kg, sementara harga beras Thailand sampai di Indonesia hanya Rp 5.000/kg. Jadi, meski pemerintah bertekad tidak mengimpor beras tahun ini, tetap tak ada jaminan tak ada invisible hands yang mencoba memasukkan beras dari Thailand karena keuntungannya amat menggiurkan.

Begitu pun untuk komoditas pangan lainnya, seperti kedelai, jagung, dan gula, bila biaya produksi di dalam negeri lebih mahal, maka meski ada tekad untuk mengurangi bahkan menutup keran impor, tetap juga tak ada jaminan tak ada rembesan komoditas tersebut yang masuk ke Indonesia. Maka, kedaulatan pangan kita pun terancam.

Dengan Thailand, kita sudah lama ’’menyerah’’ ketika ada serbuan produk pangan dari Negeri Gajah Putih itu. Sebut saja misalnya durian bangkok atau durian montong yang lebih digemari masyarakat Indonesia ketimbang durian lokal. Selain itu jambu bangkok, apel washington, dan sebagainya.

Lalu, siapkah Indonesia menghadapi MEA, khususnya terkait dengan produk pangan? Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir mengklaim ketahanan pangan Indonesia siap menghadapi MEA. Strategi untuk menciptakan ketahanan dan kedaulatan pangan pun, menurutnya telah disiapkan, yakni dengan berinovasi supaya sebuah produk bisa memiliki nilai tambah.

Namun, menurut Nasir, ada yang perlu diperbaiki sebelum memasuki MEA, yakni bagaimana menampilkan produk pangan dan teknologinya dengan baik. Setelah teknologi pangan sudah bisa menghasilkan produk berkualitas, lalu bagaimana menampilkan produk-produk pangan itu dengan baik? Teknologi pangan yang diklaim siap bersaing misalnya jagung varietas BR-2 dan BR-4, serta teknologi pengolahan pangan jagung menjadi tepung jagung, mi jagung, dan makaroni jagung.

Hanya Klaim

Namun kesiapan produk pangan Indonesia menghadapi MEA dikhawatirkan sekadar klaim belaka. Pasalnya, banyak program swasembada produk pangan yang tak mencapai target.

Kedelai, misalnya. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Harry Azhar Azis ketika membacakan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II-2014 di hadapan Sidang Paripurna DPR, Selasa (7/3/15), mengatakan, program swasembada kedelai yang dimotori Kementerian Pertanian tidak berhasil mencapai target pertumbuhan 20,05%/tahun. Target swasembada kedelai pada 2014 sebanyak 2,70 ton gagal dicapai.

Penetapan target swasembada bahkan disebut dibuat tanpa fakta. Alhasil, pengeluaran negara untuk program swasembada kedelai tahun 2010-2014 senilai Rp 1,42 triliun menjadi sia-sia. Pemerintah belum optimal mengurangi ketergantungan impor kedelai.

Sementara untuk beras, pemerintah menaikkan target panen raya periode April-September 2015 hingga 6,8 juta hektare, lebih tinggi dari rerata panen 6 juta hektare. Dirjen Tanaman Pangan Kementan Hasil Sembiring, Senin (30/3/15) mengaku yakin target ini tercapai, karena pihaknya sudah memperbaiki 2,6 juta hektare irigasi. Selain itu, bantuan seperti penyebaran pupuk, benih, dan alat produksi pertanian pun mulai terealisasi.

Benarkah klaim demi klaim itu tidak akan menggoyahkan kedaulatan pangan Indonesia? Bila melihat biaya produksi beras Indonesia yang jauh lebih tinggi daripada Thailand, kita tak terlalu yakin. Ini baru beras, belum komoditas lainnya. (10)

— Suharto Wongsosumarto, alumnus Fakultas Teknologi Pertanian UGM

http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/kedaulatan-pangan-vs-mea/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar