Senin, 27 April 2015

42 TAHUN HKTI

HKTI Organisasi Pelangi

Sejak awal mula berdiri pada 1973 lalu, HKTI memang sebuah organisasi “Pelangi” yang dihasilkan dari spektrum warna kristalisasi 14 ormas tani.  HKTI lahir dalam sebuah pusaran politik yang tengah gandrung-gandrungnya stabilitas pembangunan, derasnya arus restrukturisasi organisasi sebagaimana juga telah dilakukan dikalangan kepartaian.  Sekedar mengingatkan, menurut Heroe Soeparto dalam Petani Bangkit ! (2004), HKTI merupakan hasil fusi dari ormas-ormas tani berikut :1. Warga Tani Kosgoro; 2. Rukun Tani Indonesia (RTI) SOKSI; 3. Gerakan Tani MKGR; 4. Persatuan Tani Nasional Indonesia (PETANI); 5. Persatuan Tani Nahdatul Ulama (PERTANU); 6. Ikatan Petani Pancasila (IP PANCASILA); 7. Kesatuan Tani Pancasila (KATA PANCASILA); 8. Pergerakan Tani (PERTA); 9. Gerakan Tani Indonesia (GTI); 10. Gerakan Tani Syarikat Islam (GERTASI); 11. Gerakan Tani Muslim Indonesia (GERTAMI); 12. Persatuan Tani Kristen Indonesia (PERTAKIN); 13. Sarikat Tani Indonesia (SAKTI); dan 14. Persatuan Tani Islam Seluruh Indonesia (PETISI).

Sepertinya, semuanya pun mafhum apabila para “fusioner” yang berwarna-warni ini kemudian melahirkan sebuah organisasi yang juga berwarna-warni, satuan-satuan warna penyusunnya tampak kental meski telah mengkristal.  Kristalisasi pelangi itu dituangkan dalam kesepakatan yang dicapai oleh Tim 9 pada tanggal 21 April 1973.  Tim Kerja yang berjumlah 9 orang dan bekerja marathon sejak dari tanggal 3 April 1973 di salah satu ruangan BAKIN Jl. Senopati, menghasilkan kesepakatan sebagai berikut :

Perlu dilahirkan satu wadah organisasi tani yang bersifat nasional, berdaulat keluar dan kedalam.
Organisasi tani ini harus merupakan hasil fusi (penyaturagaan) segenap ormas tani Indonesia yang menjadi anggota BKS Tani.
Organisasi tani ini harus bersifat independen (mandiri) dalam arti tidak menginduk atau berafiliasi dengan organisasi lain apapun.
Organisasi tani ini, harus tetap mencerminkan sebagai organisasi gerakan masa dengan ciri profesi ketanian.
Organisasi tani ini bukan sebagai alat aparat pemerintah, tetapi sebagai Non Goverment Organisation (NGO).
Organisasi tani ini bersendikan demokrasi atau kerakyatan.
Organisasi tani ini secara tegas hanya berasaskan Pancasila.
Amanat Pak Harto

Benarkah proses kristalisasi satuan-satuan warna yang kemudian menjadi pelangi itu, berlangsung mulus tanpa syakwasangka?  Heroe Soeparto menuliskan sepenggal kisah dalam bukunya itu, bahwa walau pun sudah ada kesepakatan, tetapi masih ada ormas tani yang menyampaikan tanggapan bernada curiga.  Bayi HKTI ini dituduh akan digunakan untuk kepentingan politik golongan tertentu dan sekedar alat kepanjangan tangan pemerintah.

Waktu itu, Syarikat Tani Islam Indonesia (STII) beralasan bahwa organisasi tani yang akan dibentuk merupakan rekayasa pemerintah untuk membuat ormas tani menjadi banci.  Dalam perjalanannya, saya tidak tahu apakah tudingan tersebut terbukti atau tidak. Tapi, pada penyelenggaraan Munas I yang berlangsung di Istana Negara, pemerintah memberikan perhatian penuh.  Bahkan, Presiden Soeharto saat itu turut memberikan amanat langsung.  Sekedar bernostalgia bagi yang pernah mengalaminya dan mengingat amanat-amanat beliau, berikut saya tuliskan amanat Presiden Soeharto waktu itu sebagaimana ditulis Heroe Soeparto dalam bukunya PETANI BANGKIT !


Petani sebagai soko guru masyarakat, dikatakan presiden :

” Negara kita adalah negara agraris.  Sebagian besar bangsa kita adalah petani.  Dengan demikian para petani dapat dikatakan sebagai soko guru masyarakat kita … Oleh karena itu, organisasi semacam Himpunan Kerukunan Tani Indonesia atau HKTI ini sangat penting arti dan peranannya, baik dilihat dari segi pemerintah maupun dilihat dari segi masyarakat tani sendiri maupun masyarakat Indonesia umumnya”.


HKTI sebagai partner pemerintah, dikatakan presiden:

“Bagi pemerintah organisasi semacam ini dapat berperan sebagai partner dalam pembangunan sektor pertanian dan meningkatkan taraf hidup para petani”.


HKTI sebagai wahana penghimpun petani, dikatakan presiden:

“Oleh karena itu perlu dikembangkan sebagai wahana menghimpun petani yang dapat menjadi wadah mengembangkan pemikiran dan kegiatan untuk meningkatkan usaha pertanian dan taraf hidup petani.  Dan yang paling tepat untuk itu adalah wadah dari petani, oleh petani dan untuk petani sendiri, wadah ini tidak lain adalah HKTI”.


HKTI sebagai penggerak dan pengarah, dikatakan presiden:

“HKTI dapat menjadikan dirinya sendiri unsur penggerak dan pengarah pembangunan masyarakat desa.  HKTI sama sekali bukan sekedar perkumpulan.  HKTI adalah suatu gerakan untuk memajukan bangsa lewat peningkatan sektor pertanian”.


HKTI perlu memelihara kerukunan para petani, dikatakan presiden:

“HKTI dapat dan juga harus memerankan dirinya untuk memelihara kerukunan para petani … pembinaan kerukunan para petani itu memang merupakan salah satu cita yang menjiwai HKTI”.



HKTI sebagai organisasi profesi, diamanatkan presiden:

“Harus pula diingat bahwa HKTI harus konsekuen dalam membina dan mengembangkan dirinya sebagai organisasi profesi.  Kita harus menyadari justru di situlah letak kekuatan HKTI…. Sebagai organisasi profesi HKTI harus mampu meredam perbedaan paham dan golongan politik para anggotanya.  HKTI jangan sampai terlibat dalam perbedaan sikap politik yang ada.  HKTI seharusnya menjadi unsur perukun dan perekat dari masyarakat tani yang berbeda-beda paham atau organisasi politik yang mereka ikuti”.

Saya merasa, selama menjadi bagian dari keluarga besar HKTI, sejak jadi ketua DPC HKTI hingga saat ini menjadi bagian dari DPN HKTI (komite INFOKOM), amanat yang disampaikan oleh Presiden Soeharto pada waktu itu, masih sangat relevan dengan kondisi HKTI sampai saat ini dan beberapa masa ke depan nantinya.  Pada amanat bagian terakhir itulah kiranya yang sangat sulit untuk dijaga.  Barangkali, oleh karena menyadari hal itu pulalah Pak Harto memulainya dengan kalimat, “Harus pula diingat ….”.


Pasalnya, seringkali kita lupa bahwa warna pelangi yang melekat pada HKTI bermakna siapa pun tidak boleh menyatuwarnakannya.  Siapa pun harus tegas dan keras mempertahankan kepelangiannya, karena seperti pernah diamanatkan oleh Pak Harto, bahwa “Kita harus menyadari justru di situlah letak kekuatan HKTI…”, disitulah letak keindahannya. Apakah masih disebut sebuah pelangi, jika ia hanya memiliki satu warna ? Dan, kalau pun memang terpaksa harus, maka tentunya warna yang kita pilih adalah warna merah dan putih, yang dicengkeram garuda dan bertuliskan Bhineka Tunggal Ika.  Tapi, apakah warna merah dan putih itu pun masih dapat disebut pelangi?

Sungguh, sebuah tugas yang sangat berat bagi Sang Panglima Tani, Penjaga Kepelangian HKTI.

Layang-layang dan Sebatang Pohon

Sebagai anak yang dibesarkan oleh sepasang kakek dan nenek yang jadi petani nelayan, saya tumbuh sebagaimana anak desa pantai lainnya.  Bermain-main dengan angin dan ombak Pantai Selatan, pohon rindang di tepi Hutan Pananjung dan hamparan sawah Desa Babakan di Ciamis Selatan.  Salah satu permainan yang saya sukai adalah menerbangkan layang-layang di tepi pantai dan memanjat pohon lalu tidur di bawah kerindangannya.  Jujur saja, kedua permainan itu sangat berpengaruh dalam kehidupan saya selanjutnya.

Sungguh saya sangat menikmati, tatkala bersusah payah menaikkan layang-layang itu agar dapat terbang melayang di angkasa luas.  Setelah dengan gagahnya, layang-layang itu menari membelah angkasa, saya pun memandangnya takjub sambil berbaring di bawah pohon rindang.  Terkadang, angin sejuk meninabobokan saya hingga terlelap, memeluk gulungan benang di dada.

Pernah suatu saat, ketika terbangun saya tidak menemukan lagi layang-layang itu menari di langit.  Layang-layang itu, tercebur ke laut karena putus benangnya. Agaknya, kerindangan pohon tempat dimana saya berbaring memandang layang-layang tadi, telah menciptakan suasana teduh, nyaman, aman dan berpadu dengan hembusan angin sore yang menciptakan kelelapan dan juga sebuah kehilangan.

Terkadang, saya merenungi hal tersebut sebagai sebuah pembelajaran dan pencerahan.  Taktakala selesai bersusah payah menerbangkan dan membuat layang-layang itu semakin tinggi, perasaan senang dan bangga menyelimuti hati.  Bagaimana pun, tarian layang-layang di angkasa, membuktikan bahwa kita mampu menaikan layang-layang yang dapat dilihat dan dipandang orang.  Meski, layang-layang itu berada jauh di atas sana.  Semakin tinggi layang-layang menari, maka semakin jauh pula layang-layang itu dari bumi tempat saya berpijak.  Terpaan angin yang semakin kuat di ketinggian yang menjulang, terkadang membuat layang-layang itu sulit terkendali. Dan bahkan, seringkali malah benangnya melukai jari, terputus dan layang-layang pun menghilang terbawa angin.

Sungguh berbeda dengan sebatang pohon, semakin tinggi menjulang, maka semakin banyak akar mencengkeram dan semakin kuat batang menopang.  Setinggi apa pun sebatang pohon dalam terpaan angin, mestilah ia tetap bertumpu pada akar yang kuat mencengkram.  Kerindangan tajuk yang dihasilkan dari kesempurnaan akar dan batang, cabang dan ranting, mampu menciptakan keteduhan, kenyamanan dan  rasa aman.  Kalau pun harus lepas dari akar dan pangkal batangnya, maka ia masihlah dapat bertunas dan kembali tumbuh menjulang, kembali menari-nari diterpa angin.  Dan, itu karena akarnya masih kuat mencengkram.

Sebatang pohon tempat saya berbaring memandang layang-layang menari mengukir langit, memiliki dua jenis akar.  Akar yang mencengkeram ke bawah tanah, dan akar yang bergelantungan (akar gantung/napas) yang menempel ke atas pada dahannya.  Tentu saja kedua jenis akar itu memiliki fungsi dan manfaat yang berbeda bagi pohon itu sendiri.  Namun, orang-orang tua dulu di kampung saya selalu menasehati, sebisanya agar jangan berteduh dan menghindari pohon-pohon yang kebanyakan akar gantungnya.  Selain memang tampak seram, konon katanya suka banyak jin dan syetannya.

Hanya pohon yang terpeliharalah yang memiliki keharmonisan antara akar gantung, dahan, cabang dan ranting, rimbunnya dedauan, kokohnya batang dan kuatnya akar mencengkram.

Saya selalu berharap dan berdo’a, kiranya organisasi HKTI yang saya cintai, tidaklah seperti layang-layang yang semakin tinggi menari mengukir langit, semakin jauh pula dia meninggalkan bumi tempat para petani berpijak.  Kiranya HKTI dapat menjadi sebatang pohon yang semakin tinggi menjulang ke angkasa, semakin kuat pula akar mencengkram dan semakin kokoh batang menopang.  Dan, tentu saja bukan sebatang pohon yang penuh sesak dengan akar yang bergelantungan, agar tidak tampak seram dan dihuni banyak jin dan syetan.

Akhirnya, sebagai penutup tulisan ini saya ingin menyampaikan sebuah “rangkaian kalimat favorit” yang sangat mempengaruhi pola pikir, sikap dan tindakan saya. Rangkaian kalimat itu adalah apa yang pernah Pak Harto tekankan pada Pembukaan Sidang Pertama MPO HKTI di Istana Merdeka, 11 Maret 1975, sebagaimana tertulis dalam PETANI BANGKIT ! (2004).  Sebuah amanat yang tampaknya masih sangat relevan dengan analisa dari berbagai Ancaman, Tantangan, Hambatan dan Gangguan yang dihadapi HKTI saat ini.

“Perbaikan kehidupan petani kita itu merupakan bagian yang paling penting daripada tujuan pembangunan kita sekarang ini, sebab para petanilah yang merupakan lapisan terbesar masyarakat kita … Menaikan taraf hidup petani berarti suatu usaha untuk menaikan penghasilan petani … Persoalan yang harus kita pecahkan bukanlah bagaimana menaikan produksi, melainkan bagaimana dapat mengadakan perbaikan nasib petani … Saya minta agar HKTI menjadi bagian aktif dalam usaha besar tadi.  Benar-benar terjunlah di tengah-tengah petani … berilah mereka petunjuk, bimbinglah mereka… Dan sekali-kali HKTI jangan hanya menjadi organisasi yang terlepas dari jutaan petani yang menjadi tujuan pengabdian organisasi ini” (Soeharto, 1975).

(Saya persembahkan untuk kawan-kawan pejuang HKTI)

https://kembaratani.wordpress.com/2008/08/16/layang-layang-dan-kearifan-sebatang-pohon/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar