Sabtu, 13 Juni 2015

Beras Adalah Kekuasaan

Jumat,12 Juni 2015


PANGAN adalah kekuasaan. Ini bukan jargon kosong.

Sejarah membuktikan pangan adalah basis sekaligus instrumen kekuasaan yang sangat efektif.

Rakyat suatu negara akan tunduk jika pemerintahnya bisa menjamin kecukupan pangan.

Di Indonesia, pemerintahan HM Soeharto sudah membuktikannya selama 30-an tahun.

Lalu, di aras global, suatu negara dapat mendikte politik negara yang defisit pangan jika ia menguasai surplus pangan yang signifikan.

Amerika Serikat, misalnya, bisa mendikte politik negara-negara yang mengalami 'defisit pangan' melalui instrumen bantuan pangan ataupun ekspor pangan.

Itu sebabnya negara-negara kaya yang 'defisit pangan' kini mulai membangun 'lumbung pangan' mereka di negara-negara berkembang Asia, Afrika, dan Amerika Selatan.

Untuk konteks Indonesia, dengan pangan berkonotasi beras, jargon itu bisa direduksi menjadi 'beras adalah kekuasaan'.

Ini sebenarnya resep pelanggengan kekuasaan yang pada 1952 dirumuskan Bung Karno sebagai '(Pangan adalah) soal hidup dan mati'.

Soekarno sadar, bukan hanya kedaulatan nasional, kekuasaannya juga akan runtuh jika masalah defisit pangan (beras) tak terpecahkan.

Karena alasan itulah HM Soeharto kemudian menetapkan swasembada beras sebagai prioritas utama, sekaligus strategi 'menjinakkan' rakyat demi kelanggengan kekuasaannya.

Itu diikuti para penerusnya termasuk Presiden Jokowi kini.

Beras telah bertransformasi menjadi komoditas pangan bernilai paling strategis di Indonesia.

Lebih dari sekadar bernilai ekonomi dan budaya, beras terutama adalah komoditas bermuatan nilai politik.

Dalam konteks inilah isu perberasan di Indonesia harus ditempatkan, kemudian dianalisis, dipahami, dan ditemukan solusi atas permasalahannya yang kompleks.

Konflik kepentingan

Melekat pada status beras sebagai komoditas strategis/politis ialah konflik kepentingan antarkelompok stakeholder-nya.

Kepentingan petani (harga saprotan rendah, harga gabah tinggi) konflik dengan kepentingan konsumen (beras bermutu, harga rendah).

Kepentingan pengusaha-pedagang (harga beli gabah/beras rendah, impor, margin tinggi) konflik dengan kepentingan pemerintah (swasembada, pengendalian impor), petani, dan konsumen.

Sampai masa pemerintahan SBY, konflik kepentingan itu dikelola melalui implementasi rezim kebijakan 'ketahanan pangan'.

Rezim liberalis itu mengandalkan dua sumber untuk kecukupan beras nasional yaitu produksi domestik dan, jika tak mencukupi, impor beras.

Faktanya, sengaja atau tidak, sejauh ini hampir tiap tahun produksi domestik di bawah kebutuhan nasional sehingga keran impor beras senantiasa dibuka.

Di satu pihak, impor beras memang menguntungkan konsumen (beras murah) dan juga pemerintah (kecukupan stok).

Tapi di lain pihak jelas merugikan petani karena menjatuhkan harga gabah.

Ini disinsentif yang menurunkan intensitas kegiatan produksi padi sehingga target swasembada beras tak kunjung tercapai.

Lalu pemerintahan Jokowi menggusur rezim 'ketahanan pangan' dengan rezim 'kedaulatan pangan'.

Rezim yang memproteksi produksi domestik itu menjadi insentif bagi petani.

Apalagi kemudian diikuti oleh peningkatan investasi pertanian berupa, antara lain, rehabilitasi/peningkatan irigasi dan pencetakan sawah baru.

Di lain pihak, karena 'antiimpor', rezim 'kedaulatan pangan' mengganggu kepentingan 'mafia' impor beras. Gejala resistensi lalu muncul dalam berbagai bentuk trik bisnis untuk melegitimasi impor.

Misalnya, merekayasa lompatan harga gabah saat panen raya seperti baru-baru ini, untuk mengesankan bahwa produksi domestik rendah sehingga perlu impor.

Atau menebar isu beras plastik untuk mengesankan beras di pasaran tidak aman sehingga perlu impor beras aman.

Kekuatan 'mafia' impor adalah kekuatan 'antikedaulatan' pangan.

Bersama jaringan internasional dan domestiknya, ia akan selalu berusaha menggagalkan swasembada/kedaulatan beras dengan berbagai cara.

Tujuannya agar keran impor beras tetap terbuka, dan kemudian dengan timbunan stoknya, mereka tetap bisa menguasai dan mengendalikan pasar beras domestik.

Itu berarti ia mengontrol basis kekuasaan pemerintah sehingga bisa 'mendikte' pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang memihak kepentingannya.

Beras incorporated

Bagaimanapun, agar pemerintah berdaulat, kekuatan 'mafia impor' itu serta jaringannya harus dipatahkan.

Untuk itu, lebih dari sekadar penegakan hukum, mutlak dibutuhkan kehadiran entitas bisnis beras nasionalis berkekuatan lebih besar.

Entitas itu, yang bisa dikonsepsikan sebagai beras incorporated (beras Inc), bisa dilihat sebagai perwujudan gagasan Presiden Jokowi tentang 'agribisnis kerakyatan' sebagai basis kedaulatan pangan (beras).

Ide dasarnya ialah integrasi empat komponen utama kekuatan agribisnis beras nasionalis untuk bersinergi mewujudkan swasembada (kedaulatan) beras, tanpa harus ada konflik kepentingan.

Pertama, komponen produsen padi/beras di 'tengah' yaitu korporasi petani berupa, misalnya, badan usaha milik petani (BUMP) atau badan usaha milik desa (Bumdes).

Selain bergerak dalam budi daya, korporasi petani ini juga harus bergerak dalam pengolahan beras di 'hilir'.

Dengan begitu, petani sekaligus menjadi produsen utama beras sehingga akan memperoleh margin usaha yang lebih besar.

Kedua, komponen produsen benih/saprotan di 'hulu' yaitu BUMN pertanian produsen benih unggul padi (PT Sang Hyang Seri), saprotan pupuk/pestisida (PT Pupuk Indonesia), dan irigasi (Jasa Tirta).

Selain menjamin ketersediaan benih unggul, saprotan, dan air, BUMN tersebut juga bermitra dengan korporasi petani.

Tujuannya peningkatan produktivitas melalui dampingan teknologi dan manajemen budi daya padi.

Dengan begitu, BUMN perbenihan/saprotan turut bertanggung jawab terhadap keberhasilan usaha tani, tidak semata menjadikan petani sebagai pasar.

Ketiga, komponen agroindustri pengolahan/pemasaran di 'hilir', yaitu BUMN pertanian bidang pengolahan, penyimpanan, dan distribusi/pemasaran (PT Bulog, PT Pertani).

Selain bermitra dengan korporasi petani dalam pengembangan bisnis pengolahan beras, komponen ini sekaligus menjadi penjamin pasar beras produksi petani.

Kemitraan Bulog dengan korporasi petani khususnya akan menjadi basis jaminan ketersediaan pasokan beras untuk stok pemerintah sehingga tak akan kesulitan menguasai stok beras sebanyak 10% dari total perkiraan kebutuhan konsumsi nasional.

Dengan menguasai stok 10% ini, pemerintah dengan mudah dapat meredam upaya-upaya rekayasa instabilitas pasar beras yang dimaksudkan menggoyang kekuasaan pemerintah.

Keempat, komponen industri finansial yaitu BUMN perbankan/asuransi.

Bank BUMN menjamin ketersedian modal produksi padi/beras melalui skim modal kerja produksi padi dan investasi untuk agroindustri pengolahan beras.

Sementara BUMN asuransi menyediakan perlindungan bagi petani terhadap risiko gagal panen.

Asuransi akan menjadi insentif bagi petani padi untuk meningkatkan produktivitas usaha taninya.

Gerak sinergis empat komponen itu sebagai entitas integratif.

Beras Inc di bawah kendali pemerintah, katakanlah oleh Kantor Kepresidenan, niscaya akan mewujudkan target swasembada/kedaulatan beras.

Ukuran minimalnya ialah surplus beras berupa stok beras pemerintah sebesar 10% dari total perkiraan konsumsi nasional.

Pada angka itu pemerintah akan mendapatkan basis kekuasaan yang kukuh sehingga akan mendapatkan legitimasi yang kuat dari rakyat, sekaligus superioritas atas 'mafia' impor pangan berikut jaringan domestik dan internasionalnya.


MT Felix Sitorus, Doktor sosiologi perdesaan dari IPB, Praktisi agribisnis, dan peneliti sosial independen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar