Jumat, 26 Juni 2015

Kekuasaan dan Swasembada Pangan

Jumat,26 Juni 2015

Relasi kekuasaan dan pangan sudah menjadi diskusi panjang dalam sejarah manusia. Pemikiran paling sederhana adalah pasokan pangan yang melimpah akan menopang kekuasaan. Dengan berbagai variasi strategi, pemimpin-pemimpin dunia selalu memastikan pasokan pangan bangsanya aman sehingga kekuasaan tidak mudah jatuh.

Menilik latar belakang Soeharto yang menjadi presiden selama 32 tahun, alam pikiran Jawa melekat pada dirinya. Kisah-kisah yang terjadi di Jawa pada masa lalu setidaknya pernah diceritakan oleh orang dekatnya, termasuk kisah kepemimpinan di Jawa. Ciri kepemimpinan di Jawa yang selalu menyebut kebahagiaan raja apabila rakyatnya cukup mendapat beras adalah termasuk yang diceritakan kepada Soeharto. Sebaliknya raja akan cemas apabila rakyat tak tercukupi pangannya.

Saat Soeharto mulai menjabat sebagai presiden, dirinya menerima keadaan berupa kondisi pangan di Indonesia juga masih morat-marit. Soeharto pasti merasakan kecemasan itu hingga memilih peningkatan produksi beras sebagai fokus kerjanya. Dibantu para teknokrat, ia membangun ketahanan pangan berbasis pada padi. Ia menerima konsep Revolusi Hijau sebagai cara untuk meningkatkan produksi padi. Soeharto mempersilakan investasi pestisida, membangun industri benih, industri pupuk, dan berbagai sarana pertanian lainnya hingga membangun organisasi tani. Soeharto dinilai berhasil memajukan usaha pertanian Indonesia hingga mendapatkan penghargaan dari FAO tahun 1985.

Akan tetapi, langkah-langkah Soeharto dalam membangun ketahanan pangan ternyata tidak bisa dipertahankan. Fokus swasembada pangan pada padi menjadikan areal-areal yang sebenarnya tidak layak untuk tanaman padi dipaksa menjadi lahan padi. Di satu sisi program sawah sejuta hektar merupakan program terobosan, tetapi program ini membutuhkan biaya yang mahal untuk menjadikan gambut sebagai lahan sawah. Rekayasa lahan sangat dibutuhkan. Risiko lainnya adalah perusakan lingkungan.

Kesan untuk menyatukan seluruh Indonesia dengan padi sebagai sumber pangan utama juga sangat kuat. Banyak daerah yang sebenarnya tidak cocok untuk ditanami padi serta penduduk setempat sudah lama mempunyai sumber karbohidrat lain seperti dipaksa untuk makan padi. Apalagi, kesan makanan padi dipromosikan secara tidak langsung menjadi lebih modern dibandingkan makanan lain sangat kuat. Akibatnya banyak daerah yang kemudian bergantung pada padi meski daerah itu tak menghasilkan banyak padi.

Swasembada itu kemudian tak langgeng. Apalagi, belakangan rezim impor sangat berkuasa. Pencari rente hidup berdampingan dengan pengambil kebijakan impor beras. Kebergantungan pada impor beras bukan lagi karena memang butuh untuk mendapatkan beras, tetapi lebih banyak disertai keinginan untuk mendapatkan uang dari aktivitas itu.

Kerusakan paling parah adalah kehilangan sumber pangan lokal karena lama tidak mendapat perhatian. Kerusakan pola makanan juga terjadi akibat keluarga-keluarga modern sudah tidak lagi mengenal dan menyukai sumber pangan lokal. Mereka lebih menyukai beras dibandingkan pangan setempat, seperti jagung, sagu, dan ubi.

Jika pada 2003 dan 2008 serta 2014 pemerintah tidak mengimpor beras atau setidaknya mengimpor beras dalam jumlah kecil, hal ini bukan karena sukses program swasembada. Kondisi ini terjadi karena cuaca saat itu mendukung untuk pertanaman padi sehingga hasil sangat melimpah.

ANDREAS MARYOTO

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150626kompas/#/59/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar