Kamis, 04 Juni 2015

Menepis Ayam Mati di Lumbung

Kamis, 4 Juni 2015

“Swasembada pangan di Jawa Tengah diyakini bakal terealisasi seiring keterlibatan TNI sebagai motivator”

TERASA miris menyimak data yang dilansir Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Sabtu (30/5/15), bahwa ada 19,4 juta penduduk Indonesia yang masih menderita kelaparan tiap hari. Jumlah ini sepertiga dari 60 juta orang yang tercatat masih menderita kelaparan di Asia Tenggara.

Hidup di negeri gemah ripah loh jinawi, akankah nasib sebagian penduduk Indonesia ibarat ayam yang mati di lumbung padi? FAO mencatat, negara-negara Asia Tenggara mencapai kemajuan luar biasa untuk mengurangi kelaparan. Selama 25 tahun, jumlah penduduk yang kelaparan berkurang setengahnya. Secara global, pencapaian tersebut adalah kemajuan paling menakjubkan untuk mengurangi kelaparan di dunia yang disepakati pada World Food Summit 1996 dan Millennium Development Goals (MDGs) 1.

Di Indonesia, menurut FAO, pertumbuhan ekonomi yang cepat dan kebijakan yang tepat pada sektor pangan dan pertanian membantu dalam mencapai target pengurangan kelaparan MDGs1 tersebut. Persentase penduduk Indonesia yang menderita kelaparan turun dari 19,7% pada 1990-1992 menjadi 7,6% pada 2014-2015. Persentase penduduk Indonesia yang menderita kelaparan memang menurun, tapi angka tersebut jangan sampai membuat kita lengah.

Ancaman kelaparan harus segera dienyahkan, dan kalau bisa tak seorang penduduk Indonesia pun boleh menderita kelaparan. Ketahanan pangan dan swasembada beras, komoditas yang menjadi makanan pokok penduduk Indonesia, harus segera diwujudkan, apalagi Presiden Joko Widodo sudah menargetkan tahun 2017 Indonesia berswasembada beras.

Bagaimana dengan Jawa Tengah? Kita yakin, dari hampir 20 juta penduduk Indonesia yang menderita kepalaran itu sebagian ada di wilayah provinsi berpenduduk 33 juta ini. Sebab itu, Pemerintah Provinsi Jateng harus kembali mendata jumlah warga miskin dan memberikan bantuan kepada mereka yang terancam kelaparan.

Jawa Tengah bahkan harus berkontribusi secara nasional dalam mengatasi kelaparan. Seperti diketahui, Jawa Tengah berkontribusi terhadap swasembada beras nasional, yakni 15% atau urutan ketiga setelah Jawa Barat dan Jawa Timur. Surplus beras di Jateng bisa tercapai karena iklim yang mendukung, dan juga ada upaya khusus, yakni meningkatkan produktivitas dan indeks pertanaman melalui peningkatan ketersedian air irigasi, benih, pupuk dan alat mesin pertanian. Jateng menargetkan produksi padi tahun 2015 ini 10,228 juta ton; jagung 2,017 juta ton; tebu 5,228 juta ton. Untuk mendukung swasembada pangan nasional, produksi padi ditargetkan 11,637 juta ton gabah kering giling (GKG), jagung 3,795 juta ton, dan kedelai 139.900 ton.

Jadi Tantangan

Swasembada pangan di Jawa Tengah diyakini bakal terealisasi seiring keterlibatan TNI sebagai motivator di tingkat lapangan utama, seperti percepatan tanam melalui gerakan olah tanah secara serentak, tanam serentak, pengawasan distribusi pupuk dan pengendalian hama dan penyakit tanaman bersama.

Ketersedian pompa air, traktor, dan kelancaran irigasi menjadikan produktivitas padi akan meningkat. Sementara ketersedian lahan saat panen padi sebanyak 1,9 juta hektare dengan tingkat produktivitas rata-rata 60,81 kuintal per ha. Dari 35 kabupaten/kota di Jateng, wilayah penghasil padi ada di 29 kabupaten dan satu kota, sementara lima kota lainnya hanya memiliki lahan kurang dari 500 ha. Lima daerah penghasil padi terbesar di Jateng adalah Cilacap (7%), Sragen (6%), Grobogan (6%), Brebes (6%), dan Demak (6%).

Gubernur Jateng Ganjar Pranowo berjanji bahwa untuk memenuhi target swasembada padi, jagung, dan kedelai pihaknya melakukan langkah peningkatan luas tanam dan produktivitas. Namun ada sejumlah tantangan dalam mewujudkan kedaulatan pangan di Jateng, antara lain peningkatan kesejahteraan petani yang memiliki lahan 0,2-0,5 hektare, pemenuhan kebutuhan pangan penduduk yang semakin meningkat, dan peningkatan produksi pangan. Tak lupa, jumlah penduduk yang menderita kelaparan menjadi tantangan yang tidak kurang penting untuk diatasi.

Sejatinya, tantangan yang dihadapi Indonesia dan Jateng tidak hanya memproduksi pangan lebih banyak dari lahan yang semakin terbatas, tetapi juga bagaimana memastikan semua orang mendapatkan akses yang lebih besar atas pangan sambil menghadapi berbagai ancaman seperti perubahan iklim dalam berinvestasi di pedesaan. Investasi di pedesaan ini penting, mengingat hampir separuh jumlah penduduk Indonesia tinggal di pedesaan, di mana pertanian dan perikanan menjadi mata pencaharian utama mereka.

Kita harus mendorong investasi di pedesaan untuk meningkatkan produktivitas masyarakat. Jika ini sudah dilakukan, kita optimistis tujuan pembangunan berkelanjutan untuk menghapus kelaparan dan mencapai ketahanan pangan tahun 2030 bisa dicapai. (10)

— Suharto Wongsosumarto, alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada

http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/menepis-ayam-mati-di-lumbung/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar