Sabtu, 11 Januari 2014

KELANGKAAN PUPUK PETANI JADI KORBAN

Sabtu, 11 Januari 2014

PEMILIHAN umum legislatif 2014 beberapa bulan lagi. Namun, sejak Desember 2013, para petani pengguna pupuk bersubsidi menjadi korban politik. Para petani yang mayoritas tidak mampu itu dibiarkan terombang-ambing dalam ketidakpastian demi memperoleh pupuk bersubsidi.

Para pengambil kebijakan membiarkan itu terjadi karena takut membuat kebijakan yang tidak populis. Pemerintah membiarkan petani bergelut sendiri dengan masalah pupuk yang justru dipicu oleh kebijakan pemerintah sendiri.

Masalah kelangkaan pupuk berawal pada akhir tahun 2013. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2012 tentang Alokasi Pupuk Bersubsidi Tahun 2012, alokasi semua jenis pupuk bersubsidi pada 2013 (Januari-Desember) ditetapkan sebanyak 9,25 juta ton.

Pada 2013 terjadi tekanan terhadap perekonomian nasional. Selain itu, juga terjadi depresiasi nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar AS hingga awal tahun ini.

Karena itu, Menteri Keuangan mengeluarkan surat keputusan yang ditujukan kepada Menteri Pertanian selaku kuasa pengguna anggaran pupuk bersubsidi. Intinya, jumlah pupuk bersubsidi yang disalurkan pada 2013 tidak boleh melampaui nilai subsidi dalam APBN 2013 yang sebesar Rp 15,8 triliun.

Akibatnya, volume alokasi pupuk bersubsidi 2013 turun 650.000 ton menjadi 8,6 juta ton. Meski anggaran subsidi sama dengan tahun sebelumnya, depresiasi mata uang rupiah mendorong harga bahan baku pupuk. Dengan anggaran yang sama, jumlah pupuk bersubsidi yang bisa dibeli jauh kecil.

Keputusan pengurangan alokasi pupuk bersubsidi tertuang dalam Permentan Nomor 123 Tahun 2013,yang ditandatangani pada 29 November 2013. Keputusan pengurangan alokasi subsidi itu terjadi pada saat musim tanam raya padi berlangsung.

Para petani panik. Apalagi saat aturan terbit, khusus pupuk urea, NPK, dan SP-36 habis. Pupuk sudah disalurkan sesuai dengan alokasi terbaru.

Realisasi penyaluran pupuk bersubsidi tahun 2013 mencapai 102 persen yang secara tidak langsung mengindikasikan bahwa alokasi pupuk hasil revisi tak mampu memenuhi kebutuhan.

Kelangkaan pupuk membuat Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian melakukan rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR pada 11 Desember 2013. Hasilnya produsen pupuk nasional diminta menyalurkan pupuk bersubsidi sesuai rencana definitif kebutuhan kelompok tani.

Kekurangannya akan dianggarkan dalam APBN-P 2014. Meski ada solusi di tingkat pusat, tetapi tidak di level pelaksanaan. Ada distributor yang tidak mau menerbitkan delivery order (DO) pupuk. Akibatnya terjadi kelangkaan.

Masalah berlanjut pada 2014. Alokasi pupuk bersubsidi tahun 2014, yang sudah dipangkas pada 2013, kembali dipotong jadi 7,7 juta ton. Dari hitungan produsen pupuk, alokasi 7,7 juta ton akan habis pada Oktober 2014. Setelah itu petani tidak akan dapat mengakses pupuk lagi.

Biaya produksi pupuk terus naik, sedangkan harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi (HET) tetap. Pemerintah bisa saja mengeluarkan kebijakan menaikkan HET pupuk bersubsidi agar volume alokasinya sama dengan rencana awal 2013.

Namun, pemerintah tidak berani karena ini tahun pemilu. Menambah jumlah anggaran pupuk bersubsidi juga tidak bisa dilakukan di tengah anggaran negara yang minim.

Ada indikasi pemerintah akan cuci tangan dengan menyerahkan persoalan pupuk ini kepada DPR atau pemerintahan mendatang.

Petani tidak tahu politik. Mereka hanya paham tanaman padi, jagung, kedelai, tanaman perkebunan, dan ikan budidaya. Dan kini mereka butuh pupuk bersubsidi. (HERMAS E PRABOWO)

http://epaper.kompas.com/kompas/books/140111kompas/#/17/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar