Sabtu, 25 Januari 2014

Mencari “Presiden” Pro Petani-Nelayan

Jumat, 24 Januari 2014

Jurnas.com | Oleh: Muhamad Karim,

Dosen Universitas Trilogi/ Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan & Peradaban Maritim (PK2PM)

Pemilihan umum (Pemilu) 2014 tinggal seumur jagung. Pemilu ini hendak memilih anggota legislatif lalu Presiden dan Wakil Presiden 2014-2019. Sayangnya, ritual demokrasi lima tahunan ini kerap mengabaikan soal nasib petani dan nelayan. Hingga kini nasib nelayan dan petani bak hidup enggan mati tak mau. Amat sulit mencari argumen rasional yang menjustifikasi soal perbaikan kesejahteraan mereka. Petani dan nelayan kerapkali jadi obyek politik semata saat berlangsungnya pesta demokrasi. Tatkala Pemilu usai dan pemerintahan terbentuk petani dan nelayan bak anak ayam kehilangan induknya. Mereka hanya dibutuhkan saat Pemilu guna mendulang suara. Habis manis sepa dibuang. Amat tragis memang. Mungkinkah Pemilu 2014 akan melahirkan Presiden yang pro petani-nelayan?

Nasib Petani

Petani dan nelayan Indonesia memasuki awal tahun 2014 ini bak sudah jatuh tertimpa tangga pula. Musim hujan yang melanda seluruh wilayah Indonesia menimbulkan beragam bencana. Banjir, rob dan tanah longsor telah memakan korban. Ribuan hektar sawah dan lahan pertanian terancam gagal panen. Imbasnya, produksi pangan beras, dan sayuran diperkirakan akan menurun. Padahal Negara telah melindunginya dengan Undang-undang (UU) No 19 Tahun 2013 tentang perlindungan dan pemberdayaan petani. UU ini masih menuai kontroversi karena adanya klausal soal pembagian lahan bagi petani alias reforma agraria. Akan tetapi hal ini jadi soal karena lahan yang mesti dibagi tak sebanding dengan jumlah petani di Indonesia. UU menyebutkan setiap rumah tangga petani akan mendapatkan lahan seluas 2 hektar (Pasal 12 ayat 2). Hingga kini rumah tangga petani (RTP) gurem 14,25 juta. Jumlah tanah terlantar 7,3 juta hektar. Artinya setiap RTP akan mendapatkan lahan 1,95 hektar. Bukankah hal itu masih bertentangan dengan perintah UU karena setiap RTP mendapatkan luas kurang adri 2 hektar apalagi ditambah dengan buruh tani? Pun, 15 persen dari lahan terlantar itu buat pengembangan pangan, energi dan perumahan rakyat. Lantas lahan mana lagi yang mau dibagikan kepada mereka ? Ironisnya lagi dalam UU ini petani yang hendak mengusahakan lahan mesti meminjam modal dari pemerintah (pasal 58) sebagai jaminannya? Bukankah hal ini mengingkari prinsip reforma agraria? Pasalnya hingga kini kesejahteraan petani kita belum beranjak signifikan. Data BPS (2013) mencatat nilai tukar petani Indonesia September 2013 104,56 meningkat 105,30 bulan Oktober 2013. Sayangnya bulan November 2013 turun menjadi 101, 78 lalu meningkat jadi 101,94. Amat sulit mencapai angka 150. Berarti kesejahteraan petani Indonesia masih rendah dalam satu dasawarsa terakhir. Inilah agenda penting bagi calon presiden terpilih hasil pemilu 2014 untuk menomorsatukan soal pangan, dan pertanian ini. Pasalnya, Global Food Security Index (GFI) 2012 mencatat yang dirilis Economist Intelligent Unit (EIU) menempatkan indeks keamanan pangan Indonesia di peringkat 64 dengan indeks 46,8 atau bawah 50 (0-100) dari 105 negara yang diteliti. Posisi Indonesia jauh lebih buruk ketimbang negara tetangga Malaysia, Thailand, Vietnam dan Filipina. Imbasnya Indonesia terancam kelaparan. GHI Indonesia tahun 2012 sebesar 12,0 menurun menjadi 10,1 2013. Posisinya berada dibawah Malaysia (5,5), Thailand (5,8) dan Vietnam (7,7). Kriteria IFPRI mengkategorikan tingkat kelaparan yaitu ≤4,9 rendah; 5,0-9,9 moderat; 10,0-9,9 serius; 20,0-29,9 mengkhawatirkan; dan ≥ 30 sangat mengkhawatirkan. Indonesia masuk kriteria kelaparan serius. Celakanya, hasil, sensus pertanian 2013 mencatat rumah tangga petani (RTP) semenjak tahun 2003 menurun dari 31,17 juta menjadi 26,13 juta tahun 2013. Dalam kurun waktu satu dasa warsa Indonesia kehilangan RTP 5,07 juta. Kondisi ini kian membenarkan ancaman ketahanan pangan dan kelaparan di masa datang.

Nasib Nelayan

Nelayan pun tak jauh beda dengan nasib petani. Data BPS (2013) mencatat jumlah rumah tangga perikanan (RTP) budidaya ikan sejumlah 1,19 juta sedangkan penangkapan 0,86 juta hingga totalnya 1.38 juta rumah tangga. Bila diasumsikan setiap RTP memiliki anggota keluarga 5 orang, jumlahnya mencapai 6,9 juta orang. Kini, mereka pun tak bisa melaut karena gelombang tinggi disertai badai. Akibatnya nelayan kita beralih profesi menjadi buruh maupun tukang ojek. Mereka pun kian terjebak dalam jurang kemiskinan struktural akibat utang yang kian menggunung. Sementara aktivitas melaut berhenti sama sekali akibat cuaca yang kian tak menentu. Dibalik nasib nelayan yang terpuruk, sektor perikanan Indonesia kian mengalienasi nelayan. Faktanya, pertama, asing kian menggurita dalam bisnis perikanan Indonesia. Semenjak tahun 2010 hingga kuartal III 2013 sektor perikanan Indonesia dikuasi penanaman modal asing (PMA). Kontribusinya melebihi 99 persen ketimbang penanaman modal dalam negeri (PMDN) yang cuma 1 persen. Data BKPM (2013) mencatat hingga kuartal III tahun 2013 nilai investasi PMA senilai US$ 17 juta (99,8 persen) ketimbang PMDN yang cuma US$ 20.000 (0,45 persen). Kedua, semenjak tahun 2007-2012 ekspor ikan dan produk perikanan melonjak signifikan. Sayangnya, impornya pun meningkat. Data UN-Comtrade (2013) mencatat volume laju ekspor perikanan Indonesia mencapai 8,8 persen. Pun, volume impornya dalam rentang waktu yang sama mencapai 24,69 persen. Laju ekspornya mencapai 11,39 persen sedangkan impornya 39,47 persen. Celakanya dalam 5 tahun terakhir ikan dan produk perikanan impor menyerbu Indonesia. Jenisnya, mackerel, fillet hingga sardin. Padahal , pasal 36 ayat (1) UU Pangan No 18 Tahun 2013 telah membatasi impor pangan. Saat bersamaan nelayan kita juga mengalami surplus produksi. Ironisnya harganya pun jatuh di pasar local. Situasi kian membuat miris. Sebab, dunia perikanan Indonesia terkesan jauh pangan dari api mewujudkan ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan. Ditambah lagi kian maraknya ekspor ilegal. Terbukti, tahun 2000 Indonesia disinyalir mengekspor ikan tuna Albacore secara ilegal hingga 52 persen dari total volumenya ke Thailand. Volumenya mencapai 271.419 kg dengan nilai US$ 1.070.630. Tahun 2010, dugaan ekspor ikan tuna Albacore ilegal ke Thailand kian meningkat hingga 69,20 persen dari total volumenya. Volumenya mencapai 2.352.724 kg dengan nilai US$ 8.326.839. Ketiga, nilai tukar nelayan (NTN) dan pembudidaya ikan menurun. Bulan November 2013 senilai 102,04 turun menjadi 101,98 pada Desember 2013 (BPS, 2013). Perubahannya tercatat 0,05 persen. Meski, nyatanya NTN ini penurunannya tercatat semenjak September (105,21) hingga Oktober 2013 (104,94) (BPS 2014). Penurunan ini mengisyaratkan kesejahteraan nelayan Indonesia turun drastis. Penyebabnya, iklim dan cuaca yang tak menentu. Nelayan tak dapat melaut akibat gelombang tinggi, disertai angin. Pembudidaya ikan kerap mengalami gagal panen akibat banjir dan rob yang membobol lahan budidaya perikanannya. Imbasnya, NTN semenjak era reformasi hingga kini tak pernah menyentuh angka 150. Wajar, jika kesejahteraan nelayan dan pembudidaya ikan tak berubah. Malah terjebak dalam jurang kemiskinan struktural. Keempat, dibalik nasib nelayan yang kian terpuruh, malah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengizinkan kapal ikan ukuran 1000 gross ton (GT) sebanak tiga unit beroperasi di perairan ZEE Indonesia. Konon kabarnya pengelolaanya dari China. KKP berdalih demi industrialisasi perikanan. Persis sama amburadulnya dengan program 1000 kapal INKA MINA yang carut marut hingg disinyalir gagal. Bukankah kebijakan kian membenarkan ketidakberpihakan pemerintah terhadap nelayan.

Kriteria

Pemilu 2014 mestinya jadi momentum stratgis guna mencari calon presiden yang pro petani-nelayan. Setidaknya kriterinya yaitu, pertama, memiliki visi dan misi yang jelas dan berpihak terhadap perbaikan nasib petani dan nelayan. Umpamanya, sang calon presiden mengkongritkan reforma agrarian demi membagikan lahan kepada petani gurem dan buruh tani, tanpa meminjamkan modal. Bukan pemilik modal (Baca: UU No 5 tahun 1960). Ironinsnya di kelautan, revisi UU No 27 tahun 2007 tentang wilayah pesisir dan pulau kecil malah membebaskan asing berinvestasi di pulau kecil (pasal 22 a). Sementara untuk nelayan menstop kebijakan industrialisasi perikanan yang utopis karena lebih mementingkan keentingan asing ketimbang nelayan tradisional. Imbasnya kesejahteraan nelayan kian terjun bebas. Kedua, berani menghentikan impor pangan pokok; beras, kedelai, jagung, ikan, garam, susu dan daging. Ia sebaiknya mengoptimalkan produksi pangan dalam negeri yang mengedepankan model pertanian alternative (agroekologi/agroekosistem/agekoteknologi) dan perikanan rakyat supaya perintah UU Pangan soal ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan tercapai. Ketiga, berani mengangkat menteri yang memimpin kementerian sektoral bukan dari partai politik. Melainkan dari kaun professional, intelektual, punya trade record yang jelas dalam membela petani dan nelayan hingga bebas KKN. Utamanya, kementerian Pertanian, Kelautan dan Perikanan, dan Kehutanan. Sebab, kementerian itu amat terkait dengan soal pangan. Setidaknya, tiga criteria itulah kriteria calon presiden yang pro petani-nelayan dan pertanian dalam arti luas.

http://www.jurnas.com/news/121445/Mencari_ldquoPresidenrdquo_Pro_Petani-Nelayan_/1/Nasional/Opini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar