Rabu, 08 Januari 2014

Pemerintah Harus Lebih Nyata Melakukan Tugas

Rabu, 8 Januari 2014


Masih ada 28,55 juta penduduk miskin di negeri ini pada September 2013. Informasi dari Badan Pusat Statistik yang dilontarkan pada 2 Januari 2014 memperlihatkan ada penambahan 480.000 penduduk miskin dibandingkan dengan Maret 2013. Berarti ada 11,47 persen penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan di negeri ini. Lantas apa makna dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sekitar 6 persen pada beberapa tahun terakhir ini?
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi diperlukan demi penciptaan lapangan kerja yang lebih luas. Fakta yang ada, tingkat pengangguran terbuka per Agustus 2013 mencapai 6,25 persen. Naik dari tingkat pengangguran terbuka Februari 2013 yang hanya 5,92 persen dan 6,14 persen pada Agustus 2012. Apakah Indonesia dengan pemimpin yang baru hasil Pemilu 2014 bisa menjaga pertumbuhan ekonomi yang tinggi? Apa yang harus dilakukan?

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic Hendri Saparini berpendapat, ekonomi Indonesia punya potensi tumbuh lebih cepat. Namun, banyak beban struktural yang masih menggelayutinya.

”Potensi Indonesia untuk lari menjadi berat. Yang jadi beban tidak hanya infrastruktur fisik, tetapi juga pemenuhan hak masyarakat yang tidak dilakukan selama ini,” kata Hendri.

Memenuhi hak masyarakat, menurut Hendri, adalah inti tugas pemerintah. Selama sepuluh tahun ini, pemerintah tak banyak melakukan tugasnya. Memenuhi hak masyarakat tidak bisa hanya dipandang sebagai langkah aktif pemerintah tanpa efek berantai di sisi masyarakat. Sebab, pemenuhan hak masyarakat menambah potensi pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Strategi ekonomi selama sepuluh tahun terakhir, menurut Hendri, terbukti tidak bisa menyelesaikan persoalan. Pemerintahan yang baru mesti membuat strategi ekonomi yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif, tetapi juga bisa menyelesaikan persoalan struktural.

”Tahun 2014 akan menjadi tahun penentu. Kita tak bisa melanjutkan model pembangunan seperti sekarang. Pertumbuhan global membaik, kita juga akan lebih baik. Namun, persoalan struktural tidak akan terselesaikan kalau tidak ditangani kita sendiri,” kata Hendri.

Hal senada juga diungkapkan Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, A Tony Prasentiantono. Tantangan terbesar pemerintah nanti adalah pembangunan infrastruktur, perbaikan struktur industri yang tidak bergantung impor, dan mendorong kualitas sumber daya manusia yang lebih kompetitif.

Infrastruktur yang buruk menyebabkan daya saing rendah. Sejumlah pembangunan infrastruktur yang terjadi selama beberapa tahun terakhir masih jauh dari cukup.

Dalam hal struktur industri, pemerintah harus mendorong tumbuhnya industri perantara agar impor bahan baku dan barang modal turun. Caranya dengan memberikan insentif agar neraca perdagangan tidak terus- menerus rentan menjadi defisit.

”Presiden baru harus mendorong dan memfasilitasi anak- anak muda untuk sekolah di luar negeri. Masa kita kalah dari Malaysia soal ini. Bahkan bisa-bisa tersalip Vietnam. Hanya dengan cara ini, kualitas SDM kita meningkat dan kompetitif di persaingan global,” kata Tony.

Kepala Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti juga menekankan masih rendahnya produktivitas tenaga kerja. Padahal, produktivitas ini berhubungan dengan daya saing. Hal ini juga termasuk tenaga perbankan Indonesia.

Destry memaparkan, 63 persen tenaga kerja di Indonesia berpendidikan sekolah menengah pertama atau lebih rendah. Oleh karena itu, harus diupayakan ada pendidikan lain sehingga tidak harus berdasarkan pendidikan formal. ”Siapkan tenaga kerja dengan pendidikan yang tidak harus formal, tetapi sifatnya siap terjun ke lapangan kerja,” ujarnya.

Ekonom Standard Chartered Indonesia, Eric Alexander Sugandi, menyebut empat tantangan utama, yakni kestabilan nilai tukar rupiah, defisit transaksi berjalan, pertumbuhan ekonomi, dan inflasi.

”Untuk menghadapi semua tantangan itu perlu rencana yang matang dan evaluasi yang jujur dari program yang ada. Masalah selama ini, rencana ada tetapi eksekusinya lambat. Evaluasinya juga kurang jujur,” kata Eric.

Nilai tukar
Nilai tukar rupiah yang sejak akhir tahun 2013 tertekan harus terus dikendalikan gejolaknya. Jika nilai rupiah bergejolak, akan berdampak negatif. Bukan hanya bagi pasar keuangan, melainkan juga bagi sektor riil yang perlu bagi penciptaan lapangan kerja.

Secara umum, kata Eric, langkah yang bisa dilakukan adalah industrialisasi, terutama untuk substitusi impor. Selama ini, impor bahan baku dan barang modal masih sangat besar. ”Kalau tidak ada kebijakan untuk mengarahkan industri ke substitusi impor, kita akan tertekan saat ada pelemahan rupiah,” ujarnya.

Untuk lebih mendukung stabilitas nilai tukar, perbankan domestik bisa didorong untuk menghimpun lebih banyak dana. Bukan hanya dalam mata uang rupiah, melainkan juga dalam valuta asing. Dengan strategi ini, ketersediaan dollar AS dapat lebih terjamin.

Untuk pembiayaan melalui pasar keuangan dan obligasi, dana asing masih cukup signifikan jumlahnya. Padahal, jika dana pensiun yang cukup besar jumlahnya, masih ke obligasi pemerintah, kekhawatiran adanya pembalikan dana asing secara tiba-tiba (capital reversal) tidak akan terjadi.

”Intinya, menjaga kemandirian sehingga tidak bergantung pada dana asing. Tidak perlu ekstrem dalam bentuk nasionalisasi, tetapi dengan cara ini bisa membatasi ketergantungan terhadap modal asing,” kata Eric.

Sebagai catatan, per 30 Desember 2013, kepemilikan asing pada obligasi pemerintah sebesar Rp 323,6 triliun. Setara dengan 32,5 persen dari outstanding kepemilikan obligasi pemerintah.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Mahendra Siregar pada akhir tahun lalu menyampaikan, porsi penanaman modal dalam negeri (PMDN) dalam investasi di Indonesia akan ditingkatkan. PMDN yang saat ini porsinya 33 persen dari total investasi akan ditingkatkan menjadi 40 persen.

Menurut Eric, ini merupakan langkah yang tepat. Sebab, jika terus-menerus mendorong penanaman modal asing (PMA), akan ada konsekuensi lain yang harus ditanggung. Misalnya, beban impor, karena masih cukup banyak PMA yang bahan bakunya impor. Selain itu, ada juga beban repatriasi atau pembayaran laba dan dividen ke negara asal PMA, yang nilainya cukup besar.

Destry juga menekan tantangan utama yang harus dihadapi adalah defisit transaksi berjalan. ”Bukan semata-mata defisit transaksi berjalan, melainkan bagaimana membiayai defisit itu,” katanya.

Artinya, sepanjang inflow atau dana masuk ke Indonesia ada, maka defisit transaksi berjalan sebenarnya bisa dihadapi. Namun, kondisi transaksi berjalan yang defisit akan menjadi masalah besar tatkala tidak ada dana masuk menutup defisit itu.

Selama ini, defisit transaksi berjalan bisa ditutup dengan aliran dana melalui PMA ataupun portofolio. Dengan demikian, sedapat mungkin kebijakan pemerintah bisa untuk menarik PMA dan portofolio agar bisa menutup defisit transaksi berjalan.

Tantangan yang tidak kalah penting adalah memperbaiki struktur ekonomi. Perbaikan harus dilakukan agar Indonesia memiliki daya tahan terhadap pertumbuhan.

”Selama ini, setiap pertumbuhan ekonomi membawa dampak berupa meningkatnya impor. Oleh karena itu, harus dibuat agar industri tidak bergantung pada impor untuk bahan bakunya,” ujar Destry.

Tantangan lain berupa pemerataan hasil pembangunan. Tahun lalu, kenaikan suku bunga dan harga telah memberatkan masyarakat kelompok bawah.

Harus diakui, kesenjangan sosial di Indonesia masih ada. Oleh karena itu, pemerintah selayaknya menjaga agar pendorong ekonomi bukan hanya masyarakat kelompok masyarakat atas, melainkan juga kelompok bawah. Syaratnya, hasil pembangunan ekonomi lebih merata.

Pemerintahan dan kabinet hasil Pemilu 2014 akan mulai bekerja menjelang akhir tahun 2014. Padahal, tahun 2015 saat berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Menurut Ketua Umum Perhimpunan Bank-bank Nasional Sigit Pramono, pemerintah harus siap dan mengantisipasi MEA. Jika tidak, akan ada risiko bagi sektor riil. ”Sektor usaha dan sektor riil yang terpengaruh MEA akan berdampak bagi industri perbankan,” kata Sigit.

Misalnya, jika sektor riil Indonesia kalah bersaing dengan sektor riil dari negara lain di ASEAN, industri sektor itu akan merosot. Kebutuhan dana atau kreditnya juga akan merosot. Hal ini berpengaruh terhadap perbankan di Indonesia.

Sebagai gambaran, perlambatan ekonomi berdampak terhadap kredit bank. Kredit perbankan yang tumbuh 20-22 persen pada 2012 diperkirakan melambat pada tahun 2013. Adapun pada tahun 2014 lebih lambat lagi, kredit perbankan diperkirakan tumbuh 15-17 persen.

Sigit juga mengakui, ada berbagai hal yang diperlukan industri, yang diharapkan bisa direalisasikan pemerintah, di antaranya infrastruktur, yang belum optimal. Selain itu, pembenahan di bidang hukum juga harus dilakukan agar ada kepastian bagi industri dan bisnis.

Banyak pekerjaan rumah
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Malang, Ahmad Erani Yustika menyatakan, banyak pekerjaan rumah menanti pemerintahan baru. Namun, tema besarnya adalah mengembalikan kedaulatan ekonomi nasional.

Erani antara lain menekan perlunya mendesain ulang model keterbukaan ekonomi terhadap asing. Artinya, liberalisasi yang sudah diadopsi Indonesia perlu dievaluasi secara total. Liberalisasi yang dimaksud di berbagai sektor seperti keuangan, perdagangan, dan investasi.

Dia juga menekan pendalaman industrialisasi. Masalah yang ada sekarang sebetulnya bukan semata pada bagaimana mendorong pertumbuhan ekonomi, melainkan yang lebih mendasar adalah menentukan model basis produksi yang berkesinambungan. Selama ini, basis produksi Indonesia amat bergantung pada sumber daya alam mentah. Ini tidak sehat karena nilai tambahnya kecil, merusak lingkungan, dan harganya fluktuatif.

Memadukan tujuan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan ekonomi juga pekerjaan lainnya. Saat ini yang terjadi, pertumbuhan ekonomi mengorbankan pemerataan. Ini tecermin pada rasio gini yang mencapai tertinggi dalam sejarah.

Program konkretnya untuk merealisasikannya adalah dengan menjalankan reformasi agraria secara konsisten, reformulasi distribusi modal, dan pemihakan sektor pertanian secara luas. Janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono soal reformasi agraria sama sekali tidak jalan. Rasio gini kepemilikan lahan versi Badan Pertanahan Nasional terakhir adalah 0,54.

(BEN/IDR/LAS/ham/lkt/mas)

http://epaper.kompas.com/kompas/books/140108kompas/#/9/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar