Selasa, 11 Maret 2014

Impor dan Statistik Beras

Selasa, 11 Maret 2014

Kisruh beras impor kualitas premium asal Vietnam belum juga terang. Ini membuat pemerintah memutuskan untuk menghentikan sementara (moratorium) impor beras khusus atau kualitas premium selama enam bulan mendatang sembari membenahi tata niaga impor beras.

Meski sah, beras impor selalu menuai tanggapan negatif, baik premium atau medium. Indonesia yang memiliki sawah seluas 8 juta hektare, impor beras sungguh keterlaluan. Ini membuktikan bangsa lemah dalam soal kemandirian pangan.

Impor beras kualitas premium jangan sekadar moratorium, tapi dihentikan secara permanen sebab selain membuka peluang beras ilegal, produk subsitusti untuk beras kualitas premium impor, selama ini, sebetulnya bisa dihasilkan di dalam negeri.

Beras jenis Rojolele dan Cianjur, misalnya, memiliki kualitas setara dengan beras impor kualitas khusus seperti Japonica, Basmati, dan Thai Hom Mali.

Selain itu, selama ini impor beras kualitas premium sebetulnya hanya untuk memenuhi selera pasar atau segmen tertentu dengan jumlah terbatas. Maka, bila pemerintah berpihak pada petani dan ke-pentingan produksi dalam negeri, produksi beras lokal kualitas premium mesti digenjot.

Bagaimana dengan beras kualitas medium? Menurut undang-undang, impor beras jenis ini hanya boleh dilakukan Bulog untuk stabilisasi harga beras di dalam negeri. Indikator utama untuk pijakan perlu tidaknya impor beras oleh Bulog adalah harga pasar beras termurah. Bila harga beras termurah 25 persen lebih mahal dari harga pembelian pemerintah (HPP), Bulog akan impor.

Indikator yang juga dijadikan pijakan adalah stok Bulog. Bila stok di bawah level aman (kurang dari 2 juta ton), impor beras harus dilakukan. Pertanyaannya, mengapa bukan data produksi beras di dalam negeri sebagai acuan utama memutuskan perlu tidaknya impor beras?

Data produksi beras hanya menjadi bahan pertimbangan, tidak lebih. Berdasarkan data produksi, Kementerian Pertanian (Kementan) hanya bisa merekomendasi perlu-tidaknya impor. Keputusan tetap di tangan Bulog berdasarkan kondisi stok dan harga beras di pasar.

Angka produksi beras tidak bisa jadi indikator utama karena kerap terjadi disasosiasi antara data dan stok serta harga beras di pasar. Surplus acap kali hanya angka-angka di atas kertas (semu).

Produksi beras melimpah, tapi pada saat sama Bulog sulit mengadakan beras dan harga di pasar merangkak naik sebagai indikasi kekurangan suplai. Ini terjadi antara lain tahun 2011. Impor 2011 nyaris mencapai 3 juta ton. Padahal, surplus ditaksir 4 juta ton.

Meski disasosiasi ini bisa karena market power atau praktik kartel para pedagang perantara, sebetulnya merupakan petunjuk angka produksi beras tidak akurat. Secara faktual, data produksi beras memang lemah. Persoalan ini telah banyak disorot dan hingga kini belum ada kemajuan berarti.

Beras nasional dihitung dari produk padi nasional dikalikan laju konversi 0,57 sehingga diperoleh beras yang siap dikonsumsi untuk pangan. Produksi padi nasional dihitung oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan metode yang nyaris tidak pernah berubah sejak 1973.

Produksi padi dihitung dengan mengalikan data luas panen dengan data produksi per hektare (produktivitas). Data luas panen dikumpulkan mantri tani (petugas dinas pertanian di tingkat kecamatan) secara rutin setiap bulan dengan pendekatan blok pengairan, penggunaan pupuk, informasi dari aparat desa, dan penaksiran mata (eye estimate).

Hasil penaksiran luas panen kemudian disetor ke BPS.
Di lapangan, metode yang banyak digunakan adalah pendekatan terakhir. Dalam praktiknya, petugas hanya datang ke sawah yang siap panen padi. Dia lalu menaksir luasnya. Masih mending petugas datang ke sawah, bagaimana kalau perkiraan luas panen dilakukan di atas meja?

Dalam teori statistik, data luas panen yang dikumpulkan petugas dinas pertanian disebut catatan administrasi sehingga tidak bisa dihitung dan dievaluasi akurasinya. Idealnya, pengumpulan data luas panen dilakukan menggunakan survei statistik (objective measurement).

Sementara itu, pengumpulan data produktivitas melalui survei statistik (Survei Ubinan). Produktivitas ditaksir dengan mengobservasi tanaman padi pada 73.109 plot berukuran 2,5x2,5 m2. Pengumpulan data produktivitas sebagian dilakukan petugas dinas pertanian dan petugas BPS.

Jadi, angka produksi padi/beras yang selama ini disebuat sebagai “angka BPS” sejatinya merupakan hasil kompromi dua sistem pengumpulan data yang berbeda, bukan sepenuhnya angka BPS.

Perbaikan

Kelemahan utama dalam menghitung produksi padi/beras nasional, pengumpulan data luas panen tidak menggunakan survei statistik. Hasil kajian BPS 1996-1997 memperlihatkan luas panen yang dikumpulkan mantri tani di Pulau Jawa overestimate dari sebenarnya. Besaran overestimate ditaksir mencapai 17 persen. Akibatnya, data produksi padi/beras juga overestimate .

Karena hingga kini belum ada perubahan metode pengumpulan, overestimate data produksi dipas-tikan lebih besar lagi karena akumalasi dari tahun-tahun sebelumnya. Sebagian kalangan bahkan memperkirakan besaran overestimate sudah di atas 20 persen.

Overestimate pada data luas panen sebetulnya sangat mudah dibuktikan dengan mengamati tren data luas panen yang dilaporkan terus meningkat dari tahun ke tahun, sementara pada saat yang sama luas lahan sawah terus menyusut karena laju konversi lahan. Dalam 20 tahun terakhir luas sawah berkurang 2 juta hektare.

Namun, luas panen justru terus meningkat dari 10,99 juta hektare (1993) menjadi 13,77 juta hektare (tahun lalu).

Perbaikan metode pengumpulan data luas panen sebetulnya sedang dilakukan. Metode baru yang didasarkan pada survei statistik sedang dikembangkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bekerja sama BPS. Metode ini memadukan teknik statistik (probability sampling) dan teknologi penginderaan jauh (remote sensing). Ini bakal diimplementasikan 2016.

Akurasi produktivitas juga terus ditingkatkan dengan menambah sampel. Namun demikian, jumlah sampel untuk penaksiran produktivitas masih kurang.

Saat ini, satu sampel plot ubinan dengan ukuran 6,25 m2 untuk menaksir produktivitas padi pada lahan seluas 188 hektare. Tentu ini tidak memadai untuk menggambarkan keragaman produktivitas yang dipengaruhi banyak faktor seperti teknologi budi daya, jenis varietas, dan kesuburan tanah.

Penulis bekerja di BPS

http://koran-jakarta.com/?pg=instagram_detail&berita_id=7681

Tidak ada komentar:

Posting Komentar