Jumat, 21 Maret 2014

Pro Kemiskinan Jangan Hanya Jadi Slogan Kosong

Jumat, 21 Maret 2014

Kebijakan Pembangunan| Praktik Perkronian Lebih Kental Ketimbang Penurunan Kemiskinan

JAKARTA – Program pro kemiskinan yang digulirkan pemerintah tidak berjalan mulus, bahkan dinilai tidak sebanding dengan anggaran yang dikeluarkan.

Sebaliknya, dalam tujuh tahun terakhir, praktik kronikapitalisme di Tanah Air justru meningkat. Hal itu tecermin dari meningkatnya peringkat Indonesia dalam indeks kronikapitalisme yang dirilis The Economist, belum lama ini. Untuk itu, pemimpin masa depan seharusnya merupakan sosok yang mencintai dan peduli pada rakyat miskin, tidak cuma saat kampanye.

Rakyat harus jeli memilih calon anggota legislatif dan calon pemimpin yang benar- benar mementingkan nasib masyarakat miskin. Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Harryadin Mahardika, mengatakan kampanye pro kemiskinan yang banyak digembar-gemborkan saat ini hanya slogan kosong kampanye. Terbukti, pemerintah gagal memenuhi terget RPJP untuk turunkan tingkat kemiskinan.

“Bahkan, anggaran kemiskinan lebih besar dibandingkan jika dana dibagikan langsung untuk mengangkat status penduduk miskin,” jelas dia di Jakarta, Kamis (21/3).

Seperti diketahui, pemerintah akhirnya mengakui gagal memangkas kemiskinan sesuai target yang ditetapkan sendiri. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2009-2014 ditargetkan kemiskinan 2014 tinggal 8–10 persen dari total penduduk. Namun, capaian diperkirakan mengarah 10,54–10,75 persen.

Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Armida Salsiah Alisjahbana, target melenceng karena realisasi pertumbuhan ekonomi di bawah target APBN 2014 sebesar 6 persen. Sebetulnya pemerintah memiliki komitmen besar untuk menekan kemiskinan. Ini bisa dilihat dari komitmen anggaran.

Sejak 2005, anggaran anti kemiskinan melonjak drastis. Alokasi anggaran anti kemiskinan meningkat dari 23,4 triliun rupiah pada 2005 menjadi hampir 100 triliun rupiah pada 2012, atau naik lebih dari empat kali. Ironisnya, meskipun anggaran terus meningkat, sejak 2009 terjadi gejala berupa tumpulnya jurus-jurus anti kemiskinan dalam menurunkan jumlah warga miskin.

Pada 2008, untuk melepaskan satu orang dari kemiskinan membutuhkan biaya 30 juta rupiah, tetapi pada 2012 biayanya 100 juta rupiah atau lebih dari tiga kali lipat. Ini bisa dilihat dari anggaran 100 triliun rupiah pada 2012, tetapi jumlah warga yang lepas dari kemiskinan hanya 1 juta. Sebaliknya, kata Harryadin, pemerintahan semasa reformasi justru berhasil meningkatkan praktik perkronian.

Terbukti, selain indeks kroni kapitalisme versi Economist naik dari peringkat ke-18 menjadi ke-10 dalam tujuh tahun terakhir, praktik korupsi masih tetap terjadi sekalipun penegak hukuk memvonis berat,” jelas dia.

Harryadin menyatakan para calon pemimpin akan mendapatkan hukuman sosial dari publik jika hanya mengumbar janji. “Kontrol sosial dari masyarakat atau pemilih pasti akan berjalan,” kata dia.

Salah Sasaran

Sementara itu, ekonom UGM, Deni P Purbasari, menjelaskan kegagalan program pengentasan rakyat miskin karena penyaluran subsidi salah sasaran.

Contohnya, subsidi bahan bakar minyak yang banyak dinikmati golongan ekonomi mampu. Subsidi listrik, juga sama, meski bisa dibedakan tarifnya per kelas. Demikian pula subsidi pupuk, juga sama, salah sasaran.

“Makin luas lahan seorang petani, makin banyak pupuk dibutuhkan, jadi dia menikmati lebih banyak subsidi. Jamkesmas dulu juga begitu, banyak dinikmati orang-orang yang relatif mampu, tapi mengaku miskin. Jadi targeting orang miskin ini belum sempurna,” ujar Deni.

Selain itu, imbuh Deni, masing- masing kementerian dan lembaga memunyai anggaran pengentasan rakyat miskin sendiri-sendiri dan targetnya beda-beda. Kemenpera punya grup target, Kementan punya grup target sendiri, Kemensos, Kemendikbud, KKP, KUKM, Kemenakertrans juga punya. “Akhirnya uang banyak keluar, namun tidak fokus,” jelasnya. n SB/YK/nsf/WP

http://www.koran-jakarta.com/?8487-pro-kemiskinan-jangan-hanya-jadi-slogan-kosong

Tidak ada komentar:

Posting Komentar