Minggu, 02 Maret 2014

Tiwul, Indikator Ketahanan Pangan?

Sabtu, 1 Maret 2014

Ratusan warga Semin, Ngun­toronadi, Wonogiri menggalakkan pro­gram ”tiwulisasi” atau mengonsumsi tiwul setiap Senin dan Kamis. Kon­sumsi ini bisa menghemat 1 - 1,5 kilogram beras per keluarga tiap minggu. Upaya penyuluh pertanian yang menggalakkan konsumsi tiwul itu patut diapresiasi, mengingat kondisi lapangan dan situasi ekonomi daerah itu mengharuskan mengambil pilihan tersebut. Tiwulisasi menjadi bermanfaat sebagai sarana kemandirian pangan.

Yang mengherankan justru ko­mentar pejabat pemerintah yang menganggap keberhasilan makan tiwul secara massal itu sebagai sesuatu yang luar biasa. Apa pun istilahnya, apakah mandiri pangan, daulat pangan, atau yang lainnya, tiwulisasi tadi harus dilihat lebih jelas sebab dan alasannya. Bagaimana­pun, posisi beras sebagai makanan pokok tidak tergantikan oleh lainnya. Pertanya­annya, mengapa harus ma­kan tiwul dan bukannya beras se­bagai makan­an pokok?

Konsep ketahanan pangan, terutama beras, biasanya diidentikkan dengan peningkatan produksi dan ketersediaan pangan. Padahal bisa saja terjadi situasi: pangan tersedia, tetapi rumah tangga tidak mampu mengakses. Hal ini karena keterbatasan sumber daya ekonomi, meliputi tingkat pendapatan, kesempatan kerja, dan sumber daya lain. Jadi ketidakmampuan warga mengonsumsi beras bukan sekadar karena langka, tetapi juga karena mereka tidak mampu membeli.

Ketahanan pangan memiliki beberapa unsur, di antaranya orientasi pada rumah tangga dan individu, setiap saat pangan tersedia dan dapat diakses. Penekanannya pada akses pangan rumah tangga dan individu, baik fisik, ekonomi, dan so­sial. Juga berorientasi pada peme­nuhan gizi, ditujukan untuk hidup sehat dan produktif. Sudahkah se­mua unsur ini terpenuhi dalam ketahanan atau kedaulatan pangan di De­sa Semin seperti dipuji oleh Gubernur Ganjar Pranowo?

Dalam konteks tiwulisasi, tentu alasannya bukan persoalan meng­hemat beras dalam rangka mencapai target surplus beras. Secara riil, ketidakmampuan keluarga-keluarga membeli beras dalam jumlah cukup yang mendorong pentingnya diversifikasi pangan. Maka menjadi tugas pemerintah untuk menyediakan pangan, terutama beras de­ngan harga terjangkau. Dari sisi war­ga, pemerintah perlu memfasilitasi agar mereka menjadi sumber daya manusia yang memiliki daya beli.

Yang kita tekankan, jangan sampai ”sukses” warga makan tiwul itu menjadi sesuatu yang dibangga-banggakan. Pemerintah justru harus menjamin warga mampu membeli beras yang memiliki kandungan kalori lebih besar ketimbang tiwul. Jika sekadar romantisme wisata ku­liner, bolehlah tiwul menjadi makan­an alternatif. Namun jangan kembali seperti zaman penjajahan Jepang, yang karena miskin, warga menja­dikan tiwul sebagai makanan pokok pengganti beras.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar